"Loh, Ren, kok p3knya kosong? Perban-perban sama obat merah mana? Habis semua?"
Ren mengangguk takut. Nafas Harry tertahan. Habis? Dia membelikan itu belum ada 1 bulan yang lalu, tapi sudah habis? Sebenarnya sampai sejauh apa adiknya dilukai?
Harry menghembuskan kembali nafasnya yang sempat tertahan. Memencet interkom dan meminta pelayan membawa kotak P3K, baskom berisi air hangat dan kompres.
"Ren, buka bajunya ya?"
Ren menggeleng ragu, ia takut kakaknya marah kalau melihat luka-luka nya. Ayahnya selalu melarang keras luka-luka itu terlihat orang lain, siapapun itu. Larangan ini akan mendapat hukuman paling menyakitkan bila dilanggar.
Harry duduk, mengambil tangan ren dan menggenggamnya lembut.
"Ren..bukannya dulu Ren pernah janji tidak mau menyembunyikan luka ren pada kakak? Kakak tidak akan marah, kakak cuma akan obati Ren. Mau ya?"
Ren menggigit bibirnya. Ia takut membantah, tapi ia juga takut pada ayahnya. Ia menunduk dan menggeleng pelan.
"Mm.. ma-maaf..Re-Ren.."
Suaranya bergetar. Tak mampu meneruskan lisannya. Air mata kembali menggenang dan terjatuh bebas, ren menghapus nya kasar. Harry membawa tangannya untuk memegang dagu ren, membuat matanya menembus langsung netra berbeda warna milik adiknya.
"Ren, kakak tidak akan marah, ayah juga tidak ada. Please, don't be scared. Kakak cuma ingin obati luka ren. Boleh?" Harry mengelus kepala adiknya lembut, berusaha memberikan rasa nyaman dan ketenangan. Anggukan ragu dari ren membuat Harry tersenyum. Dalam hati ia menguatkan diri untuk mengendalikan dirinya nanti. Karena ia bohong. Ia bohong kalau tidak akan marah, nyatanya hatinya selalu di liputi amarah. Ia membantu Ren melepas bajunya, dan ia nyaris terpekik saat baju itu terlepas. Tubuh itu tampak lebih parah dari keadaan terakhir yang ia lihat. Lebam di mana-mana, bahkan ada lebam menghitam di sekitar perut atasnya. Luka cambuk waktu itu sudah hampir hilang, tetapi luka cambuk baru kembali hadir, menumpuk luka cambuk lama, seolah tak membiarkan bekas cambuk itu hilang dari tubuh adiknya. Ia tak tahu bagaimana dan kapan adiknya di cambuk lagi. Ada masalah apa? Nyaris seluruh tubuh atas Ren penuh dengan memar, hampir tidak ada ruang untuk kulit ren yang seputih susu. Harry mengamati tubuh Ren lebih jelas kali ini. Ada banyak sekali bekas-bekas kekerasan, ia melihat ada luka bakar bulat di beberapa bagian tubuhnya, sudah sangat samar. Harry menduga itu adalah bekas sudutan rokok. Ada juga bekas jahitan kecil di bahu Ren.
"Ini..kenapa?"
Tangannya mengelus pelan bekas jahitan itu.
"A-ti-ti-tidak...i-i-itu..."
Ren gelagapan. Pandangannya tiba-tiba kosong, badannya mulai gemetar. Ingatannya terlempar pada saat itu. Salah satu momen paling mengerikan dalam hidupnya.
Flashback
Ren kecil berjalan riang, ia baru saja pulang dari taman bermain. Hari ini kelasnya pergi ke taman bermain, dan Ren baru saja sampai ke rumah. Ren lupa, lupa sama sekali peraturan ayahnya yang melarangnya pulang diatas jam 5, sedangkan sekarang waktu menunjukkan pukul 7. Bocah yang baru berumur 7 tahun itu melompat-lompat kecil sembari bersenandung. Tangannya membawa bungkusan gulali, ia ingin membaginya dengan ayahnya. Ini manis dan enak, ren sudah mencoba milik temannya sedikit tadi. Ayahnya pasti suka. Ia membuka pintu utama dengan perlahan tanpa suara, lalu melangkah dengan riang ke ruang makan untuk mengambil minum. Baru saja ia menginjakkan kakinya di ruang makan, tubuhnya terlempar. Sudut bibirnya berdarah, Ren menyentuh pipinya, air matanya sudah nyaris tumpah. Barusan Frank memukul pipinya keras. Gulali yang di pegangnya tadi ikut terlempar tak jauh darinya.
"SIALAN! DARI MANA KAU HAH!"
Ren merintih saat kaki ayahnya menjejak tubuhnya.
"Ma-ma-maaf..ayah..ren..ren.da-dari ta-taman bermain ta-tadi.."
DUAK!
UHUK!
Ren terbatuk keras saat Frank menendang rusuknya. Batuknya sampai mengeluarkan darah, tapi Ren tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya rasa sakit yang sekarang menyerang rusuknya, membuatnya kesakitan dan sesak. Ayahnya terus menendangnya, membuatnya terpekik tiap kali merasakan jejakan kaki ayahnya yang besar. Frank menatap ren yang meringkuk mengenaskan dengan tatapan marah luar biasa. Berani sekali bocah ini bersenang-senang di hadapannya? Ren meringkuk, berusaha menyembunyikan tubuh dan Isak tangisnya. Matanya sudah terpejam erat, mulutnya menggumamkan 'ampun' berulang-ulang.
Frank menjambak rambut Ren kasar, memaksanya untuk menghadap manik kelam miliknya.
"Apa kau tau aturan ku soal pulang sekolah?"
Ren menelan ludah gugup, lidahnya kelu.
"JAWAB!"
Ren mengangguk takut.
"Jam berapa kau harus pulang sialan?"
"Ja-ja-jam li-lima a-ayah"
"DAN KAU BERANI MENENTANG KU!" Frank menghempaskan kepala ren keras, membuat ren terantuk lantai, dan dengan segera pening menderanya.
Ren merasa pandangannya mengabur. Ia memejamkan matanya, lalu tiba-tiba ia merasakan perih pada tangannya, lalu perutnya, tambah lama perih itu makin terasa pada hampir seluruh tubuh bagian atasnya. Ia tidak tahu apa yang sedang ayahnya lakukan di atas tubuhnya, matanya yang terbuka setengah hanya bisa melihat samar wajah marah sang ayah di atasnya. Ia merintih, ini sakit, sangat sakit. Pandangannya semakin menggelap, ia merasa tubuhnya sedikit basah dan lengket pada beberapa bagian. Ia mencium samar bau anyir, tapi otaknya tak bisa memproses apa yang terjadi. Ia merintih lagi, dan rintihannya berubah cepat menjadi teriakan pilu saat ren merasa bahunya di hujam sesuatu, membuatnya terasa perih dan ngilu. Tubuhnya bergetar hebat. Kepala nya kian pening, pandangnnya berangsur menggelap, dan sebelum pandangannya menggelap, ia merasakan sakit yang sangat tajam pada bahunya, dengan ayahnya yang menggenggam sesuatu yang berkilau dan berlumuran darah. Sebuah pisau lipat.
Flashback end
"Ren? Ren?"
Ren terkesiap saat kakaknya mengguncang pelan bahunya.
"I-ya?"
Harry menggeleng. "Sudah selesai. Ayo makan"
Ren melihat Harry membereskan peralatan obat, dan Ren baru sadar ia sudah selesai di obati. Ia sampai tidak merasakan apapun karena terbawa ingatan masa lalu. Baru di sadarinya tangannya gemetar, ia menggigil, dan kini berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Ren?"
"Ini, makan dulu"
Ren memakan makanannya dalam diam. Malam itu, Harry sedikit frustasi di buatnya, karena ren yang terus terdiam hingga tertidur. Ia tahu, ia pasti sudah menyinggung masa lalu Ren yang menyeramkan soal luka jahit di bahu Ren tadi. Ia bisa melihat tubuh adiknya yang gemetar, bibirnya yang di gigit erat dengan nafasnya yang memburu. Apa yang sudah di lakukan ayahnya? Ia harus menanyakannya pada Sui nanti.TBC
Holaaa~
Udah lama ya?
Maaf buat temen2 yang nunggu cerita ini, update nya lama...sebenernya kesalahan teknis, grey kira chapter ini udah ke upload, dan grey lagi bikin buat chapter kedepannya, yang kesenday karena kesibukan grey prasidang.. Eh...ternyata belum ke upload...hehehe
Maap ya...Thanks buat semua yang udah baca 😘
Terutama kalian yang udah pada tinggalin jejak, dan yang selalu dukung grey buat up, kalian itu my everything 😍😘Saran dan dukungan kalian selalu berarti buat grey 😘
Sekali lagi makasih ya 😊
Jangan lupa tinggalin jejak kalian 😘Salam manis,
Greydys 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fiksi UmumMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...