Empatbelas

293 16 5
                                    

     Ren merenggangkan badannya. Rupanya dia tertidur, dilihatnya jam di atas nakas, menunjukkan pukul 5 sore. Infus yang tadi dipasangkan Brian  masih ada seperempat. Ia mendengar gemericik air dari kamar mandi, berarti Rudy sedang mandi. Ia meraih HP nya dan melihat notifikasi, ada pesan dari kakaknya, bahwa dia sedang dalam perjalanan ke rumah Rudy. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, Rudy keluar bertelanjang dada, sementara Ren berdiri dan ganti masuk ke kamar mandi, mencuci muka.
"Ru, tasku dimana?"
"Tuh, gua taruh di dalem lemari buku. Dah mau di jemput?"
"Iya. Kakak di jalan"
Rudy mengangguk.
"Lu oke? Udah gapapa?"
"Iya. Gapapa kok"
"Bentar, gua panggil papa"
"Loh, paman di rumah?
"Iya. Barusan aja pulang tadi. Bentar yak"
Rudy kembali dengan Brian di belakangnya, membawa kotak besar dengan stetoskop bertengger di lehernya.
"Paman periksa ya? Sebentar aja-"
"Pakai baju" Sambungnya cepat saat melihat gelagat panik Ren.
Ren mengangguk pelan. Harry datang tak lama kemudian, memberi salam pada Brian serta Rudy, lalu kembali mempersilahkan Ren untuk di periksa. Brian melepas infus Ren, berpesan agar banyak istirahat dan jangan sampai terlambat makan, memberikan Ren setumpuk obat-obatan yang tentu saja langsung di tolak Ren, tapi paksaan Brian membuatnya tak mampu menolak. Mobil Harry melaju dengan kecepatan sedang, dan seiring dengan laju mobil yang semakin cepat, semakin cepat pula detak jantung Ren. Harry melirik ren yang terlihat tegang dan pucat.
"Ren, takut?"
Ren mengangguk pelan.
"Su-sudah hampir ja-jam 6.. ke-kema-rin ren juga tidak pulang"
Ren menggigit bibirnya menyalurkan panik yang melanda.
"Tidak apa-apa toutou, ada kakak, kakak akan menjagamu. Lagi pula kau kan sakit, ayah pasti mengerti. Nanti coba bilang baik-baik pada ayah, kakak akan bantu" Ren memejamkan matanya, merasakan elusan kakaknya yang sangat ia senangi.
'Tidak. Ayah tidak akan mau mengerti, kak'

~o~

"Kami pulang"
"Tuan muda, selamat datang"
Harry tersenyum sembari menyodorkan tas ren yang dipegangnya. Shizu menerimanya, lantas undur diri.
"Kau..."
Ren memucat saat mendengar suara yang sangat di takutinya. Sesaat kemudian sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuatnya langsung tersungkur dengan ujung bibir yang robek, saking kuatnya tamparan yang ia terima. Kejadiannya begitu cepat, sampai Harry pun tak bisa mencegahnya.
"Dari mana saja kau hah! Berani sekali kau melanggar aturan ku?!"
"A-ayah.."
"Diam Harry! Biar anak sialan ini terima akibatnya!"
Harry menggeleng.
"Ayah, ren sakit"
Frank tersenyum sinis.
"Sakit?"
Harry dan Ren mengangguk.
"Re-Ren..sakit.."
Kepala Frank rasanya mau pecah karena emosi. Siapa yang ijinkan anak sial ini bicara? Dengan cepat tangannya mengambil kruk yang tadi ikut terlempar.
"Kau sakit?"
Ren mengangguk lagi, air matanya sudah menggenang, ia takut.
DUAK!
Ren terpekik saat kruk itu menghantam tubuhnya dengan cepat dan kuat, tepat sasaran pada titik-titik sendi tubuhnya, menimbukkan sakit yang berkali lipat.
"Sakit?! Alasan! Dari mana saja kau hah?! Club malam?! Keluyuran?!"
Frank terus memukul Ren menggunakan kruk sementara mulutnya terus menyumpahi ren.
"Ti-tidak.."
"AYAH!Ren masih sakit!" Dengan cepat di tepisnya tangan yang lagi-lagi hendak memukul adik kesayangannya.
"

BOHONG!"
"Ren sakit ayah! Aku yang menjemput nya, aku yang tau kondisinya!"
"Ayah tidak peduli! Minggir!"
"Tidak ayah!"
"Jangan buat ayah marah Harry! Ayah tidak mau pukul kamu, kamu anak ayah!"
Hati Ren terasa tersayat.
"Ren juga anak ayah!"
"Dia bukan anak ayah!"
Ren dan Harry membeku. Ren sudah menangis tanpa suara. Dia bukan anak ayahnya?
"Apa...maksud ayah?"
Frank tersenyum sinis. Melihat kedua anaknya masih terpaku, dengan cepat ia menggeser tubuh Hary dan melancarkan sebuah tendangan pada tubuh Ren, yang langsung menghasilkan pekik tertahan dari anak itu. Ia tak tahan lagi. Ia harus memberi anak ini pelajaran.
"Kau. Anak. Tidak. Berguna. Aku tidak akan pernah mengakuimu sebagai anakku!" Frank terus memukul Ren menggunakan kruknya sendiri, sembari sesekali menendang anak itu, yang tentu saja tak dilawan sedikitpun.
"Ayah!STOP! Ren sakit ayah!"
Harry dengan cepat menarik ayahnya setelah pulih dari terkejutnya. Frank mendengus, lalu berlalu dari ruangan itu. Biarlah kali ini dia mengalah, tapi jangan harap pelajarannya selesai begitu saja. Harry berjongkok,meneliti keadaan ren yang meringkuk mengenaskan, beserta isakannya yang terputus-putus bercampur rintihan samar.
"Ren..."
Ren tidak menyahut. Otaknya penuh dengan cacian ayahnya. Dia bukan anak Frank. Dia tidak berguna. Harry membantunya duduk, Ren tersandar lemah pada bahu kakaknya.
"Ren..bukan anak ayah"
Air matanya kembali luruh, hatinya terlalu rapuh.
Hary menutup matanya. Hatinya ikut menjadi rapuh. Rasa bersalah kembali menyeruak.
"Ren...dengar. Ren anak ayah. Ayah cuma lagi marah. Ren sabar ya..."
Ren mengangguk pelan, mencoba menata kembali hatinya yang hancur. Perlahan ia paksakan kakinya berdiri, tapi gagal. Tendangan dan pukulan  ayahnya tadi sudah memberikan rasa nyeri pada tubuhnya yang masih sakit. Luka pada lengan Ren yang sudah di obati Aldo kemarin terbuka lagi, menciptakan bercak merah pada perban putih yang melingkar rapi di lengannya.
"Loh, ren?! Ini kenapa?"
Harry meluruskan tangan ren, ingin melihat lebih jelas lukanya.
"Ke-hiks-kemarin..Re-Ren..ja-tuh..wa-waktu..mau ke cafe.."
Ren menjelaskan dengan takut-takut sembari terisak. Hancur sudah mentalnya yang sudah di bangun kakak dan teman-teman nya di cafe selama ini.
"Re-Ren..ren..mi-minta maaf.."
Ren makin terisak-isak. Apa ini salahnya lagi? Ayahnya selalu marah bila dia terluka dan tak bisa mengerjakan pekerjaannya, tak peduli walau itu luka yang ia timbulkan sendiri.
"Sudah..sudah...tidak apa apa toutou..ayo kita ke kamar ya? Ren bisa berdiri?"
Ren mengangguk, menerima uluran kakaknya yang membantunya berjalan menuju kamar, meninggalkan kruknya disana, menjadi saksi bisu akan luka yang di terima ren. Lagi.
.
.
.
.
.
To be continue

Thankyou buat semua yang udah baca, terutama buat yang udah ninggalin jejaknya ;)

Jangan lupa tinggalin jejak kalian di sini, biar grey lebih semangat lagi bikin karya buat kalian ya ;)

See you on next chapter 😘

Regards
Grey

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang