TMP 56 : Tamu Tak Diundang

34 5 12
                                    

Bastian tak menyangka jika kedua temannya akan mendatanginya seperti ini. Sudah lama juga mereka tak bertukar pesan. insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu sudah terlupakan, Hendrik pun tak lagi mengingat. Tak ada tahu kebenarannya, seakan menjadi rahasia alam.

"Apa kabar lo?" tanya Hendrik.

"Bisa lo liat sendiri."

"Enak banget ya jadi lo. Apa-apa disediakan oleh pelayan. Bikin iri aja. Gue mah apa tuh hanya alas gorengan."

Hendrik mulai melankonis.

Bastian melempar apel kepadanya dan langsung ditangkap dengan satu tangan. Hendrik langsung memakan semuanya. Hanya William saja yang tak bersuara. Sejak mereka masuk ke kamar, William menaruh perhatiannya ke seberang rumah.

Bastian yang tengah duduk, melirik William yang tengah berdiri di dekat jendela, dia pun penasaran. Maka dari itu, dia bertanya kepada Hendrik.

"Si Juned liatin apaan, sih?"

Hendrik mengangkat bahu. Bastian beranjak dari tempat duduk dan menepuk punggung William. Mendapat senggolan, sang empu hanya melirik dan kembali menatap.

Setelah terdiam. William membuka suaranya. "Rumah sebelah lo ada penghuninya nggak?"

Bastian mengangkat sebelah alisnya. "Yang mana?"

Ibu jari menunjuk ke rumah bercat putih. Bastian menggeser jendela dan melangkah maju. Hendrik terpesona.

"Kurang tahu juga. Lagian gue nggak akrab dengan orang di sini."

William mencibir, "Masa sama tetangga sendiri nggak kenal sih. Lo termasuk anti sosial, ya."

Bastian membuang muka, memang benar adanya bahwa dirinya tak terlalu mengenal lingkungan sekitar. Hanya beberapa orang yang berkeliaran di jalan. Namun, dirinya tak dekat dengan mereka.

Hendrik merentangkan tangannya. "Ribut aja lo berdua. Udaranya segar banget. Keren ini tempat!"

"Karena kalian sudah di sini, kenapa nggak nginep aja sekalian." Akhirnya terkatakan meskipun ragu-ragu.

Mata Hendrik berbinar. "Bolehkah?"

Bastian hanya mengangguk lagipula rumah sebesar ini hanya dirinya seorang dan beberapa pelayan yang tinggal seperti tak ada tanda-tanda kehidupan.

Hendrik menarik William ke sisi lain untuk mendiskusikan hal ini.

"Mau ya Will? Ayolah!"

William bergumam, "Gimana, ya...."

"Ini tuh bisa jadi kesempatan buat lo untuk menjauh dari orang itu."

Seperti mendapat pencerahan, William pun hanya mengangguk. Benar kata Hendrik. Waktu luangnya selalu terikat olehnya tanpa bisa melakukan apa pun. Dia merasa masa remajanya seakan sia-sia jika berada di dekat serigala berkulit hitam itu.

"Kita setuju, Bas!" Ketiganya sepakat.

***

Kamar Bastian terbilang luas karena tak banyak perabotan, kasur besar bisa dihuni beberapa orang. Hendrik mengirim pesan ke ibunya untuk menginap di rumah teman. Tentu saja ibunya tak melarang, sedangkan William masih ragu membuka ponsel.

Dia mengembuskan napas, mode pesawat dibebaskan. Beberapa panggilan tak terjawab menumpuk. William membuka salah satu.

Hanya ibunya dan Windi yang tak menelepon. Sungguh terlalu! Kebanyakan panggilan dari orang yang sama. Hadeh, kurang kerjaan banget ini orang!

Dengan inisiatifnya sendiri, William menelepon ibunya. Namun, panggilannya tak tersambung, dan dia mencoba ke nomor Windi. Hasilnya pun sama saja.

"Ke mana perginya ibu anak ini?"

The Mission Puzzle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang