Dua

545 25 0
                                    

Ren susah payah melangkahkan kakinya menuju ke gedung khusus untuk para guru, karyawan, dan aktifis sekolah. Sekolah Ren terdiri dari 2 gedung. Gedung pertama berbentuk persegi dengan lapangan di tengahnya khusus untuk para murid, dan satu gedung di belakangnya adalah gedung yang di khususkan untuk para guru, karyawan, ruang pertemuan, aula, dan ruangan-ruangan ekstrakulikuler dan OSIS. Jaraknya lumayan jauh dari kelasnya, dan dia harus berjalan dengan keadaannya seperti ini. Denyut pada kepalanya yang sudah ada sejak tadi, kini kian bertambah. Ia juga merasakan kakinya yang terkilir semakin sakit. Tapi tak ada pilihan lain, ia harus menemui pak Jefry. Perutnya mulai meronta kelaparan. Ia hanya makan bubur pagi tadi, dan ini sudah jam 4 sore. Jangan tanya kenapa dia tak makan di kantin. Tentu saja karena ayahnya tak pernah memberinya uang sepersen pun. Ia memang sudah terbiasa makan tidak teratur. Tak masalah, hanya saja kadang perutnya perih.
Tubuhnya kali ini lemas sekali. Ia meraba keningnya. Panas. Ah...mungkin ini ulah ayahnya kemarin malam. Ia segera memegang tiang saat tiba-tiba merasa pandangannya berputar. Ia memutuskan untuk duduk sejenak. Pikirannya berkelana mengingat kejadian kemarin malam.
.
.
.
Flash back
Malam itu, malam sebelum Ren bertemu Harry untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Waktu itu hampir tengah malam. Ren sudah tertidur setelah Frank menghajarnya, lagi. Ia butuh mengistirahatkan tubuhnya. Tapi di tengah tidurnya yang tanpa mimpi, pintu kamar Ren terjeblak keras. Mengagetkan Ren yang sedang tertidur. Ia segera meringkuk ketakutan. Ia tahu itu pasti ayahnya. Siapa lagi yang akan datang ke kamarnya, tengah malam, dengan membanting pintu? Bangsal para pelayan lumayan jauh di belakang rumahnya.
PLAK!
Frank memukul kepala anaknya keras.
"Kau....dasar anak sialan!"
Frank murka. Ren bingung. Ada apa? Kenapa ayahnya marah? di
Frank memandang Ren dengan perasaan benci yang meluap-luap. Frank menjambak rambut anak nya kasar,menyeretnya menuju kamar mandi. Menyalakan keran air dingin, dan sementara bak kamar mandi terisi, tangannya aktif mengoyak paksa pakaian anaknya hingga bertelanjang dada dan mengguyur Ren yang kini meringkuk kedinginan. Airnya sangat dingin karena di biarkan di bak dalam waktu lama. Di tambah lagi ini menjelang musim dingin. Tubuh kurusnya mulai menggigil. Frank terus mengguyur tubuh anaknya dengan keras dengan air dingin sambil sesekali menendang tubuh ringkih itu, sementara mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah kepada anak bungsunya. Ren terus menggigil. Tak satupun kata yang diucapkan Frank yang tidak di dengarnya. Ren merasakan sesuatu di dalam hatinya terkoyak. Mendengar ayahnya mengumpatnya, mengatai nya iblis, dan pembawa sial.
Ia hanya bisa meringkuk saat Frank menendangi nya brutal. Frank mendengus saat air di bak habis. Ia membanting gayung pada muka Ren, lalu tangannya meraih selang semprot bertekanan tinggi yang ada di sisi toilet, dan dengan penuh kemarahan mengarahkan selang itu ke tubuh Ren. Anak itu menjerit kesakitan merasakan tekanan kuat yang membuat tubuhnya yang penuh lebam menjadi sakit. Apalagi saat tekanan itu menghujam tepat pada lukanya, ia tak bisa menahan jeritannya. Semakin lama jeritannya semakin melemah, semakin parau. Frank menendang tubuh anaknya hingga terlentang. Mengamati hasil perbuatannya dan tersenyum melihat luka-luka pada tubuh Ren, lalu membanting selang di tangannya, hingga sukses mengenai kepala Ren.
"Pfft. Hasilnya belum sempurna. Akan kusempurnakan besok"
Gumamnya sambil mengangguk kecil. Dengan beringas ia menginjak perut Ren yang terlentang, membuat Ren tersentak kesakitan. Sengaja membuka pintu kamar mandi lebar-lebar, lalu menyalakan pendingin ruangan pada suhu minimum, dan meninggalkan kamar tidur anak nya. Meninggalkan Ren yang masih meringkuk di kamar mandi. Ketakutan, kesakitan, kedinginan. Wajahnya mulai memucat, dan bibirnya mulai membiru. Giginya bergemeletuk dengan keras. Selama beberapa saat ia tak berani menggerakkan tubuhnya. Saat ia merasa ayahnya tak lagi berada di kamarnya, ia mulai berusaha bangkit. Tubuh kecilnya bergetar karena takut, dingin, dan sakit. Sayangnya ia gagal. Tubuhnya tak mampu. Kepalanya memberat dan mulai berputar. Perutnya sakit. Dadanya sesak. Dingin. Terlalu dingin. Tubuhnya
Berusaha melawan sakit yang mendera, berusaha menyeret tubuhnya keluar. Tapi baru setengah tubuhnya keluar dari kamar mandi, Ren ambruk. Tubuhnya bisa merasakan angin dingin pendingin ruangan yang menerjangnya. Membuatnya semakin menggigil. Sesaat ia merasa kepalanya seperti dihantam batu, dan kemudian pandangan nya menggelap.
.
.
.
Ia ingat, beberapa jam kemudian dia terbangun, lalu bersusah payah menyeret tubuhnya, memakai piyama baru dan tidur. Tapi baru beberapa jam terlelap pintu kamarnya kembali terbuka, membuatnya nyaris melompat ketakutan. Tapi ternyata yang datang bukan ayahnya, melainkan seorang pemuda tinggi nan tampan dengan rambut coklatnya. Ia tidak ingat siapa pemuda itu. Dan setelah penjelasan singkat, ia baru tahu itu kakaknya. Ternyata dia punya seorang kakak. Dan saat pertama kali kakaknya itu menyentuh dan memeluknya, nafasnya tercekat. Dia merasakan kehangatan yang selama ini selalu di impikan nya. Hatinya berterima kasih kepada Tuhan, karena setidaknya ia boleh merasakan jamahan ini meskipun mungkin tak akan lama. Dini hari itu dia menangis, merasakan kehangatan untuk pertama kalinya.
.
.
.
Ren  tersenyum lembut saat mengingat kejadian kemarin malam. Meskipun sakit, ia sangat bersyukur bertemu kakaknya. Ia sama sekali tak ingat punya kakak. Kata kakaknya, dulu saat berusia 2 tahun ia mengalami kecelakaan, lalu ia mengalami amnesia. Itu sebabnya ia hanya mengingat ayah dan pelayannya.
Merasa agak membaik, ia melanjutkan langkahnya ke kantor Jefry, dan mengetuk pintunya.
Suara jefry terdengar dari dalam, Ren masuk. Di sana sudah ada Wibi yang memandangnya kecut. Mungkin karena terlalu lama menunggu.
"Duduk lah Ren"
Ren mengangguk, lalu duduk di sebelah wibi. Jefry mengerutkan keningnya saat melihat wajah pucat ren.
"Ren, apa kau sakit?"
Ren menggeleng pelan. Jeffry menghela nafas. Muridnya ini memang sangat pendiam. Diam-diam dia sebenarnya bersimpati pada Ren.
"Kau yakin? mukamu pucat ren"
Ren mengangguk. Jeffry mendengus pelan.
"Baiklah. Kita mulai saja. Kalian tadi terlambat, dan saya tidak peduli apapun alasan kalian. Tindakan kalian adalah ketidak disiplinan, dan karena itu kalian tentu harus mendapat sanksi. Kalian tulis kalimat 'aku berjanji tidak akan terlambat lagi' sampai 50x dengan huruf kapital. Disini. Sekarang. Paham?"
Ren mengangguk pelan. Ia mulai mengeluarkan buku dan langsung menulis. Jeff tersenyum kecil. Wibi memandang gurunya nyalang.
"Tapi pak, saya datang sebelum bapak masuk ke kelas"
Jeffry memandang Wibi galak.
"Ini juga yang akan saya bicarakan. Kamu, jangan anggap saya tidak melihat apa yang kamu lakukan. Kamu menabrak Ren, lalu meninggalkan nya begitu saja. Kau pikir itu baik hah?!"
Wibi terdiam sejenak.
"Tapi pak saya-"
"Apapun alasanmu, tindakan mu itu tidak bertanggung jawab! Sekarang minta maaf pada Ren!"
Ren sedari tadi sudah meletakkan bolpoinnya dan menunduk saat namanya disebut sebut. Tentu saja dia takut. Apalagi ini adalah seorang Wibisono.
"Tidak!saya-"
"MINTA MAAF SEKARANG WIBISONO!"
Jeff membentak keras dengan suara menggelegar. Ren memejamkan matanya takut. Nafasnya berhembus tak beraturan dan wajahnya semakin pias. Gurunya ini sepertinya juga sama menakutkannya dengan ayahnya. Ia benar-benar tidak boleh berbuat kesalahan.
Wibi mendecak.
"Maaf"
Ren mengangguk takut.
"Y-ya.."
Jeffry memijit pelipisnya. Bocah Wibisono dari Indonesia ini benar-benar nakal. Jeffry mengerutkan keningnya lagi melihat tangan Ren yang sedikit gemetar saat memegang bolpoin. Waktu terus berjalan, ren selesai mengerjakan hukumannya. Ia menyerahkan tugasnya pada Jeffry, meminta maaf, membungkuk kan badannya lalu kemudian pulang setelah di persilakan. Matanya melirik jam besar di dinding sekolah. 16.40.  Ia berusaha mempercepat langkahnya, berjalan kaki untuk segera sampai di rumah. Tidak ada yang akan menjemputnya, jadi ia harus berjalan kaki setiap hari. Celakanya, perutnya kini mulai perih, dan ia merasa langkahnya mulai melambat.
Ia menghela nafas lega saat kakinya menginjak pintu depan rumahnya. Ia ingin segera menyapa kasur kesayangannya.

To be continue
^^
Tolong tinggalkan jejak kawan kawan ;)
Makasih buat para silent readers yang udah mau baca cerita grey
Dan MAKASIH BUANYAKZZ buat yang udah kasih saran, lewat pm, comment, maupun udah kasih vote.
Aksi kalian berarti amat banyak bagi grey dan akan selalu di butuhkan 😚😚😚😚
LOVE YOU GUYSSS

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang