22

164 12 5
                                    

Tangan Ren menarik kaos Rudi saat temannya itu hendak berdiri.
"Huh? Apa?" Tanya Rudi sedikit ketus. Jujur ia pikir Ren tidur kelelahan.
"Ma...af..." Ren menunduk, air mata berkumpul di pelupuk matanya.
Rudi duduk tepat di depan Ren saat mendengar suara pelan Ren yang bergetar, terdengar lemah dan masih sedikit tersendat.
"Bu-..bukan..mmm..mak-sud Ren...ti-..dak...cerita..." Ren termenung sejenak. Salah. Ia memang bermaksud untuk tidak cerita. Lebih tepatnya, IA TIDAK BISA untuk cerita. Semua ini, bukan hal yang bisa ia ceritakan dengan leluasa. Ren kemudian menggeleng.
"Re..ren..sa-lah..ma-af...maaf..."
Ren menyeka air mata yang tanpa disadarinya sudah mengalir turun. Ia mendongakkan wajahnya takut-takut untuk mengintip ekspresi Rudi, dan sahabatnya itu masih menatap nya datar.
"Ren...sayang Ru, sungguh....re-ren..min..ta..maaf..." Ren menarik nafas panjang.
"Ru..bo-leh..pukul ren...ta-tapi...jangan...marah lagi...Ren...ga bisa...ka-kalau ga ada Ru..." Isakannya makin terdengar, ia merasa sesak. Mungkin, memang takdir hidupnya adalah di pukul. Rudi mengerutkan alisnya heran. Fix, ada yang aneh dengan temannya satu ini. Semacam kurang pendidikan emosional.
"Benar mau ku pukul?" Rudi mengeluarkan suaranya, disambut dengan anggukan lemah ren yang tak berani menatapnya. Ren memejamkan matanya erat. Menunggu dengan cemas bagian mana yang akan kena hantam. Tapi yang ia rasakan kemudian adalah tepukan ringan dikepalanya, disusul tinju kecil yang sama sekali tidak sakit. Ru mengalasi tinjunya dengan tangannya sendiri. Ren membuka matanya, menemukan Rudi mendengus kesal.
"Masa iya aku memukul manusia krempeng begini?"
Ren tersenyum lega. Rudinya sudah kembali.
"Maaf..." Ren berujar lagi. Rudi hanya berdehem.
"Lain kali, kalau sakit, bilang. Bisa janji?"
Ren terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Ren menghela nafas lega dan tertawa kecil saat Rudi membantunya bangun dan menjitak kepalanya pelan. Rudi nya benar-benar sudah kembali.
"Yaudah yuk ke sana, udah ditunggu yang lain itu, berhenti nangisnya"
Ru mengedikkan kepalanya ke arah Harry, Tyo, dan Devan yang ternyata sedang menikmati es kelapa.
"Nah..ini dia. Sudah baikan?" Harry menyambut mereka dengan pertanyaan. Ru mendengus, sedangkan Ren mengangguk malu.
"Yaudah sini nih, ada kelapa, minum gih. Duh..sampek sembab gini muka orang" Mereka menerima kelapa itu, lantas meminumnya sementara Harry memesan bubur untuk Ren.
"Perut gimana?"
"Hah?"
Ru terkikik geli melihat Tyo yang kebingungan dengan wajah bodohnya.
"Ren kumat maagnya"
"

Hah? Terus? Gimana? Pulang?"
Ren menggeleng.
"Jangan pulang..."
"Yaudah. Kalau sakit bilang ya tapi. Nih buburmu, makan dulu, terus main sana"
Ren mengangguk, lalu mulai makan bubur yang disodorkan padanya. Mereka bermain di pantai sampai sore, mereka melihat pemandangan matahari terbenam sebelum berjalan ke villa yang memang tidak jauh dari sana. Ren merebahkan tubuhnya setelah mandi. Nyaman. Dia sangat bahagia hari ini. Ren harap, hari ini jangan berakhir, tapi nyatanya ia melihat sendiri bagaimana matahari terbenam tadi. Ren menyentuh dahinya. Hangat. Badannya kurang enak hari ini, ditambah kejadian ia muntah tadi. Untung Rudi sudah memberinya obat, sekarang perutnya sudah tidak sakit lagi. Walaupun Rudi sempat konyol karena memberikannya coklat panas waktu itu, tapi Ren yakin, 'kakak kedua'-nya itu akan jadi dokter yang baik kelak, sama seperti Aiyln. Omong-omong, dia jarang bertemu gadis unik itu belakangan ini.
"....."
Ren mengerutkan kening saat mendengar samar-samar suara percakapan diluar. Ren mengintip, tidak ada orang di luar tamu. Berarti itu suara dari dapur. Ren melangkah dengan pelan. Bukan bermaksud mengendap, ia hanya terbiasa melangkah dan melakukan sesuatu nyaris tanpa suara. Karena ia selalu dilarang berisik. Rasa penasarannya terjawab saat ia melihat kakaknya bersandar pada meja membelakanginya, rupanya kakaknya itu sedang menjawab telefon.
"Iya ayah, gimana aku bisa main bowling, tanganku aja begini..."
Ren mengurungkan niatnya yang hendak melangkahkan kaki. Kini ia melakukan dosa besar, bersembunyi dan....menguping.
"Itu bukan salah Ren ayah, itu kecelakaan. Harus berapa kali ku ingatkan yah? Tolong berhenti menyalahkan Ren"
Ren terbelalak. Apa maksudnya? Kecelakaan? Kecelakaan apa? Kapan? Ren memaksakan ingatannya dan terhuyung. Pusing. Kepalanya sakit. Sekelebat bayangan datang di kepalanya, tapi ia tak tahu, sama sekali.
"Ayah...please. Jangan terus-terusan salahkan Ren. Dia adik ku yah, anak ayah juga.."
"..."
"....iya ayah, bye"
Ren masih disana. Memegang kepalanya yang pening. Ia terus mengamati Harry yang kini menghela nafas sambil memijat keningnya. Batinnya menimbang, dan dengan seluruh stok keberaniannya, ia melangkah ke dalam dapur.
"Kak...?"
Harry terperajat. Matanya membola sesaat sebelum kembali normal dengan cepat.
"Oh, kamu. Ada apa ren? Kakak sampai kaget"
"Ke-kecelakaan...apa?" Suara ren bergetar. Entah kenapa, ia jadi ingin menangis. Harry menegang. Mengatur diri, menghela nafas panjang sebelum menghampiri Ren dan menuntunnya duduk di meja makan.
"Sebelumnya, kamu tenang dulu"
Ujar Harry menenangkan, sambil memberikan Ren segelas air selagi dia juga menenggaknya.
"Kakak tau, kamu mungkin tidak ingat..." Harry mendesah. Berat rasanya menceritakan masa lalu ini.
"Kamu tau,dulu kakak atlit bowling dan rugby?"
"What?! Serius?!"
Harry terkekeh saat melihat reaksi Ren yang sangat lucu -menurutnya-. Ren menatap Harry dengan binar kagum. Wow. Padahal Ren payah dalam olahraga, tapi kakaknya atlit? Ini luar biasa..
"Iya. Kakak atlit bowling dan rugby dari kelas 4 SD. Kakak suka sekali main bowling dan rugby. Kakak juga suka main basket, atau renang. Kakakmu ini suka olahraga"
Harry memperhatikan Ren yang masih berdecak kagum.
"Terus? Sekarang kakak gak main lagi?kenapa?" Tanyanya polos.
"Hmm...bukan gak main lagi toutou...tapi, kakak sudah gak bisa" Harry tersenyum lembut, membelai kepala Ren sayang.
"Dulu, waktu kecil....kakak kecelakaan. Akibatnya beberapa syaraf bahu kiri kakak putus, lalu radang sendi, jadi bahu kakak sekarang sudah tidak prima seperti dulu" Ujarnya sambil mengacak rambut Ren yang sudah murung.
"...apa...gara-gara ren?Re-ren..minta maaf.." Cicitnya lemah di akhir.
Ren menggigit bibirnya saat melihat kakaknya mematung walau hanya untuk sesaat sebelum kembali mengelus rambutnya.
"Bukan...namanya kecelakaan, insiden. Jadi tidak ada yang salah. Semua itu takdir, jadi jangan dibahas lagi. Lagian kakak udah besar, udah bukan waktunya lagi main-main begitu. Ya kan?hehehe"
Ren sedikit mendongak melihat ekspresi wajah kakaknya, dan melihat kakaknya tersenyum lebar sedikit membuatnya lega.
"Yaudah, yuk balik kamar. Tidur. Udah malem ini, kamu juga tadi kan kurang enak badan"
Ren mengangguk, mengikuti langkah kakaknya yang meninggalkan dapur. Sebenarnya hatinya masih bertanya-tanya, apakah kecelakaan itu...benar tidak ada hubungannya dengan dia? Semoga saja tidak. Kalau iya, Ren tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri, pasti...
.
.
.
.
.
.
.
To be continue

HAIIIII
Gimana-gimana? Hahahahha
Maaf karena lelet update nya ya :') untuk menambal rasa penasaran kalian, chapter ini di buat agak panjang, dan adegan nya di perjelas...wahahahaha.

Thank you buat semua yang udah comment dan vote. Love you guys :*

Grey mohon saran-saran nya jika ada dan berkenan ^^
Kalau mau vote, grey akan sangat berterima kasih.
Thankyou juga buat yang udah mau baca :)

SEE youuuu

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang