Harry termenung sementara tangannya tak bisa diam memainkan rambut Ren yang sedang tiduran di pangkuannya.
"Kak?"
"Kak?"
Ren mengguncang pelan tangan kakaknya.
"Kakak!?"
Harry terkesiap. Ia sama sekali tidak mendengar panggilan ren barusan.
"Ya? Maaf-maaf, kakak melamun"
Ren menghela nafas. Ia khawatir, kakaknya seperti banyak pikiran.
"Kakak...ada apa?" Tanyanya khawatir. Harry menatap wajah Ren yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dalam hatinya ia bertanya. Bagaimana bisa adiknya itu mengkhawatirkan orang lain, sementara dirinya sendirilah yang harusnya dikhawatirkan?
Harry tersenyum miris, sebelum menggeleng pelan. Tangannya bergerak menyentuh lebam di tangan Ren, mengelus tangan kurus itu perlahan.
"Masih sakit?"
Ren menggeleng di pangkuannya.
Hening sesaat. Tiba-tiba Harry merasa sesak.
"Ren..." Panggil nya tercekat.
"Iya kak? Ka-kak? Kakak kenapa? A-a-apa re-ren salah?" Ren duduk, menatap Harry takut sekaligus khawatir. Pasalnya kakaknya itu tiba-tiba saja menunjukkan raut wajah hampir menangis. Apa dia salah lagi?
Pikirannya sirna saat kakaknya menggeleng pelan.
"Ren, jawab kakak jujur ya?"
Ren mengangguk. Memang kapan dia berbohong? Bisa mati dia kalau ketahuan berbohong.
"Apa...ren...tidak benci ayah?"
Ren menggeleng cepat. Harry sampai kagum, bagaimana bisa ren menjawab tanpa berfikir sedikitpun.
"Tapi ayah sudah jahat pada ren. Apa ren tidak benci ayah, sedikit saja?"
Ren menggeleng lagi.
"Ren..ren... tidak benci ayah ..ta-tapi.."
Ren menghela nafas. Hatinya terasa berat. Ia...rasanya tidak sanggup mengatakan keinginan yang tak akan pernah dicapainya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, dan menetes seiring dengan dadanya yang kian sesak karena perkataannya sendiri.
"Ren...ren...ingin disayang ayah..hiks..re-ren...ma-mau dipeluk ayah...re-ren..mau diobati ayah..sekaliiii saja....re-ren.."
Ren menunduk, bahunya bergetar hebat dengan isakan tertahan. Tangannya menghapus air matanya kasar. Tidak bisa. Dia tidak sanggup membicarakan mimpinya yang mustahil tercapai. Apa... keinginannya terlalu berlebihan? Harry mengusap wajahnya kasar. Berbagai emosi berkecamuk dalam hatinya. Marah, sedih, kecewa, dan semua penyesalannya, berbaur menjadi satu. Tahu-tahu, air matanya menetes deras. Ia hanya bisa memeluk Ren. Ia bahkan tidak tahu bagaimana harus menghibur adiknya. Ia bahkan merasa...tidak pantas. Atas semua kesalahan fatal yang telah ia lakukan, ia tidak pantas.
"Ayah...pasti akan menyesal suatu hari nanti, sudah menyia-nyiakan anak sehebat Ren...maaf...kakak...gagal melindungi ren...kakak payah..kakak gagal..."
Ren menggeleng cepat.
"Kakak tidak salah...kakak tidak salah...Ren yang tidak berguna..."
Ren akhirnya menangis keras. Menumpahkan semua kesedihannya, keletihannya. Kalau boleh jujur, sejujurnya Ren lelah. Ren sakit. Ren sudah hampir tidak mau berharap lagi. Hati dan tubuhnya sudah hancur, ia sudah hampir tidak bisa menatanya ulang. Ia merasa..ia sudah hampir sampai pada batasnya..
"Hiks...ren...ren pantas dibenci...ren..cacat.." isakannya makin menjadi, dengan hati yang kian pilu.
"Ren. Dengar. Lihat kakak"
Ren menggeleng, semakin menundukkan kepalanya. Harry menangkup pipi adiknya lembut, dan menatap kedua netra adiknya yang tak fokus menatapnya
"Ren? Lihat kakak"
Ren menatap matanya takut. Bulir air mata tak kunjung berhenti keluar dari netra berbeda warna itu, membuat Harry mengusapnya lembut.
"Ren. Dengar, dan ingat ini baik-baik. Kakak sayang ren. Sangat amat sayang. Kakak tidak peduli bagaimana keadaanmu, kakak tetap sayang ren. Walaupun seluruh dunia benci Ren, tolong ingat, kakak akan selalu ada untuk Ren. Kalau dunia menentang kasih sayang kakak untuk Ren, kakak akan menantang dunia. Dengar. Kakak bersumpah. Kakak bersumpah akan selalu ada untuk Ren, melindungi dan menyayangi Ren. Kakak bersumpah, kakak tidak akan membiarkan ada orang menyakiti Ren. Walaupun itu ayah sekalipun"
Harry mengelus kepala Ren yang menangis makin keras. Sedikit merasa bersalah karena membuat adiknya menangis sampai seperti itu. Tanpa mereka sadari, Frank mengintip sejak tadi. Tangannya terkepal erat. Hatinya sama sekali tak terenyuh, malahan hatinya diliputi amarah. Berani-beraninya anak sial itu berulah mengambil hati anaknya!
Dalam diam Frank pergi. Memikirkan cara dan mengumpulkan niat untuk memberi anak sial itu pelajaran. Ia tidak akan membiarkan anak itu mempengaruhi putranya. TIDAK AKAN!o~o
Harry menghapus air matanya. Ia lega. Ia bersyukur sudah diberi kesempatan untuk menyatakan janjinya melindungi Ren, dan ia bertekad tak akan lagi melanggarnya.
Tangannya kini bergerak lembut menghapus air mata ren yang belum kunjung berhenti. Dikecupnya kening itu dengan sayang. Dan saat matanya menatap wajah Ren yang tersenyum penuh luka, hatinya kembali terenyuh. Melihat betapa adiknya ingin terlihat baik-baik saja, walaupun tersimpan banyak luka di dalamnya.
Ren menghela nafas berat. Sekali, dua kali. Entah kenapa dadanya sesak. Sekarang ia mulai terbatuk-batuk. Astaga. Apa karena ia menangis terlalu banyak?
"Ren? Ren kenapa?"
Ren hanya menggeleng dengan sisa isakannya.
"Ren sesak? Jujur sama kakak. Ren tidak perlu berbohong dihadapan kakak"
Ren menggigit bibir bawahnya, mengangguk ragu.
"Sedikit..."
Harry menghela nafas. Kakinya melangkah keluar kamar, dan tak lama kemudian kembali membawa bungkusan besar kantong plastik. Tangannya dengan cekatan membuka inhaler dari dalam kantong.
"Tuh kan...sesak. Sudah dong nangisnya...ya?"
Ren mengangguk, namun demikian isakannya masih tersisa.
"Ren...sudah ya nangisnya...nanti makin sesak, ini inhaler mu, nafas pelan-pelan"
Ren berusaha mengatur nafasnya yang makin memburu ditengah isakannya. Bunyi isakan dan mengi bercampur. Setelah sekian menit, barulah nafasnya membaik, dan ia melepas inhaler itu dari mulutnya.
"Sudah enakan?"
Ren mengangguk. Harry membaringkan dirinya dan menarik Ren ke pelukannya, lantas terkekeh saat Ren mengurut dadanya saking terkejutnya.
"Oiya kak"
"Hmm?"
"Tadi di rumah sakit, dokter bilang apa?"
Harry terdiam. Masalahnya memang hanya dirinya yang menemui dokter untuk membicarakan masalah kesehatan Ren tadi.
"Hmmm...besok aja ya kakak cerita, kakak ngantuk"
Ren mengangguk pelan, melesakkan kepalanya ke dalam dekapan Harry, seperti biasa. Tanpa sadar Harry bersenandung. Senandung yang selalu ia nyanyikan saat menidurkan atau menenangkan ren semasa kecil, sebelum ia meninggalkan Ren dengan bodohnya. Ren terpaku. Ia seperti Dejavu. Ia...sangat familiar dengan nada-nada dan suasana ini. Tapi...siapa? Di mana? Ren menggigit bibirnya saat merasakan sakit yang menusuk kepalanya. Semakin ia mengingat, semakin sakit yang ia rasakan. Ren berusaha tetap diam dan mencoba mencari tahu, lagu apa dalam ingatannya, tapi yang ia dapat hanya rasa sakit. Sedikit kilasan terlintas dalam otaknya, tapi Ren tidak mampu memprosesnya karena rasa sakit yang sangat.
"UGHH!!!"
Erangannya lolos tanpa mampu ia hentikan lagi, sakit itu memonopoli tubuh dan otaknya.
"Ren?! Ren?! Ren kenapa? Apa yang sakit?"
Ren terdiam membisu, tangannya meremas kuat kepalanya. Hanya erangan dan rintihan yang terdengar dari mulutnya. Kepalanya sakit sekali, dan tanpa aba-aba tubuhnya melemas begitu saja. Nafasnya terengah-engah saat rasa sakit itu mulai menghilang perlahan. Tubuhnya penuh keringat dingin, membuktikan seberapa keras dirinya melawan sakit yang melanda.
"Ren? Ren? Ren sakit kepala? Kita ke rumah sakit ya? Ayo ke rumah sakit. Ren kuat berdiri?"
"Jangan..ke rumah sakit... ren udah gapapa kak..."
Ren yang masih tersengal, tanpa sadar mulai bicara informal, seakan semua rasa canggung dan takutnya hilang. Harry terpaku sesaat. Ia tidak percaya adiknya akhirnya bisa mulai kembali seperti dulu, di mana adik kecilnya masih menjadi anak yang ceria, dan sangat akrab dengannya tanpa penghalang apapun. Harry bahagia. Apakah..adiknya mulai ingat? Ia ingin terus seperti ini, tapi di sisi lain, ia tak ingin adiknya mengingat masa lalunya yang buruk.
Harry menepis pikirannya. Saat ini bukan waktunya untuk itu.
"Ren, ren betul sudah oke? Sudah gak sakit?"
"Pusing, dikit..itu tadi...lagu apa kak?"
"Kenapa? Ren ingat sesuatu?"
Ren mengangguk pelan.
"Ren...sepertinya Ren Dejavu kak...Ren seperti pernah, eh, sering seperti ini, situasi begini, terus kakak nyanyi lagu yang persis seperti tadi..."
Harry mencium pipi adiknya.
"Itu lagu yang selalu kakak nyanyikan untuk Ren waktu kecil, kalau ren menangis, atau mau tidur..sudah, jangan dipaksa, nanti sakit kepala lagi. Sekarang tidur"
Ren mengangguk, kemudian membawa alam bawah sadarnya ke alam mimpi.Tbc
Haloooo
Maaf banget, lagi-lagi grey lemot update 😭😭😭Makasih banyak buat yang masih ngikutin dan nungguin, yang udah vote dan comment, yang udah semangatin, kalian Ter best, kalian yang bikin grey terus lanjut meskipun kadang buntu dan kepatah2.
Doain grey, supaya bisa kasih effort lebih buat cerita ini :*
Akhir kata, semoga chapter ini memuaskan, dan jangan lupa VOTE, COMMENT, FOLLOW YA! Hehehehe
Makasih banget semuanya :*
Salam hangat,
Grey
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
General FictionMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...