TMP 01 : Murid Baru

1.4K 99 70
                                    

Tingtong!

Suara bel berbunyi. Semua murid menempati kelasnya masing-masing. Ada yang masih berkeliaran di area luar walaupun hanya sekadar nongkrong serta membolos. Santapan setiap pagi para siswa-siswi ya dihukum.

Terik matahari menyorot tajam. Bulir-bulir keringat membasahi dahi. Dua orang pemuda berjemur di tengah lapangan, usai diceramahi oleh guru seputar keterlambatan. Gerbang sekolah ditutup rapat. Semua murid yang bolos dihukum sama rata tak dibedakan.

"Sampai kapan berdiri di sini? Bisa kering gue kalau kelamaan berjemur," keluh pemuda bernama William.

"Mie instan kali ah, rendem lalu tiriskan."

Hendrik menggelengkan kepalanya.

Tak sampai bel istirahat. Mereka dibebaskan dari hukuman. Keduanya  kembali ke kelas. 11 IPS 2 di mana semua murid pada heboh mau itu jam kosong ataupun contekan berjamaah.

William dan Hendrik duduk di barisan belakang dengan wajah lesu. Di bangku depan dia mendengar suara bisikan tentang murid baru yang akan masuk ke kelas IPS, sedangkan William sudah terjun bebas ke cakrawala.

Seorang guru memasuki kelas beserta murid baru yang mengekori dari belakang. Kelas semakin ricuh dan tak bisa dikendalikan. Semua murid terutama kaum hawa berteriak histeris saat tahu seorang pemuda tampan memasuki kelas. William menggerakkan telinganya efek teriakan itu matanya terbuka malas.

Bu Lia berkata, "Silakan perkenalkan namamu agar yang lain pada kenal."

Wanita paruh baya itu mengamatinya dari samping.

Pemuda itu menatap sekumpulan dengan ekspresi datar dan berkata,
"Sebastian G. Aldrick. Salam kenal." Kaum hawa semakin rusuh tatkala mengetahui namanya.

Bu Lia menggebrak meja. Kekacauan di depannya harus dibersihkan. "Harap diam! Pelajaran akan segera dimulai dan hari ini kita kuis. Persiapkan diri kalian!"

Semua murid berwajah masam. William menguap panjang. Sebastian dipersilakan mencari tempat duduk yang kosong. Dia berjalan lurus melewati siswi perempuan yang berdecak kagum. Sungguh tampan!

Bangku kosong ditemukan di bagian belakang. Dia duduk dalam diam sembari memperhatikan guru di depan. Seorang pemuda mengulurkan tangannya. "Kenalin gue William cogans terkece."

Sebastian melirik sekilas tak memedulikannya anggap saja angin lalu. Hendrik cekikan tanpa sebab, sedangkan dia mendecakkan lidahnya tak terima atas perlakuan ini.

Ruang kelas menjadi hening. Sesekali Sebastian menjawab pertanyaan yang diajukan, sebagai hadiah dia mendapatkan poin. Semua murid berlomba-lomba menjawab hanya William dan Hendrik yang tidak bersuara. Mereka cukup tahu diri bahwa IQ-nya rendah.

.....

Sebastian dikelilingi murid lain khususnya perempuan. Mereka bertanya banyak dan dijawab singkat. Pelajaran kedua tidak ada gurunya menjadi kesempatan untuk murid lain membolos ada juga yang pergi ke kantin.

Sekumpulan itu membubarkan diri. Di dalam kelas yang tertinggal hanya mereka bertiga; William, Hendrik dan Sebastian. Dia mengulurkan tangannya, mulai berkenalan.

"Halo, gue Hendrik salam kenal."

Sebastian acuh tak acuh akan suara di samping. William cekikikan melihat wajah Hendrik yang suram.

"Sabar bro. Gue tau apa yang lo rasain." William menepuk pundak Hendrik dan segera memberinya semangat. Dia melihat jam di dinding di atas lalu beranjak dari kursi.

"Waktunya berburu!" serunya.

Hendrik berdiri mulai mengekorinya. Tepat di depan pintu William menengok ke belakang.

"Woy bule, diam-diam ajah. Makan kuy kagak lapar lo?"

Sebastian pun mengikuti mereka dari belakang. Sesampainya di kantin mereka duduk di pojokan tempat ternyaman untuk makan serta bermain.

Pemuda itu mengerutkan keningnya. "Kalian sedang main apa?" tanya Sebastian penasaran.

William mendongak, menarik kepalanya ikut bermain. Bidak catur di layar ponsel bergerak, jari-jari mereka bergerak cepat. William berdecak, Hendrik bersorak.

"Traktir!" ucap Hendrik senang.

"Ah, curang lo. Patunganlah," protes William tak percaya bahwa dirinya dikalahkan.

"Gue menang dengan jujur. Lonya aja yang gak pinter. Udah sono beliin gue bakso serta tea jus gula batu!" perintah Hendrik.

William mengerucutkan bibirnya. Dia melirik Sebastian yang diam-diam memperhatikan sembari berkata, "Mau makan apa lo? Biar sekalian pergi guenya."

Sebastian mengedarkan pandangannya menatap satu per satu orang jualan lalu matanya tertuju ke arah sana. Dia menunjuk dengan dagunya William ikut melihat dan mengangguk bergegas pergi secepat kilat.

Hendrik mencolek bahunya dan berkata, "Mungkin lo belum terbiasa dengan bahasa di sini. Kita bisa berteman itu pun jika lo mau."

William kembali dengan cepat sialnya dia hampir tersandung karena seorang musuh menjulurkan kakinya ke depan. Dia mendelik sinis.

"Sengaja kan lo biar gue jatuh."

Pemuda itu tak menjawab melainkan acuh tak acuh. Dia dan gengnya berlalu pergi. William kembali ke bangku dengan wajah kesal. Hendrik menepuk pundaknya.

"Mereka kan emang gitu. Jangan diambil hati. Masukkin aja dalam karung," tutur Hendrik sambil menarik mangkuk.

"Kesel anjir. Orang gak salah apa-apa main begal aja! Beruntung wajah rupawan gue nggak rusak," ungkap William dengan kepedean tingkat tinggi.

Hendrik mengacungkan jempolnya.

Sebastian yang tidak tahu apa pun memilih makan. Mereka bertiga kembali ke kelas. Di sepanjang koridor mereka saling mengejek satu sama lain. William berhenti, celingukan seperti orang gila.

Sebastian bertanya, "Kenapa?"

William menyeringai kemudian berseru, "Saatnya eksekusi!"

Sebastian ditarik ke dalam sebuah ruangan bersama dengan Hendrik yang ikut berjaga di depan. William memeriksa kolong meja, sedangkan dia duduk di kursi.

William mengeluarkan permen karet kemudian, melemparnya ke dalam mulut dan sisanya ditempelkan di kolong meja serta bangku yang kosong. "Jorok banget sih," ucap Sebastian dengan ekspresi jijik, sedangkan dia menutup mulutnya dengan satu jari menempel di bibir.

"Ini hukuman buat orang yang jahat. Hen posisi!" teriak William.

Hendrik mengangkat tangannya yang berbentuk huruf 'A' artinya aman. William menganggukkan kepalanya usai menerima sinyal dia segera menarik kedua temannya keluar kelas lalu bergegas pergi.

Wajahnya terlihat puas. Sebastian menggelengkan kepalanya dan bergumam, "Dasar orang-orang aneh."

Di balik pintu mereka melihat Andre keluar dari kelasnya sambil menutupi celana belakangnya yang terkena permen karet. Misi mereka berhasil akhirnya saling bersukacita atas penderitaan orang lain.

Sebastian hanya mendengarkan tanpa berpartisipasi. Namun, cukup menghibur pemandangan di luar sana. Tidak buruk juga, pikirnya.

.....

The Mission Puzzle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang