TMP 36 : Kupu-kupu Malam

107 17 2
                                    

INSIDEN beberapa hari yang lalu membuat fisik trio kampret sudah mencapai batas. Mereka tidak sekolah hari ini melainkan izin. Dengan senang hati Satria merawat William, memberinya makan serta memanjakannya. Bunda dan Windi seperti biasa menjalani aktivitasnya.

Di rumah besar Bastian dirawat oleh asisten rumah tangga. Sungguh miris, keluarganya belum pulang dari perjalanan bisnis. Dia pun sudah terbiasa dan tak peduli. Menghalau rasa bosan dia menonton Upin dan Ipin. Suara menggema di ruangan.

Seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu. "Tuan muda, apakah Anda butuh sesuatu?" tanyanya sopan.

Bastian mengangkat kepalanya dan menjawab, "Tidak!" Jawaban tersingkat cukup membuat mereka tidak mengganggunya.

Tidak ada ketukan lagi, Bastian kembali menonton, dia mengecek ponselnya. Room chat Trinity Squad sunyi. Biasanya Hendrik atau William yang nyepam, dan sekarang dia sedikit kecewa. Dia mengambil selimut dan terbaring di kasur, matanya terpejam segera dia pergi menembus cakrawala.

Di sebuah rumah sederhana. Hendrik dirawat oleh Ibunya. Dengan lembut dia memberinya perhatian. "Apakah sudah lebih baik?" Hendrik mengangguk.

"Jadi ngerepotin. Maaf ya Bu." Ibunya mengusap kepalanya lembut dan tersenyum.

"Kamu kan anak Ibu satu-satunya. Mana mungkin Ibu tak peduli. Istirahat yang cukup. Ibu ada kerjaan, ibu tinggal bentar gak apa kan?"

Hendrik menggenggam tangan Ibunya. "Ibu kerjanya jangan terlalu keras aku takut ibu sakit," ujarnya dengan ekspresi sedih. Ibu Heni–selaku orangtua Hendrik, dia memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang

"Iya, ibu akan hati-hati kok." Usai bercengkrama dengan Ibunya, Hendrik tiduran di kasur. Pintu tertutup, angin bertiup kencang. Dia mengambil bingkai foto. Tiga orang menampilkan senyuman yang tulus. Hendrik mengusap wajah kakaknya yang pergi.

Hendrik dua bersaudara, dia memiliki seorang kakak perempuan bernama Helen. Dia menghilang ditelan bumi. Usai kelulusan, sang kakak tidak ditemukan. Terakhir pas liburan, dia pergi bersama teman-temannya. Namun, katanya terjadi kecelakaan.

Anehnya jasad sang kakak tidak diketahui. Hendrik menggenggam pinggiran bingkai dengan kuat sampai-sampai tangannya terluka. Dia menghapus cairan bening yang menetes. Setelah itu pihak keluarga sudah sekuat tenaga mencarinya. Namun, jejaknya saja tidak dapat dilacak. Dia dan Ibunya sangat sedih. Sekarang Ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan ayahnya. Hendrik tidak tahu dan tak terlalu mengenalnya.

Ayah serta Ibunya sudah bercerai lama sejak Hendrik berusia tiga tahun, dia setahun lebih muda dari kakaknya. Hendrik pernah bertanya kepada teman-temannya seputar pekerjaan kakaknya, dan salah satu dari mereka memberi tahu bahwa kakaknya bekerja di klub malam.

Semua klub dia datangi, tetapi tidak ada yang tahu di mana kakaknya berada. Hendrik sempat putus asa. Hubungan mereka tidak terlalu akrab. Hendrik merasa kakaknya menyimpan sebuah rahasia dan tak seorang pun boleh tahu. Kakaknya jarang pulang hanya mengirim uang saja.

Semuanya sudah berlalu, meskipun kakaknya belum ketemu, Hendrik percaya bahwa kakaknya pasti selamat dari maut. Meskipun sedikit kemungkinan, tetapi Hendrik tak pantang menyerah. Dia mencari sosial medianya, di sana dia berfoto dengan seorang laki-laki. Hendrik menyimpan foto tersebut dan diam-diam melacaknya.

Ibunya sudah pasrah bahwa putrinya sudah pergi karena tidak ada kabarnya lagi. Dia bekerja di sebuah rumah menjadi asisten rumah tangga. Setidaknya kehidupan anaknya terpenuhi. Mulai dari membiayai sekolah serta ekonomi yang menipis.

Mereka tidak kekurangan sedikit pun. Namun, ada satu hal yang dia sembunyikan dari anaknya bahwa dulunya dia pernah menjadi kupu-kupu malam dan berkerja di sebuah klub, tetapi dia berhenti usai menikah. Parasnya masih cantik dan awet muda.

Menjadi pembantu rumah tangga tidaklah mudah seringkali majikannya menggodanya dan mendekatinya di sela-sela pekerjaannya, tetapi Heni selalu bisa menghindarinya.

Sungguh lelaki bajingan. Beruntung dia menikahi perempuan yang baik hati. Melinda–istri dari Jason. Mereka blasteran Belanda–Indo dan memiliki dua orang anak. Satu perempuan dan laki-laki.

Namanya James dan Jeni. Mereka seumuran dengan Hendrik. Akan tetapi, James terkenal bandel di sekolah, sedangkan Jeni sama saja. Melinda selalu menerima surat tentang kenakalan mereka. Dia sering menghela napas.

Heni–Ibu Hendrik selalu di sisinya, terkadang memberinya nasehat dan merawatnya dengan baik. Mereka seperti teman saling berbagi satu sama lain.

"Apakah anakmu baik di sekolah?" tanya Melinda.

"Kadang-kadang dia suka nakal tapi lucunya dia juga merasa bersalah." Melinda menepuk tangannya.

"Aku iri padamu. Seandainya James dan Jeni berperilaku baik. Aku pasti senang." Melinda berwajah masam. Buru-buru Heni menenangkan.

"Nyonya, jangan bersedih. Bagaimanapun juga anak-anak jaman sekarang suka mencoba hal baru. Lingkungan sekitar juga berpengaruh tapi balik lagi kita perlu memberi mereka batasan," jelasnya.

Melinda mengangguk. "Kau benar. Mereka sudah terlalu jauh dan aku tidak ingin kehilangan mereka." Di sela-sela bercengkrama. Suara keras memekakkan telinga menyapu indra pendengaran. Melinda segera melihat. Dia membeku.

Heni pun ikut terdiam. Kelakuan James sudah seperti preman dan parahnya lagi sulit diatur. Dia datang dengan gerombolan anak nakal merusak pekarangannya. Melinda menegurnya, "James!"

James menatap sinis dan tak peduli, dia melempar jaket ke sofa dan berjalan angkuh. Melewati Ibunya. Melinda mengusap dadanya. Heni maju tuk menopang tubuhnya yang tak stabil. "Apa Anda baik-baik saja?"

Melinda mengembuskan napasnya. "Kau lihat. Anak itu tidak punya sopan santun sama sekali. Benar-benar keterlaluan. Aku harus memberi tahu Jason tentang kelakuannya." Melinda melangkah cepat, meraih telepon genggamnya dan menelepon suaminya.

Tidak ada jawaban, Melinda bergerutu, "Ck, ke mana sih itu orang? Daritadi teleponku tak diangkat olehnya."

"BIBI AMBILKAN MINUM!" Heni langsung bergegas ke dapur dan menyiapkan minuman dan berjalan ke atas. Pintu terketuk, dan suara menjawab dari dalam.

Heni melangkah, dan menaruh gelas yang berisikan jus ke meja. Dia melihat James tak berpakaian duduk di atas kasur. Matanya sibuk dengan telepon genggam.

"Den, ini minumannya. Ada lagi kah yang Anda butuhkan?"

James mengangkat kepalanya dan menatapnya sengit. "Enyahlah!" Heni menundukkan kepalanya dan menutup pintu.

Tring!

Doni:
Woy, ke klub kuy, ada barang bagus nih dijamin lo bakal suka.

James menyeringai dan langsung setuju, dia meneguk air dan fokus bermain game. Heni melihat Melinda duduk dengan tatapan yang rumit. Dia tidak bisa menganggunya saat ini jadi, dia memutuskan kembali ke tempatnya dan mengirim pesan ke anaknya.

To: Hendrik
Ibu tidak pulang, kamu jangan lupa makan ya  😊

From: Hendrik
Oke 😊 Ibu jaga kesehatan ya.

Heni tersenyum melihat pesan tersebut. Dia hanya punya anak laki-lakinya saja. Heni memasukkan telepon genggamnya ke saku.

_____ See you next part _____

👇 INJEK BINTANGNYA!

The Mission Puzzle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang