TMP 19 : Namanya Rendi

136 21 0
                                    

Motor hitam memasuki kawasan dan memarkirkan seperti anak yang lainnya. Dia turun dari motor, berjalan ke arah sekolah. Murid yang terlambat berlarian di koridor. Mereka menembus pemuda tampan itu. Sosok tersebut bersenandung kecil, suaranya menggema di lorong sepi.


Langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis berjalan ke arahnya. Gadis itu terlihat tidak sehat, dia memegang ponselnya erat kemudian berjalan melewatinya. Suara lembut membelai telinganya.

"Sarah ...." Gadis bernama Sarah menghentikan langkahnya. Dia celingukan mencari asal suara dan menjadi pucat kemudian bergegas pergi dari lorong tak berujung. Sebuah tangan mendorongnya sampai menabrak dinding begitu keras.

"Masih berani lo nampakkin diri usai ngebunuh pacar gue!" teriak perempuan bernama Amel. Sarah menggelengkan kepalanya menghindari tangan yang ingin menyakitinya.

"Pergi! Jangan dekat-dekat." Sarah berteriak histeris. Amel dibuat geram oleh tingkahnya. Dia dan teman-temannya membawa Sarah ke gudang. Tanpa belas kasihan mengunci pintu tersebut.

"Buka!" Sarah menggedor pintu sampai tangannya sakit. Dia tertunduk lesu, dan setetes embun membasahi pipi.

Amel dan gengnya pergi dari gudang meninggalkan Sarah terkurung seorang diri. Salah satu dari mereka bertanya, "Lo yakin ninggalin Sarah di sini? Kalau dia mati gimana?"

Amel menyilangkan kedua tangannya sembari mendelik sinis. "Nggak ada urusan! Kalaupun dia mati itu salah dia sendiri karena udah ngebunuh Rendi!" Tangannya mengepal kuat butuh pelampiasan.

"Apa lo yakin ini semua karena Sarah? Lo kan tau sendiri kalau mereka gak dekat. Gimana ceritanya dia bisa ngebunuh Rendi?"

"Kalau bukan dia terus siapa? Jelas-jelas pas Rendi kecelakaan Sarah ada di sana!" raung Amel marah.

"Dahlah biarin ajah si parasit itu membusuk di gudang. Cabut sebelum ada yang lihat," ujar Dewi kepada Amel dan Putri. Akhirnya mereka benar-benar pergi dari tempat tersebut.

Sarah menangis sesenggukan. Tangannya gemetaran, ponsel dibuka menampilkan foto dirinya dan sosok yang sudah pergi. Dia mengusap foto tersebut dan tersenyum.

"Kamu gak apa kan? Gak terluka kan?" tanyanya sendiri dan setelah itu dia berderai air mata lagi. Layar ponselnya retak dan foto di dalamnya tak terlalu jelas. Sosok itu menghilang usai kejadian tersebut.

......

Di sebuah ruang olahraga. Bola basket bergerak sendiri. Salah satu anggota yang lagi ganti baju mendengar bola dimainkan. Dia pun langsung mengecek dan semua baik-baik saja. Di saat dia berbalik badan tiba-tiba bola basket bergerak dengan lincah. Orang tersebut berlarian meninggalkan ruangan tersebut.

"Kenapa lo lari-larian? Semangat amat," kata Reno sang kapten basket.

"Semangat pala lo botak! Gue habis liat setan tau," ujarnya dengan wajah ketakutan.

Reno menertawakannya serta menatapnya acuh tak acuh. "Liat di mana? Ini masih siang mana ada setan? Mungkin lo kecapean jadinya halu."

Asep–pria yang dibicarakan berdecak kesal. "Malah gak percaya lagi. Terserah!" Asep pun tak banyak bicara saat mereka kembali ke ruang olahraga. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah depan untuk memastikan bola basket tersebut tak melakukan atraksi.

"Tuh gak ada apa-apa. Dasar penakut! Oiya yang lain ke mana? Udah tau dua hari lagi sekolah kita tanding lawan sekolah lain malah pada absen." Reno dibuat geram akan kelakuan anak-anak lain yang menyepelekan latih tanding kali ini dan bermalas-malasan.

"Rendi baru aja pergi, dan lo malah mikirin latih tanding? Gak habis pikir gue sama jalan pikiran lo yang sempit. Segitu terobsesinya lo kalahin rekor Rendi!" teriak Steve dari arah belakang. Reno menatapnya sengit.

"Pengkhianat kayak dia ngapain dibawa-bawa? Seharusnya lo mikir betapa malunya sekolah kita diremehkan. Gara-gara dia gak hadir, sekolah kita kalah sebelum tanding!" Reno dan Steve berkelahi satu sama lain.

Asep menengahi. "Kalau kalian kayak gini terus bisa aja tim ini dibubarkan! Ayolah jangan kekanakan."

Reno menepis tangannya dan masih melotot ke arah Steve. "Yang egois itu dia! Pergi seenak jidat! Dia juga ngerusak impian kita. Gue di sini masih bertahan agar tim basket yang dibangun tidak dibubarkan begitu saja."

"Apa lo pikir Rendi pergi karena direncanakan hah? Ini semua kecelakaan dan gue masih gak terima lo nuduh dia ngerusak tim basket ini." Steve pun tak mau kalah beradu bacot.

Asep memijat pelipisnya. Perkelahian antar mereka kembali berseteru dan sengit. Asep berseru, "Sudah cukup! Apa cuman kalian doang yang menderita? Gue dan yang lainnya pun sama pengen mengharumkan sekolah tapi Rendi kecelakaan. Jadi gak ada yang perlu disalahkan. Seharusnya kalian berdua berempati atas kepergian Rendi. Bagaimanapun dia selalu buat tim kita menang dan baru kali ini kita sedang sial." Asep berpikir positif atas kecelakaan yang ditimpa rekan satu timnya.

Perkelahian berhenti di tengah jalan. Steve dan Reno masih melotot satu sama lain. Dia bersikeras untuk melatih tim J mendapatkan kemenangan di segala pertandingan mau itu ada Rendi ataupun tidak.

"Tinggal dua hari lagi. Pokoknya Tim J harus hadir saat pemanasan. Gak mau tau!" Reno menarik jaketnya lalu pergi dengan amarah yang masih meluap-luap.

Steven menendang kursi panjang di dekatnya sambil mengepalkan tangannya. "Lo liat kapten apaan kayak gitu? Benar-benar egois tak berperasaan. Udah tau salah satu dari kita ada yang pergi. Eh, dia malah gak peduli!" Steve melanjutkan, "Kenapa Rendi harus pergi sih? Gue yakin banget kalau kecelakaan yang dialaminya tidak sederhana itu."

"Maksudnya Rendi dicelakin orang gitu?" tanya Asep polos.

Steve mengangguk. "Ya, Rendi baik dalam segala hal. Pasti ada saja orang munafik yang gak suka dia berada di puncak."

"Apakah lo mencurigai seseorang?" tanya Asep lagi.

Steve menoleh dan mengerutkan kening. "Untuk saat ini gue mencurigai satu orang. Gue yakin dia pasti tau sebelum Rendi kecelakaan."

"Siapakah itu?" Steve dan Asep saling pandang. Mereka memutuskan mencari informasi dari orang tersebut.

......

William terbangun dari tidur panjangnya. Usai mengerjakan tugas yang diberikan. Pelajaran setelahnya sangat membosankan membuat dia tidur dengan cepat. Dia merentangkan tangannya ke atas ke kiri dan kanan.

Hendrik menoyor kepalanya. "Akhirnya bangun juga lo. Gue pikir mati," celetuknya.

"Sepi amat nih kelas ke mana perginya semua orang?" tanya William bingung.

Bastian menutup bukunya dan menjawab dengan ekspresi datar, "Udah bel istirahat tentu saja kelas sepi. Gara-gara lo, gue terlambat makan siang. Sebagai gantinya lo harus traktir kita makan." Bastian beranjak dari kursi dan berlalu pergi. William menggaruk pipinya, dia dan Hendrik mengikuti dari belakang.

Cacing dalam perut sudah pada berontak butuh asupan. Mereka bertiga berjalan ke Utara, di tengah lapangan William melihat sosok pucat berdiri di bawah terik matahari. William menghentikan langkahnya.

Sosok tersebut menatapnya datar. Sayup-sayup terdengar suara. "Gue butuh jasa lo."

.....

The Mission Puzzle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang