Di rumah yang tak kalah megah dengan kediaman keluarga Crawd, sosok pemuda berambut kuning dan bermata merah sedang asyik bermain PS di kamarnya. Sedetik kemudian ia mendengus dan melempar stik itu ke sofa. Ia bosan. Ia menyambar HP nya dan merebahkan dirinya di kasur. Memutuskan untuk menghubungi seseorang. Tidak bisa ini, dia terlalu suntuk.
''Halo?''
"Hmm..lagi apa Ren?"
"Umm...?Nggak ngapa-ngapain, kenapa?"
Rudy mengerutkan keningnya. Suara Ren diseberang sana terdengar lirih dan tersengal menurutnya.
"Lu gapapa Ren? Sakit? Kak Harry ada di rumah?"
Ren diseberang sana mengangguk tanpa sadar, sambil mulai menggigit bibir.
"Umm...Re-a-aku gapapa kok Ru...Tapi kak Harry ga ada di rumah...coba telfon HP kakak aja"
Gotcha. Rudy menghela nafas gusar. Jelas ia tahu di bagian mana Ren berbohong.
"Lu di rumah nggak?"
"Iya, Ren di rumah kok"
"Oke. Diem bae situ, gua ke sono"
"Loh ngapain?Tapi kamu kan gatau-Halo,Ru?"
Ren berdecak di seberang sana. Enak saja si Rudy itu mematikan telfonnya. Ia memejamkan matanya, jujur kepalanya pening bukan main. Ia duduk sambil meringis pelan. Perutnya sakit bukan kepalang tiap ia menggerakkan otot perutnya. Tadi di sekolah Wibi cs sudah mempermainkannya habis-habisan, dan seperti pepatah sudah jatuh, tertimpa tangga pula ; ia pulang telat, tidak bisa bekerja, dan lebih sialnya lagi, ayahnya sedang ada di rumah. Demi apapun badannya terasa remuk. Frank menghajarnya tanpa perasaan. Ia ingin membawa langkahnya menuju dapur, tapi ia merasa tak mampu. Haus, tentu saja, ia belum minum sejak pulang sekolah 3 jam lalu, pasalnya ia takut ayahnya masih berada dirumah walaupun sang ayah biasanya langsung segera pergi setelah menghukumnya. Ia berjalan tertatih menuju kamar mandi, memutuskan untuk minum dari air kran. Kakinya turut perih karena Frank sempat memukuli kakinya dengan brutal menggunakan rotan. Kamar kakaknya terkunci dan obatnya di kamar juga sudah disita semua oleh Frank saat memukulinya tadi. Ah, hari ini Ren benar-benar merasa sial.
.
.Disisi lain, Rudy segera berganti baju dan menyambar kunci mobilnya setelah dengan sepihak mematikan telfon. Ia turun dengan sesegera mungkin ke ruang obat guna merampok sebagian obat ayahnya disana, yang dirasanya akan dibutuhkan oleh Ren. Tak lupa ia menyambar beberapa inhealer dan oxycan dari sana. Setelah memasukkan semuanya kedalam tas khusus miliknya, ia tergesa mengunci ruang obat dan bergegas menuju pintu depan setelah sebelumnya berteriak pada kepala pelayan dirumahnya. Entahlah, perasaannya tak enak. Ia tahu dengan pasti bahwa adiknya -yang diangkatnya seenaknya sendiri- itu sedang berbohong, dan tidak baik-baik saja. Anak itu tidak pernah bilang jika ia sedang sakit dan selalu berbohong, tapi Ren terlalu bodoh untuk bohong. Sikapnya terlalu gugup dan kaku. Dengan sederet hipotesisnya, ia menyimpulkan bahwa ren sedang tidak baik-baik saja.
"Lho Ru? Mau kemana?"
Rudy hampir saja terjengkal saat ayahnya membuka pintu depan.
"Mau ke rumah Ren pa, tadi Ru telfon Ren, tapi kayaknya dia lagi sakit, suaranya aneh, terus nafasnya terengah, Ru khawatir banget"
Brian menahan nafasnya yang tercekat. Kini ia sama kalutnya dengan Rudy, apalagi ia telah mengetahui fakta bahwa anak angkatnya -yang dia putuskan sendiri- itu tidak mendapatkan perlakuan yang baik di rumah.
Brian meraih punggung Rudy dan mendorongnya cepat.
"Udah bawa obat kan? Papa ikut. Lagian kamu kan gatau rumahnya"
Rudy menepuk dahi, lalu mengangguk dan segera berlari ke mobil diikuti Brian, membiarkan Brian mengambil kemudi menuju ke kediaman Crawd.
.
.
.
.
Shizu membuka pintu saat bel rumah berbunyi dan tersenyum saat melihat tamu dihadapannya.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"
Pria paruh baya dihadapannya membalas senyum.
"Kami teman Harry. Apa Harry ada?"
"Maaf tuan, Tuan muda Harry sedang tidak ditempat"
"Kalau begitu, apa ada Tuan Frank atau Ren di rumah? Kami ada keperluan mendesak"
"Saat ini yang ada di rumah hanya tuan muda Ren, silakan ikut ke ruang tamu"
Shizu mengetuk pintu kamar Ren setelah sebelumnya mempersilakan kedua tamu tersebut untuk menunggu di ruang tamu. Ren mempersilahkan Shizu untuk masuk. Ia sebenarnya lebih senang menemui orang diluar kamar, tapi masalahnya sekarang kaki dan badannya sakit luar biasa, ia tak sanggup jalan lagi. Sebetulnya ia benci jika kamarnya yang menyedihkan itu terlihat. Kamarnya sangat kecil dan sederhana, hanya ada kamar mandi sempit, kasur yang sudah keras dan tipis, lemari tua, juga meja lipat kecil yang dibelikan Shizu sebagai hadiah ulang tahun yang ke 3. Sebetulnya ia juga tak mau menunjukkannya pada kakaknya, tapi kakaknya itu sudah berkali-kali masuk ke kamarnya. Beruntung kamar ini punya balkon kecil dan pendingin ruangan. Kata Frank,dulu kamar khusus untuk anjing. Sakit juga hatinya mendengar kalimat sang ayah. Ren tercekat saat Shizu mengatakan ada tamu untuknya dibawah. Matilah, dia sedang tidak sanggup jalan.
"Siapa yang datang bi?"
"Namanya tuan Brian dan tuan Rudy"
"Apa?!"
Ren terlonjak terkejut. Bagaimana bisa mereka tau rumahnya? Gawat. Ini gawat.
"Bagaimana tuan kecil? Katanya mereka teman tuan muda"
"Oh? Emmm..bi-bisa bilang ka-kalau Ren tidur bi? Re-Ren ngantuk"
Shizu menghela nafas. Mau bagaimana lagi, ini perintah tuannya.
"Baiklah tuan kecil, saya sampaikan dulu...Emmm...kemudian...apa tuan kecil butuh sesuatu? Mau bibi bantu obati setelah ini?"
Ren menggeleng.
"Tidak usah bi, makasih" Tolak Ren lembut sambil tersenyum manis.
"Baiklah, kalau begitu bibi permisi dulu. Selamat tidur tuan kecil"
Shizu melangkah penuh kekhawatiran. Ia dan pelayan lain dengan jelas melihat bagaimana tuan besarnya menghukum Ren tadi. Kalau bisa ia ingin menyuruh Sui membopong tuan kecilnya itu ke rumah sakit, tapi semua tau itu tidak mungkin.
Rudy dan Brian segera berdiri saat melihat Shizu menghampiri mereka.
"Maaf tuan-tuan, tuan muda Ren sedang tidur dan tidak bisa diganggu"
Brian mengangguk. Lalu ia berujar kecil, namun masih bisa didengar oleh Shizu.
"Aku tau kamu bohong. Kalau Ren sedang tidur, tidak mungkin mukamu secemas itu. Aku dokter, kami sengaja ke sini untuk mengobati Ren. Tunjukkan jalannya"
Shizu berbinar. Mungkin ini jawaban dari rasa khawatirnya. Ia mengangguk, lalu berjalan mendahului mereka untuk menuju ke kamar tuan kecilnya.
Tok tok tok
"Tuan kecil?"
"Iya, masuk" Suara lemah Ren menyaut dari dalam kamar.
Didalam sana Ren mendesis, merasakan pening yang luar biasa. Keringat dingin membasahi dahinya. Perutnya sakit, dan dadanya sudah mulai sesak sejak beberapa menit yang lalu.
"Ughhh"
Ia merintih tanpa sadar sambil terpejam.
"Ren.."
Ren menoleh terkejut. Bagaimana mereka bisa sampai disini?
"O-om? Ru?Ko-kok bisa...?A-ah..ma-maaf...ka-kamar Ren berantakan dan jelek.." Cicitnya pelan sambil menunduk.
Ru mengisyaratkan Shizu untuk pergi dan menutup pintu kamar sementara Brian menghampiri ranjang kecilnya. Tak dipungkiri ia sangat terkejut melihat betapa sederhananya kamar anak seorang Crawd. Diam-diam ia mengerut marah pada kelakuan kepala keluarga Crawd.
"Astaga Ren...gimana rasanya? Apa yang sakit?Maaf ya om datang tiba-tiba" Ujarnya pelan sambil mengelus kepala Ren.
Ren menghela nafas, lalu tersenyum. Ya sudah, mau bagaimana lagi, sudah terlanjur; batinnya.
"Re-Ren nggak a-apa-apa om..Om dan Ru...kok bisa kesini? Tau alamat Ren dari mana?"
Ren bingung sekali, pasalnya ia sama sekali tidak pernah menunjukkan alamatnya.
Brian menyeringai.
"Rahasia"
Ren menepuk dahinya. Inilah kenapa ia benci rumah sakit dan segala fasilitas kesehatan lainnya. Pasti Brian mendapat datanya dari rumah sakit.
Brian tergelak. Rudy sedari tadi hanya diam saat melihat kamar Ren. Otak cerdasnya bisa menebak apa yang terjadi pada adiknya yang satu ini. Semua puzzle seakan tersusun semua menjadi satu. Ren yang terlalu penakut. Ren yang sering terluka. Ren yang terlalu canggung, terlalu suram, sikap Ren yang tidak seperti anak-anak seusia mereka, Ren yang takut dibentak, semua sikap Ren yang aneh menurutnya kini terasa wajar saat hipotesis sialan itu merasuki pikirannya. Mendadak juga ia teringat saat Ren memaksa ingin bekerja sampai menangis sesegukan dirumahnya. Tangannya terkepal erat. Jika kata Harry mereka hanya 2 bersaudara dan sang bunda sudah dipanggil sang pencipta, maka dalang dibalik semua ini hanya satu. Ayah Ren. Mata Rudy memanas. Ia mengatur nafasnya, mengatur agar ia tak sampai menangis. Tersadar, ia sangat bersyukur lahir di keluarganya yang sekarang. Punya orang tua lengkap dan sangat mengasihi dan mendukungnya.
"Ren...om periksa dulu ya, kali ini tanpa baju"
Ren menggeleng keras. Ia tidak mau.
Brian menatap Ren sendu.
"Ren...dengerin om baik-baik dulu bisa?"
Ren mengangguk. Matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis.
"Ren tidak perlu takut, tidak perlu sembunyi lagi. Om sudah tau semuanya, tante dan Rudy juga. Semua ga akan berubah, kami cuma mau membantu Ren dan janji gak akan bilang siapa-siapa...Sekarang kan ayah Ren juga gak ada...boleh ya om obati?Hm?"
"Ja-janji...ga akan bilang siapa-siapa?Ru juga?"
Brian dan Rudy mengangguk. Rudy duduk di pinggir kasur Ren.
"Mulai sekarang cuma keluarga gua dan keluarga lu yang tau, kita janji ga akan bilang siapa-siapa. Gua...minta maaf baru sadar sekarang Ren"
Rudy sedikit tercekat. Ren menggeleng.
"Bukan salah Ru..."
"Jadi...kamu...nekat pengen kerja...soalnya untuk beli...."
Ru menghentikan kalimatnya karena sesak yang melanda. Ren tersenyum miris dan mengangguk.
"Obat."
Air mata Rudy menetes, dengan cepat ia berbalik untuk menghapus air matanya tanpa ketahuan Ren.
"Yaudah, sekarang lepas bajunya ya, om periksa dulu. Rudy, tolong kunci pintunya nak"
Rudy mengangguk, dengan cepat mengunci pintu kamar Ren. Ren membuka bajunya pelan.
"ASTAGA REN!"
Rudy dan Brian berteriak serempak saat Ren membuka kaus hitamnya. Tubuh itu penuh lebam dan darah, dari pundak hingga perut, semuanya. Wajah mereka memerah menahan amarah. Brian menghembuskan perlahan.
"Sakit banget?"
Ren mengangguk ragu.
"Inget Ren, jujur ya, toh kita udah tau semua kok"
Ren mengangguk lagi.
Brian dengan serius mulai memeriksa Ren, sementara Rudy menyiapkan obat-obatan.
"Bentar. Ren, kakimu..."
Rudy melotot. Kaki Ren terlihat bengkak dan memerah dengan luka gores di sekujur kakinya.
"Astaga..."
Muka Ren memerah menahan malu. Tubuhnya sangat jelek, tapi mereka malah melihatnya seperti ini.
"Su-sudah...ren gak papa..."
Rudy menggeleng.
"Sorry. Ga ada gapapa gapapa ya ren, biar papa periksa lu"
"Ta-tapi...re-ren...badan ren...je-jelek...ren maluu. Nanti kalian jijik sama Ren...Ren gamau"
Ren menunduk. Matanya sudah berkaca-kaca.
Brian menggeleng.
"Badan Ren gak jelek sayang. Banyak loh badan yang lebih jelek di rumah sakit. Ya gak ru?"
Rudy mengangguk dengan mantap.
"Percaya deh Ren. Udah, gak usah malu"
Ren menggigit bibir. Ia malu, tapi ia membiarkan Brian mengecek keseluruhan badannya. Rudy sudah memberinya inhealer, dan sekarang nafasnya sudah kembali normal.
"Ren, kalalu boleh tau..memangnya kenapa Ren sampai di pukul?"
"Ren...ren pulang telat..."
Brian menggeram. Pulang telat?! Cuma karena pulang telat seorang ayah menghancurkan anaknya hingga seperti ini. BIADAP!
"Memang lu harus pulang jam berapa ren?"
"Lima.."
Rudy cuma bisa mengangguk. Ia harus mengingat ini nanti. Brian bergegas menuju pintu saat terdengar suara ketukan pelan. Terlihat Shizu membawa bubur panas, tampak ragu untuk bicara sesuatu. Brian yang peka segera keluar dan menutup pintu di belakangnya.
"Kenapa?"
Shizu membuka mulutnya, lalu menutup kembali. Terlihat takut dan ragu-ragu.
"Bicara aja, kita udah tau semuanya"
Shizu mengangguk ragu.
"Umm..saya..sangat menyayangi tuan muda dan tuan kecil..tolong...tolong jaga tuan kecil..tuan kecil..dia sudah sangat menderita dari kecil tuan..saya tidak mampu menjaga dan membahagiakan tuan kecil..tolong bantu saya..saya mohon"
Shizu tak kuat menahan air matanya yang tumpah. Ia membungkuk dalam, terbawa kebiasaan nya di Jepang dulu.
Brian tersenyum tulus dan menegakkan tubuh Shizu.
"Tanpa kau minta, aku dan keluargaku akan menjaganya. Kami pun sayang padanya. Aku minta tolong juga padamu untuk menghubungiku jika ada masalah. Ini kartu namaku, ambil ini dan bagikan pada pelayan-pelayan lain yang peduli. Aku butuh sebanyak mungkin mata dan telilnga untuk melaporkan keadaan Ren, termasuk keadaan seperti sekarang ini. Jika memungkinkan, ambil foto atau video sebanyak mungkin dan kirim ke nomorku. Tapi kalian harus berhati-hati agar jangan sampai ketahuan"
Shizu mengambil setumpuk kartu dari Brian.." Ia menghitungnya sejenak lalu mengembalikan sisanya pada Brian.
"Baik tuan. Ini, saya ambil secukupnya saja karena bahaya jika ketahuan."
Brian mengangguk.
"Apa lagi?"
Shizu menghela nafas. "Apa..saya boleh membuatkan bubur untuk tuan kecil? Ta-tapi tolong tuan dan tuan Rudy makan juga bersama, jadi kalau nanti tuan besar lihat, beliau tidak terlalu marah pada tuan kecil..Kasian tuan kecil, tuan. Tuan kecil belum makan apapun sejak kemarin pagi...saya takut tuan kecil maag"
Brian tidak menyembunyikan raut terkejutnya.
"Lalu kenapa dia tidak makan? Kenapa kalian tidak membuatkan dia makan?"
Shizu menunduk dalam. Menimbang apakah ia harus bercerita atau tidak. Masalahnya, hampir semua kejadian, jika tidak baik, pasti tuan besarnya akan langsung menyalahkan Ren.
"Maaf tuan, saya tidak bisa cerita. Jika ingin tau ceritanya, lebih baik tanyakan langsung pada tuan muda atau tuan kecil. Bukan kapasitas saya untuk bercerita tuan, saya mohon maaf"
Brian mengangguk. Pelayan ini sangat setia dan bisa diandalkan. Persis seperti kepala pelayan di rumahnya.
"Siapa namamu?" Tanya Brian penasaran.
"Saya Shizu tuan, saya kepala pelayan di kediaman ini"
Brian mengangguk lagi. 'Tuh kan, bener' Pikirnya.
"Kalau gitu tolong buat 3 porsi bubur untuk kami. Buburnya tidak boleh pedas, tidak usah pakai merica. Lalu usahakan selembut mungkin. Bubur ini masih kasar dan sepertinya ada mericanya. Tolong buat ulang ya..Kalau mau beli tidak apa-apa, tapi karena ini sudah sore mungkin susah menemukan bubur. Lalu tolong buatkan air gula hangat. Gulanya banyak ya, sekitar 5 sendok. Bawa kemari secepatnya"
"Baik tuan, Ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Tidak ada, kembalilah. Terima kasih"
Shizu membungkuk sekilas sebelum mengundurkan diri untuk membuat bubur.TBC
HALLOOOO
Ketemu lagi sama karya ini hahahahahaSemoga kalian semua sehat dan baik2 aja yaa...
Maaf maaf banget kalau update nya lama TvT
Ternyata nulis itu butuh keuletan yg luar biasa ckckkck
Salut buat para penulis di luar sana !Start from now greydys bakal berusaha rutin update utk nyelesaiin ini karya ^^
SOO
tolong stay tune ya ^^
Makasi banyak buat semua yg masih aja baca, kasi like, comment, star, atau bahkan nungguin update dari greydys.KALIAN LUAR BIASA!
Tanpa kalian grey g bakal bisa sampai sini.Jadi, makasih buat semuanya!
Seperti biasanya, Jangan lupa like, comment, follow, tiap comment kalian baik itu semangat atau saran, bakal bikin grey berkali lipat lebih semangat.SEE YOU
Salam,
Greydys
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
General FictionMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...