21

230 10 2
                                    

Hari ini Ren mengawali harinya dengan semangat. Ia berjalan mengantar susu dan koran sambil bersenandung riang, sampai tak terasa pekerjaannya sudah selesai dan ia tengah melangkahkan kakinya ke sekolah. Ia menyapa satpam sekolah dengan ramah dan sopan. Ia lebih memilih kena pukul ketimbang mengabaikan orang yang lebih tua darinya. Itu sama sekali tidak sopan kan?  Untungnya satpam-satpam di sekolah sangat ramah dan bahkan sama sekali tidak pernah membentaknya. Bunyi kruknya menggema sepanjang lorong. Senyum terus terukir, rasanya ia tak sabar menanti pulang sekolah. Seolah mendukung suasana hati Ren, langit pun cerah berseri.
"Ren!"
Ren menoleh, mendapati Tyo melambaikan tangannya dengan riang, dan Devan yang tersenyum simpul. Tyo berlari kecil dan dengan girang menjepit leher Ren. Ren terkekeh, kruknya jatuh tanpa sengaja.
"Heh, udah lepasin anak orang"
Ren terkekeh, menerima kruk yang diberikan Devan sambil menggumamkan Terima kasih.
"Eh Ren, ntar jadi kan?"
"Iya. Nanti pulang sekolah dijemput kakak, ambil barang kalian terus berangkat. Sudah packing kan?"
"Udah dong... Yaudah yok kelas"
"Duh... Taman dulu napa dah, masih pagi ini, masih 15 menit juga. Nyemil dulu kek di taman"
"Huuuu... Dasar. Kebiasaan" Devan mendengus. Temannya yang satu ini memang raja nya makan. Tyo mengambil kembali kruk Ren, memberikannya pada Devan sementara tangannya dengan cepat bertengger pada leher Ren. Devan mendengus lagi. 'Dasar seenaknya' batinnya, tapi nyatanya kakinya tetap mengikuti kemana dua temannya itu melangkah. Tyo duduk di bawah pohon, membuka tas nya yang ternyata berisi banyak camilan, membuka sebungkus keripik kentang dan menaruhnya di tengah.
"Eh Ren"
"Hmm?"
"Kok aku ga pernah lihat ayahmu ya? Waktu ambil raport, yang ambil pelayanmu kan?"
Ren diam sejenak, agak terkejut mendengar pertanyaan Tyo sebelum dengan cepat mengubah raut wajahnya.
"Hu'um. Ayah sibuk"
"Ooh... Kakakmu?"
"Kakak di luar negeri dari aku kecil, baru pulang beberapa bulan lalu"
"Ob yaampun... Pasti sepi banget rumahmu dong? Tapi kan ayahmu di rumah ya...at least sabtu minggu, kalian main kan?"
Hati Ren terasa berat. Seandainya bisa, ia sangat ingin. Tapi apa daya, ayahnya bahkan memanggil namanya tidak sudi. Ren berusaha tersenyum, ia menggeleng pelan.
"...Ayah sibuk.."
Devan yang sedari tadi memperhatikan, memberi kode tangan pada Tyo untuk menghentikan pembicaraan ini. Tyo mengernyit heran. 'Memang apa yang salah sih?" Pikirnya heran. Baru akan buka mulut, bel tanda masuk berbunyi, menuntun mereka kembali memasuki kelas untuk menimba ilmu.

~~~ooo~~~


Ren menghirup nafasnya dalam, tersenyum merasakan aroma laut yang disukainya. Harry tersenyum kecil melihat tingkah adiknya, pasalnya adiknya itu sedikit murung dan banyak diam sejak pulang sekolah tadi.
"Kak, Ren ke toilet dulu ya"
Ren melangkahkan kakinya pelan setelah mendapat persetujuan dari kakaknya. Ia menyalakan air kran, berjongkok dan memuntahkan makanan yang tadi siang disantapnya. Ren menunduk, matanya berair merasakan sakit dan mual pada perutnya.
"Ugh... Hhah... Hhah... "
Ren terduduk, bersandar pada dinding dan mendongakkan kepalanya. Demi apa, perutnya sakit bercampur mual. Kepalanya terasa sedikit pening, ia memijit pelipisnya pelan. Ren berdiri, dan segera berpegang pada dinding saat tubuhnya oleng tak tala perutnya kembali sakit. Ia muntah lagi, dan kini ada sedikit darah ikut keluar dari mulut kecilnya.
'Ya Tuhan... Kenapa sakit sekali?'
Ren diam sejenak sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Ia melihat kakaknya dan Rudi masih menunggu di samping mobil, sementara Tyo dan Devan sudah agak jauh berjalan di depan.
"Sudah? Kenapa lama?"
Ren cuma bisa memberikan cengiran mautnya.
"Hehehe..ya maaf...biasa lah"
Kakaknya memutar matanya, sementara Rudi sedikit memicingkan mata.
"Bener?"
Ren mengangguk, mulai menunduk merasa tak nyaman.
"Mukamu pucat lho Ren. Yakin gapapa?" Rudi bertanya curiga, sementara Harry memasang muka serius. Ia menangkup pipi Ren, dan benar saja, muka adiknya memang lumayan pucat.
"Kamu sakit? Ga enak badan? Atau gimana?" Harry bertanya cemas. Ren menggeleng sambil tersenyum.
"Ren gapapa kak..serius..udah..ayo ke sana, itu Tyo sama Devan udah jauh"
Rudi mencekal tangan Ren.
"Lu bohong kan? Kenapa lu? At least jujur lah sama aku sama kak Harry"
Ren menggeleng ribut. Tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya.
"A-a-Re-ren ti-tidak bo-hong"
"Oh masa? Seratus persen aku yakin kamu bohong." Rudi mulai kesal. Bukannya apa, tapi dia khawatir. Lagipula, kenapa Ren tidak mau terbuka padanya? Rudi makin kesal saat melihat Ren dalam cengkramannya masih kukuh menggeleng pelan. Harry hanya diam, memperhatikan interaksi dua remaja di depannya.
Rudi dengan cepat mendorong pelan tubuh Ren hingga punggungnya menempel mobil, lalu menekan cepat suatu titik di perut Ren. Ren terpekik sakit dan spontan menekuk tubuhnya. Rudi berdecih. Ia merogoh kantongnya dan dengan kesal melemparkan obat itu pada manusia yang sudah dianggapnya adiknya sendiri.
"Itu, kunyah! Bohong aja terus! Ga usah anggep aku lagi! Inget Ren, gini-gini aku udah lulus verifikasi asdok, dan lu-" Tangannya menunjuk muka Ren dengan kesal.
"Ga bisa bohong kalau sama gua. Kayaknya, cuma aku yang anggep kamu berharga di sini, nggak ada sebaliknya"
Rudi tersenyum kecut, lantas menoleh pada Harry.
"Kak, makhluk satu itu maag akutnya kambuh. Ru yakin tadi dia habis muntah-muntah. Kalau ada bubur tolong kasih bubur setengah jam habis minum obat tadi, kalau ga ada bubur boleh roti atau apa, yang penting perutnya ada isinya. Ru susul Dev sama Tyo dulu"
Harry cuma bisa mengangguk. Dalam hati ia merasa malu, iri, bersalah, dan menyesal jadi satu. Bahkan orang lain lebih tau tabiat adiknya daripada dia, kakaknya sendiri. Rudi bisa tau Ren bohong, Ren sakit, sementara dia? Apa memang dia masih berguna sebagai kakak?
Ren menunduk. Sedikit banyak merasa bersalah pada Rudi. Ia hafal betul, Rudi sudah pakai aku-kamu, dia pasti marah. Belum lagi kalimat Ru tadi, membuatnya tak enak hati. Ingin rasanya ia berlari mengejar Ru, meminta maaf, tapi ia takut. Ren takut pada orang yang sedang marah, ingat? Memang, Ren lebih memilih Ru menghajarnya habis-habisan asal jangan sampai Ru menjauh darinya, namun Ren juga sadar, tubuhnya sekarang sedang lemas bukan main. Kalau dia dihajar sekarang, nanti bagaimana kalau-
"Ren?"
"A-ah.?I-iya?" Ren tergagap kaget.
Harry membuang nafasnya.
"Pertama. Makan dulu obatmu."
Ren mengangguk, dengan cepat tangannya membuka bungkus obat dan mengunyahnya.
"Kedua. Badanmu gapapa? Kamu sakit?"
Ren menggeleng.
"Perut Ren sakit sedikit, tapi paling habis minum obat nanti sembuh"
"Benar? Mau istirahat aja? Atau mau langsung ke villa? Kita istirahat di sana?"
Ren menghembuskan nafasnya pelan. "Ren gapapa kak...."
Harry mendengus. "Yaudah, nanti kalau masih sakit, bilang ya?" Ren mengangguk.
"Ketiga...kamu susul Rudi sana. Minta maaf. Ren boleh kok, cerita pada siapapun kalau sedang sakit."
Ren menunduk. Harry menghela nafas lagi dan memegang lembut tangan adiknya.
"Ren...kakak bisa lihat, Teman-teman mu adalah orang baik. Mereka tulus sama Ren. Mereka sayang Ren. Ren sayang mereka kan?"
Ren mengangguk cepat. Ren jelas sayang mereka, walaupun nantinya mereka benci padanya, dia sungguh tak masalah.
"Rudi kecewa karena Ren tidak mau cerita. Dia takut kamu sakit. Rudi khawatir. Kamu susul Rudi ya, kamu minta maaf"
Ren menggigit bibir bawahnya erat, matanya mulai berair.
"Ta-tapi..Ru-di...marah..R-Ren..uh...a-a-ayah sebentar lagi pulang..ka-kalau dipukul se-sekarang...Ren takut tidak kuat ka-lau dipukul ayah nanti...hiks"
Isakan Ren lepas.
"A-a-yah...ma-rah..hiks..kalau Ren sa-kit..dan ti-tidak bisa masak sarapan dan sekolah...lalu..nanti Ren di pukul lagi...hiks..hiks"
Harry menutup matanya dengan tangan, mencoba menghapus air matanya tanpa ketahuan. Adiknya yang ketakutan, dan penjelasan putus-putus itu sungguh mengiris hatinya. Apa jangan-jangan, adiknya menganggap semua orang yang marah akan memukulnya juga? Sebenarnya apa saja, separah apa perlakuan ayahnya? Apa separah itu? Kenapa ayahnya-

BRUK

Harry melebarkan matanya saat menemukan Ren sudah tergeletak di tanah dengan mata terpejam penuh kesakitan dan air mata. Ren terlihat membuka mulutnya, nafasnya berderu tak karuan dengan sebelah tangan memegang dada, dan sebelah memegang perut.  Bunyi mengi terdengar jelas dari mulut Ren, dan detik itu juga Harry tau adiknya kambuh. Ia mendudukkan tubuh Ren, menepuk-nepuk pipinya, tapi Ren hanya sedikit membuka mata sebelum terpejam lagi. 
"Ren? Bawa inhealer? Mana inhealermu?"
Tanya Harry sambil meraba saku Ren dengan cepat, tapi kosong. Ia kemudian membongkar tas sekolah Ren, tidak ada. Tiba-tiba ia merasa celananya tertarik pelan, dan saat ia menoleh, Ren menggeleng lemah.
"Ha...bis.." Ren berusaha berkata tersendat. Harry menggigit bibir bawahnya. Kakinya cepat berlari ke arah Rudi barusan berjalan, mendapati nya sudah bersama dengan Tyo dan Devan.
"RUDI!!!REN!!!" Harry berteriak sekeras mungkin, dan ketika mereka bertiga mendengarnya, ketiga orang itu lekas berlari ke arah Ren.
"Inhealer?"
Rudi berdecak saat mendapat gelengan dari Harry. Untung dia punya firasat dan bawa inhealer cadangan. Rudi membongkar tasnya cepat, membuka segel inhealer lalu dengan cepat memasukkannya ke mulut Ren.
"Calm down. Lu nafas. Lu bisa nafas. Follow me, inhale,exhale. Slow, calm"
Rudi bernafas lega saat beberapa saat kemudian nafas Ren mulai membaik. Ren merasa tubuhnya lemas tak bertulang. Ia membuka sedikit matanya, dan mendapati Rudi yang berwajah murung bercampur cemas dan lega. Ren tersenyum sedikit. Ia menimbang, ia seperti nya rela dipukul Rudi asal Rudi tak marah lagi. Tak apa badannya remuk nanti, tapi ia tak mau kehilangan Rudi. Tak mau, dan tak bisa..

To be continue

Thankyou buat yang sudah baca dan mengikuti selama ini 😉
Chapter kali ini jauh lebih panjang, semoga memuaskan 😉

Please comment, vote, like 😉

See you on the next chapter 😉

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang