Ren membuka matanya dengan berat hati saat merasa badannya di guncang pelan. Ia masih mengantuk dan niatnya untuk tidur masih full. Ia melihat Rudy yang menatapnya dengan pandangan yang menyebalkan sambil menggelengkan kepalanya seperti orang tua yang memergoki anaknya bermain lumpur.
"Baru ku tinggal sebentar, sudah tidur. Dasar kerbau. Sekarang makan!"
"Hmmmm. Thanks"
Ren mengambil bubur yang disodorkan sahabatnya itu dan mulai memakannya. Rudy memencet interkom setelah ia selesai makan, memberikan intruksi pada pelayannya untuk mengambil perabotan makan yang sudah selesai di pakai.
"UHUK!"
Ren tiba-tiba terbatuk-batuk kecil saat merasa sedikit sesak pada dadanya. Selain perutnya, belakangan ini dada kiri dan kepalanya juga kadang ikut berulah. Walau gangguan sakit kepala sudah sering sekali ia rasakan dari dulu.
"Ren? Lu oke?"
Ren mengangguk. Lama-lama dia sudah biasa dengan bahasa temannya yang kelewat santai ini. Rudy yang terlalu santai, atau Ren yang terlalu kuper?
"Cuma batuk."
Rudy hanya mangut-mangut sambil mengerucutkan bibirnya.
"Eh, main yuk"
"Main apa?"
Rudy mengedikkan dagunya pada TV besar di kamarnya.
"PS. Yuk yuk yuk. Bosen nih"
Ren tersenyum dan mengangguk, walaupun sebenarnya ia sendiri tidak pernah menyentuh benda itu. Rudy membantu ren memegang tiang infusnya dan berjalan menuju sofa kasur di depan TV.
Rudy menarik kaki sofa, sehingga sekarang sofa itu tersulap menjadi sebuah kasur. Ren memandangnya takjub.
"Wow"
"Hah?"
Ren menggeleng.
"Asik banget sofamu. Bisa buat kasur"
Rudy menatap ren heran. Masa ada anak muda yang tidak tahu sofa kekinian yang bisa di ubah menjadi kasur? Cepat-cepat Rudy mengubah raut wajahnya.
"Yaiyalah. Gua gituloh"
Ren mendengus malas.
"Yaudah, cepet di pasang PSnya"
Ren mengambil 2 konsole PS yang tidak jauh darinya, lalu memberikan salah satunya pada Rudy setelah anak itu memasukkan salah satu kaset yang dia pilih.
"Main apa?"
"Race. Bisa kan?"
Ren menggeleng.
"Yaudah, nanti sambil jalan aja, gampang"
Rudy tertawa dalam hati. 'Menang telak nih gua'~•••~
"YAHHHH ANJIR! KOK BISA SIH?! GUA KALAH LAGI COBA!!!"
Ren menyeringai penuh kemenangan. Untuk kesekian kalinya dia menang. Sudah berbagai jenis game PS mereka mainkan, tapi Ren hampir selalu menang. Rudy mendorong bahunya pelan.
"AH LU CURANG! MALES BAT GUA!"
Rudy menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya.
"Yakali gua kalah sama bocah yang ga pernah pegang stik PS"
Ren menaikkan satu alisnya.
"Aku curang apa?"
Rudy cuma menatap ren, lalu mendengus. Ia melempar stiknya pelan ke depan.
"Tauk ah, gelap!" Ujarnya sambil beranjak.
"Mau ke mana?"
"Ambil cemilan! Laper!"
Ren menggeleng sambil terkikik kecil. Lucu sekali kalau Rudy sedang kesal begini. Tak lama kemudian, ia sedikit tersentak saat teringat sesuatu. Cepat-cepat ia mengambil handphone nya yang berada di dalam kantongnya. Mati. Pasti baterai ponsel nya habis. Celakanya, ia tak bawa charger.
"Kenapa lu?"
Ren menoleh pada Rudy yang sudah duduk di sampingnya sambil membawa berbagai toples camilan.
"Nih, ambil"
Ren mengambil sebuah toples berisi wafer coklat dan mulai memakannya. Ren mencoba membuang segala rasa canggung dan takutnya saat bersama Rudy, entah kenapa ia ingin melanggar semua aturan yang di buat ayahnya hanya saat bersama Rudy, dan kakaknya tentu saja. Hatinya terasa sangat hangat dan nyaman saat berada bersama mereka, dan yang terpenting Ren mulai bisa menjadi dirinya sendiri dan menjadi seperti anak normal seusianya. Boleh kan ia membangkang? Kali ini saja.
"Eh, kenapa lu liatin HP mati gitu?"
"Hp ku mati..."
"Yaiya gua tau gebs! Udah tau mati kenapa di liatin pinter?!" Rudy mengatupkan giginya gemas. Ren kadang bisa jadi sangat super bodoh dan lola. Loading lama.
"Mau cek SMS kakak..."
"YA DI CHARGE DONG PINTER! CHARGE! CHARGE LU MANA DAH?"
Tak bisa menahan gemas, Rudy berteriak tertahan sambil mencubit pipi Ren kencang.
"ADUH! SAKIT RU!"
Rudy melepas cubitan mautnya.
"Masalahnya aku ga bawa charger"
Rudy memutar bola matanya.
"Bilang kek dari tadi! Coba siniin hp nya"
"Mau di apain?"
"Mau gua ceburin ke kloset! Udah ah cepet bawel amat"
Ren menyerahkan ponselnya.
"Oh, sama ini charge nya ama punya gua. Bentar bentar."
Rudy meraih kotak di bawah meja, mengeluarkan sebuah charger dari sana dan mencolokkannya pada stop kontak di sebelah ranjang.
"Noh, udah gua charge"
"Makasih ru"
Rudy mengangguk, menatap jam dinding pada nakas. Jam 11 malam.
"Udah ah tidur nyok? Besok lu ga usah kerja deh, kalo perlu gua bolos sekalian nih, males juga sih gua hehehe"
Ren menunduk, kepalanya menggeleng pelan.
"Aku mau kerja Ru. Besok aku harus kerja.."
"Bolos aja. Papa udah larang lu kerja kan? Lu masih sakit Ren. Liat deh, sampai di infus gini! Udah, pokoknya besok bolos, titik!"
Ren menghela nafas. Tidak. Dia harus bekerja. Kalau tidak, bagaimana nanti kebutuhannya? Obat-obatnya?
"Ayok ah tidur"
Ren mengangguk, lalu berjalan kembali ke ranjang di bantu Rudy. Badannya sudah lebih baik, walau tak dipungkiri wajahnya masih sangat pucat. Ia hanya berdoa semoga besok badannya bisa kembali diajak kerjasama menghadapi ayah.
Ren menyalakan ponselnya, dan puluhan chat dan pemberitahuan misscall langsung masuk bertubi-tubi, semua dari kakaknya. Baru akan menghubungi balik kakaknya, telfonnya berdering. Kakaknya menelfon.
"Halo kak"
"ASTAGA TUHAN TOUTOU! SYUKUR DI ANGKAT! KAMU DIMANA?! KENAPA GA PULANG?! TAU GAK KAKAK KHAWATIR SETENGAH MATI?! KENAPA GA BISA DI HUBUNGI?!"
Ren meringis sambil sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mulai takut, benaran takut, pasalnya kakaknya itu terdengar marah sekali.
"U..uh..umm..ma-ma-maaf kak" Ren menunduk. Ia mendengar helaan nafas di seberang sana.
"Kenapa ren tidak bisa di hubungi tadi?" Harry berbicara dengan nada yang lebih lembut.
"Ma-ma-maaf kak...ha-handphone ren mati...re-ren ti-tidak bawa charger"
Harry mendengus.
"Lain kali charger harus selalu di bawa. Paham?"
"I-iya...ma-maaf kak..."
"Yasudah. Sekarang kamu di mana? Kenapa belum pulang?"
"Re..ren...menginap..di rumah teman...maaf.."
"Kalau gitu, kenapa ga pinjam charger temanmu?"
"Umm...i-itu..re-ren baru tahu kalau tipe charger ternyata bisa sama...ren pikir, kalau mau charge hp ren harus pakai charger ren..."
"WHAAAT?! SUMPAH?!"
Kali ini bukan suara kakaknya, melainkan Rudy yang kini tengah membekap mulutnya sendiri karena sudah spontan berteriak. Terdengar suara benda di tepuk di seberang sana, Ren yakin kakaknya sedang menepuk dahinya sendiri. Memalukan. Ren menundukkan kepalanya. Ia malu pada dirinya sendiri.
"Itu temanmu?"
"I-ya..."
Ren menahan hatinya yang serasa ingin menangis saking malunya.
"Kamu gapapa kan? Ga sakit?"
"Ah...emm...i-uh...itu...iya...ren gapapa kak" Ren menggigit bibir bawahnya, dan meremas tangannya gelisah.
Hening. Harry merasa sesuatu yang janggal. Adiknya sedang berbohong. Ia hafal tabiat adiknya kalau sedang berbohong.
"Eum...kak?"
"Hmm..yasudah. bisa berikan handphone nya ke teman kamu? Kakak mau bicara sebentar"
"Iya"
Ren menoleh pada Rudy.
"Ru, ini, kakak mau bicara"
Rudy mengerutkan alisnya heran bercampur sungkan.
"Halo"
"Ah..halo, ini teman ren ya?"
"Iya kak, saya Rudy, teman kerja Ren di cafe."
"Ah..salam kenal Rudy. Aku Harry, kakak Ren. Maaf mengganggu waktu kalian sebentar. Tapi kakak mau tanya, apa tadi sudah terjadi sesuatu? Apa Ren sakit?"
Rudy terdiam sejenak. Dalam hati kagum juga, feeling Hary sungguh luar biasa. Ia menatap ren, yang menatapnya balik dengan muka polos. Rudy mendengus.
"Ada apa?"
"Ah..tidak kak, jadi, sebenarnya, tadi ren sempat pingsan di ca-"
"APA?! APA SEKARANG DIA BAIK BAIK SAJA? KENAPA BISA PINGSAN? SEKARANG KALIAN DI MANA? SUDAH DI BAWA KE DOKTER?!"
Rudy menjauhkan handphone nya saat Harry berteriak dari seberang sana, sementara Ren membulatkan matanya. Kenapa Rudy memberi tahu hal itu pada kakaknya? Tangannya dengan cepat mencolek kaki Rudy, mengucapkan 'Jangan' tanpa kata. Rudy cuma memutar bola matanya.
'Telat'
Ren menggigit bibirnya, merasa bersalah. Kakaknya pasti khawatir. Baru sebulan, tapi dia sudah paham bagaimana protektif dan sensitifnya Harry pada keadaannya.
'Sekarang Ren sudah baik-baik saja kak, Ru tidak tahu juga kenapa Ren pingsan, tadi sehabis Ren sadar, ru yang mengusulkan ren di bawa ke rumah ru aja, soalnya papa dokter, jadi tadi kami tidak pergi ke rumah sakit. Papa tadi cuma periksa Ren, sekarang Ren di pasang infus sama papa, tapi papa tidak bilang apa-apa pada kami"
Di seberang sana, Harry mengusap wajahnya kasar. Ingin rasanya ia tancap gas ke rumah Rudy sekarang juga, tapi ia masih punya sopan santun untuk tidak bertamu tengah malam begini. Untungnya Ren di tolong orang yang tepat.
"Yasudah. Makasih ya, tolong jaga Ren, besok tolong larang Ren untuk kerja."
"Iya kak, baik."
"Oke, sampaikan terima kasih juga buat orangtua kamu ya. Good night."
"Iya kak. Good night"
Rudy mengembalikan handphone nya pada Ren.
"Ha-halo kak"
"Toutou, kau ini, lain kali, tolong lah kalau sakit jangan bekerja..ya? Kakak khawatir..."
"Umm..maaf kak.."
"Yasudah. Sekarang badanmu ga apa-apa? Ada yang sakit?"
"Iya kak. Sudah tidak ada yang sakit. Ren baik-baik aja"
"Yasudah. Besok jangan kerja ya, pokoknya besok kakak larang untuk kerja. Sekarang kamu istirahat, besok sore pulang dari kantor, kakak jemput. Istirahat ya, kalau ada apa-apa telfon kakak. Oke?"
"Iya kak..ta-tapi...Ren harus kerja kak..."
"Tidak boleh! Pokoknya tidak boleh! Janji?"
Ren menghela nafasnya.
"Iya.."
"Yasudah. Good night"
"Good night kak"
Ren menaruh ponselnya, bahunya merosot lemas.
"Kenapa?"
"Besok ga boleh kerja..."
"Nah kan. Apa gua bilang. Udah lah, nurut aja, lu masih kayak gini Ren.."
Rudy menatap ren prihatin.
Ren menunduk sedih. Kesempatannya mendapatkan uang hilang lagi, padahal kesempatan itu susah sekali dia dapat. Belum lagi beli obat-obatnya tidak murah. Tiba-tiba serasa dadanya sesak dan matanya memanas.
"Ren?"
Ren cuma diam, berusaha menyembunyikan perasaannya. Seharusnya ini tak membuatnya melemah begini, tapi Ren memang sudah lelah, mungkin boleh kalau ia sesekali melepaskan bebannya sejenak.
"Hey, hey, lu nangis? Ren?"
Rudy menarik dagu ren pelan, netra berbeda warna itu sudah berkaca-kaca.
"Ren...lu kenapa ren? Bilang dong ama gua, cerita sini"
Ren menghindari tatapan Rudy.
Rudy mengelus punggung Ren pelan. Bagaimanapun juga, dari awal Rudy sudah merasa ada yang salah dengan Ren. Tidak bisa di bentak, suram, mudah ketakutan. Yang jelas ia harus ekstra sabar dan lembut, juga harus merubah bahasanya selembut mungkin pada saat tertentu. Lagipula entah bagaimana, ia sangat menyayangi ren yang 1 tahun lebih muda darinya, sayangnya ren tidak tau hal tersebut karena mereka berada di angkatan yang sama.
"A...aku.."
"Hmhm?"
"Aku..harus ke-kerja..."
"Kenapa harus? Apa ada yang mau kamu beli?"
Ren mengangguk.
"Mau beli apa?"
Ren memejamkan matanya, air matanya menetes. Bagaimana bisa ia bilang? Bagaimana ren harus cerita? Bilang ia harus beli obat-obatnya? Sama saja menggali kuburnya sendiri. Rudy menghapus air mata ren lembut, tersenyum melihat ren yang mulai mengalihkan pandangannya. Ia sudah menganggap ren sebagai adik yang sangat ia sayangi dan lindungi.
"Ren? Kamu ga mau cerita?"
"A-a-ku..ti-tidak bisa bilang..ma-maaf"
Rudy mendesah. Kebiasaan gugup Ren keluar lagi. Ia sudah hafal kebiasaan Ren yang akan gugup, gagap, kehilangan kata-kata, dan memakai bahasa formal kalau sedang ketakutan atau panik. Ia pastikan sekarang Ren sedang takut, entah takut karena apa.
"Hei"
Rudy menghapus lagi air mata yang semakin deras keluar dari mata Ren. Tangannya lagi-lagi mengarahkan wajah Ren untuk menatap matanya.
"Udah, ga usah nangis. Gapapa kalau kamu ga bisa cerita, aku cuma pingin bantu kamu Ren. Udahan dong..."
Ren mengangguk, menghapus sisa air matanya pelan.
"Ma-maaf..ru.. a-a-ku..bu-bukannya tidak percaya...aku..aku cu-cuma tidak bisa... ma-maaf..nanti kalau aku siap...aku pasti akan cerita..ma-maaf ru..ma-maaf"
Ren mengusap kasar air matanya yang kembali merebak sembari terisak kecil. Sedikit mengutuk dirinya yang mendadak cengeng.
"Iya iya. Gua ngerti kok. Udahan ah nangisnya. Jelek"
"Ru-ru ti-tidak marah? Ru ti-tidak a-hiks- akan...pu-pukul Ren kan? Re-Ren sakit ru...hiks" Tangisnya malah semakin kencang dengan ucapan yang terputus-putus. Nafasnya sudah naik turun. Tak terkendali. Rudy mengernyitkan dahinya. Pukul? Untuk apa? Apa Ren biasa di pukul? Ah, sudahlah, itu bisa di urus nanti. Yang penting sekarang Ren berhenti menangis, ia tidak tega melihat Ren seperti ini.
"Ssttt...diem dulu. Ren? Denger gua baik baik. Gua ga marah. Gua juga ga bakal pukul atau nyakitin lu. Sekarang lu tenang, berhenti nangis. Oke?"
Ren menatap Rudy takut-takut, dengan wajah memelas dan berharap.
"Be-benar?-Hiks-Ru ti-tidak akan pu-pukul Ren?"
"Iya. Beneran. Janji. Sekarang udahan nangisnya aduh...sembab mata lu Ren. Besok kalo lu di jemput, dikira gua apa-apain lu lagi."
Ren mengangguk, berusaha menghilangkan Isak tangisnya. Tiba-tiba nafasnya tersendat, rasa sesak dan sakit menghujam dada kirinya, membuat nafasnya kian sesak dengan bunyi mengi yang mengerikan. Ren mengernyit kesakitan dan meremas dada kirinya kuat,sementara tubuhnya terkulai di pelukan Rudy.
"Ren?Ren? Lu kenapa? Asma lu kambuh? Inhaler mana?"
Ren hanya menggeleng.
"Astaga! AYAH!AYAH!"
Rudy berteriak sembari menyandarkan Ren pada tempat tidur.
"Ren, dengerin gua. Lu bisa nafas. Diem, jangan nangis. Tarik nafas pelan. Inhale, exhale, repeat. Lu bisa nafas. Tunggu sini bentar"
Rudy langsung membawa langkahnya berlari ke lantai satu, ke kamar papa mamanya.
DOK!DOK! DOK!
"PAA!PAH!PAPAAA!"
Tanpa pikir panjang ia buka kamar papanya, menemukan papa dan mamanya duduk sambil mengucek matanya.
"Kenapa ru? Udah malem ini nak."
Rina, mama Rudy bertanya pelan sambil menguap. Rudy cepat cepat menarik tangan papanya.
"Itu-itu pah, Ren, Ren sesek pa, ga bawa inhaler, ayo pa cepet, dia ga bisa nafas."
Mata Brian membola, dengan cepat ia mencari sandal rumahnya dan membawa langkahnya ke ruang obat, menyambar oxycan dan berlari kecil ke kamar anaknya, diikuti istri dan anaknya di belakang. Disana Ren masih terisak sembari meremas dadanya, tubuhnya merosot dan nyaris tak sadarkan diri, bunyi mengi masih terus terdengar bersama rintihan pelannya. Brian dengan cepat mengambil posisi duduk di samping Ren, tangannya menegakkan tubuh Ren dan menyandarkannya dengan benar pada kepala ranjang. Tangannya menyiapkan oxycan dengan cepat, lalu memasangkan masker oksigennya pada Ren.
"Tenang Ren. Ambil nafas panjang, keluarkan. Inhale, ekshale, repeat. Calm. Breathe"
Ren meneteskan air matanya saat sakit itu terus menerjang dadanya. Rasanya semua oksigen sudah hilang. Melihat gejala yang tak memudar, Brian menoleh pada istri dan anaknya.
"Ru, tolong ambilkan tabung oksigen di ruang obat ya. Tau kan?"
Rudy mengangguk, cepat-cepat mengambil permintaan ayahnya, sedangkan Rina sudah turun ke dapur untuk membuat minuman hangat. Brian segera memasangkan masker oksigen pada Ren, dan beberapa menit kemudian terlihat kondisi Ren yang mulai stabil. Isakannya masih terasa sedikit. Rina duduk di sisi lain tempat tidur ren, dengan pelan mengelus rambut Ren setelah meletakkan teh hangat yang di buatnya di nakas.
"Sayang, berhenti dulu nangisnya hm? Sekarang sudah baik-baik aja sayang...minum dulu ya?"
Ren mengangguk, mencoba melepas maskernya dibantu Rina, mengusap air matanya kasar dan menerima teh hangat yang di sodorkan Rina. Ia merasa hangat dan lebih baik sekarang. Brian mengelus rambut Ren.
"Masih sesak?"
Ren menggeleng pelan.
"Te-terima kasih, paman...bibi..Rudy...ma-maaf Ren me-merepotkan..."
"Ren tidak merepotkan sayang. Kamu kan teman Rudy. Teman Rudy berarti anak kami juga, jadi jangan sungkan" Rina tersenyum sembari mengusap pipi Ren. Ren tersenyum lembut. Ini sentuhan yang sangat ia harapkan. Hangat.
'Inikah yang namanya keluarga? Rudy beruntung'
"Terima kasih bi..."
Rudy menahan air matanya yang sudah di pelupuk mata. Rina memakaikan lagi masker oksigennya, mengisyaratkan Ren untuk berbaring.
"Yasudah. Sekarang kalian istirahat ya. Kalau perlu Rudy, besok jangan kerja dulu, kamu temani Ren di rumah ya nak? Soalnya besok mama mau ke butik. Gapapa kan?"
Rudy mengangguk.
"Emang udah rencana mau bolos ini ma, hehehe"
"Idih. Giliran bolos aja langsung girang kamu"
Brian menimpali, tangannya menonyor kepala anaknya pelan.
"Yaudah, istirahat sana. Tidur ya, udah malem. Good night"
"Good night"
Lampu di matikan, Rudy menyalakan lampu tidur di atas nakas, matanya terpejam, sudah tak kuat menahan kantuk.
"Ru..."
Suara lemah Ren membuatnya kembali terjaga.
"Hmm?"
"Maaf ya...aku repotin kamu gini..."
"Lu ga ngerepotin sama sekali. Please lu santai aja sama kita, ga usah mikir macem-macem. Tidur gih."
Ren tersenyum, hatinya menghangat.
"Makasih..."
"Iyaaa"
Ru mengusap rambut Ren, lalu mengelus bahunya hingga keduanya tertidur.
.
.
.
.
.
.
To be continueMakasih banyak buat yang udah mampir, udh vote, dan comment, you're guys my sunshine.
Jangan lupa tinggalin jejak kalian :*
See ya on next chapter :*
Regard
Grey
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
General FictionMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...