Tujuhbelas

270 19 6
                                    

Malam ini ren tidak bisa tidur. Entahlah, pikirannya sedang kalut dan kemana-mana. Lama-lama ia merasa aneh sendiri. Tiga bulan belakangan ia bisa tiba-tiba sedih sekali dan menangis sendirian, tiba-tiba insomnia, atau tiba-tiba ketakutan sendiri, padahal ayahnya sedang tidak ada. Tubuhnya makin kurus karena nafsu makannya berkurang. Banyak hal aneh terjadi pada tubuhnya, tapi ia tak menghiraukannya. Ren menghela nafasnya. Sudah jam 3 pagi. Fix, ia tidak tidur hari ini. Ren melangkah ke balkon. Matahari belum terbit, dan Ren bertekad menunggu. Seharusnya ia berangkat kerja sekarang, tapi ia sedang malas. Dini hari ia bekerja mengantar majalah dan susu, lalu sepulang sekolah ia akan bekerja di cafe. Tentu saja kakaknya melarang. Tapi ia sudah melakukan hal semacam ini dari dulu, dan ia butuh uang untuk setidaknya membeli obat. Ia duduk dilantai, dan dingin langsung menyergapnya. Ren menggigil, tapi masih ingin di sana. Ia memejamkan mata. Mencoba mengosongkan pikirannya. Celakanya, semakin lama, tubuhnya semakin rileks dan ia mulai mengantuk. Ren mengucek matanya, dan tersenyum saat matahari mulai terbit. Setelah mengantar matahari memulai hari, Ren pun turut bersiap menyambut hari.

~o~

Ren menidurkan kepalanya di atas meja. Ia mengantuk, mengingat semalam suntuk ia tak tidur. Selain itu perutnya mulai perih. Ren menghela nafas. Ia bangkit, dan seperti biasa, memenuhi perutnya dengan air dari tap water. Bocah itu mencuci mukanya untuk menghilangkan kantuk dan mendudukkan dirinya di bangku terdekat saat sakit di perutnya semakin parah. Ren mencengkram perutnya kian kuat.
'Astaga...sakiit' Batinnya merintih.
Nafasnya kian tersengal. Belum selesai sakit pada perutnya, sekarang dadanya mulai berulah. Ren merogoh sakunya dan menggigit bibir saat tidak menemukan apa yang di carinya. Ren terbatuk-batuk, kakinya berdiri berusaha melangkah, tapi sakit pada tubuhnya membuat ren lemas dan jatuh seketika. Ren merasa nafasnya mulai payah dan melambat, perutnya sakit sampai ia lemas. Pandangannya menggelap, dan akhirnya ia menyerah.

~o~

Ren sering bermimpi. Mimpi gelap yang panjang. Penuh ketakutan, kesakitan, dan ia merasa banyak tatapan kebencian yang mengintainya dalam kegelapan. Ia meringkuk ketakutan, dan kesakitan. Ia berteriak minta tolong, tapi tak ada respon. Saat ia mulai menyerah, setitik cahaya datang, semakin dekat, semakin hangat. Merengkuhnya dalam kehangatan yang nyaman. Ia melihat sesosok perempuan, sangat cantik. Sosok itu hanya terdiam dengan tatapan sedih, lalu menghilang. Setelah itu Ren terbangun. Ia membuka mata perlahan. Sedikit kecewa karena tak bisa merengkuh wanita hangat dalam mimpinya. Kepalanya pening, tapi sakit perutnya sudah mulai reda, dan sesak pada dadanya juga hilang.

"Loh, hai, sudah bangun?"
Ren mengerutkan keningnya.  Di samping tempat tidurnya ada dua siswa yang tak asing di matanya. Siswa berambut pirang bermata biru membantunya melepaskan nassal canulla yang terpasang di hidungnya dan menyusun bantal untuknya duduk.
"Ini, minum"
Seorang pemuda berambut coklat menyodorkan segelas air padanya, yang langsung di sambut dengan senang hati.
"Ini...jam berapa?"
"Setengah lima"
Ren sontak melotot, segera beranjak. Gawat. Dia terlambat.
"Eh? Mau kemana?"
"Pulang..terima kasih sudah menolongku"
"Eh tapi kan- tuh kan! Bentar napa sih?"
Siswa berambut coklat itu berdecak sebal saat Ren terhuyung, nyaris jatuh.
"Kenalin dulu, gua Devan, X A. Dia Tyo, X-F. Lu kelas X-F kan, sama si Tyo?"
Ren mengangguk. Ia mengenali kedua orang ini. Tyo memang sekelas dengannya, dan Devan sering sekali main ke kelasnya saat istirahat. Masalahnya, mereka tak pernah saling sapa.
"Sa-lam kenal. Se-sekali lagi, terima kasih, ta-tapi a-ku harus pulang se-sekarang"
"Gua anter ya? Lu sakit gini"
Ren menggeleng. Matilah dia kalau ayahnya tau dia pulang di antar orang.
"A-a-ku..kayaknya di-je-jemput kakak"
Ren menunduk sambil menggigit bibir dan memainkan jarinya, gelagatnya kalau sedang berbohong.
"Oh, yaudah deh, kita tungguin sampe kakak lu dateng"
Ren menggeleng ribut.
"Ka-kalian duluan saja..ka-kakak agak terlambat.."
"Gapapa. Lu sakit ren. Ntar kalo kenapa-kenapa gimana? Udah deh, kita tungguin aja! Ya kan Yo?"
Tyo mengangguk setuju.
"Kita ga ngapa-ngapain juga habis gini"
Ren akhirnya mendengus pasrah. Tangannya mengambil HP dengan cepat, menghubungi kakaknya sebelum kedua temannya ini mewujudkan niat untuk mengantarnya pulang.
"Halo, toutou? Kamu di mana? Kenapa belum pulang?"
"Ummm..maaf kak...uh..itu..tadi ada sesuatu..di sekolah..."
"Sekarang kamu di mana?"
"Sekolah..."
"Sudah mau pulang?"
"I-iya..."
"Tunggu di sana. Kakak jemput sekarang"
"Iya kak...makasih"
"Sama-sama. See ya. Tunggu depan ya"
"Iya"
Ren tersenyum. Kakaknya kelewat peka. Kepalanya menoleh pada kedua temannya.
"Kakak jemput di depan"
Devan mengangguk.
"Ya udah yuk"
Mereka bertiga segera meninggalkan ruang UKS, memberitahukan pada dokter jaga kalau ren sudah sadar dan mau pulang. Ren mendapat beberapa obat -lagi- dan sederet wejangan untuk makan teratur, istirahat cukup dan lain sebagainya yang tidak akan mungkin Ren patuhi. Ren sudah lebih akrab dengan kedua teman barunya, mungkin karena sifat asli Ren memang periang, sehingga bila tidak ada tekanan di sekitarnya, sifat aslinya muncul.
"Ren!"
Sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di seberangnya. Wajah Harry tersembul di sana.
"Ah, itu kakak. Kalian naik apa? Mau pulang bareng Ren?"
"Kita naik taxi. Supirku ga masuk hari ini, Tyo mau main kerumah" Devan menimpali.
"Bareng Ren aja ya? Mau?"
"Oh, ga usah deh Ren, ntar bikin repot"
Ren menggeleng. Justru dia yang merepotkan.
"Ren yang bikin repot kalian. Ikut ren aja ya?"
Tyo menatap Devan sebentar sebelum mengangguk.
"Ya udah deh. Kakak lu gapapa?"
Ren mengangguk ragu.
"Ke sana dulu yuk"
"Kak, umm..me-mereka teman ren..umm...a-apa mereka bo-boleh ikut kita? Su-supirnya ti-tidak masuk hari ini..."
Harry terkekeh.
"Tentu saja boleh. Masuk gih"
Ren tersenyum senang, mempersilahkan teman-teman nya masuk sementara ia membuka pintu samping pengemudi.
"Permisi kak"
"Iya, naik..siapa ini temennya Ren?"
Harry menengokkan kepalanya ke belakang, mengulurkan tangannya.
"Tyo kak"
"Devan"
"Rumahnya di mana?"
"Perumahan Lily blok A kak"
Harry mengangguk, lalu mejukan mobilnya.
"Omong-omong, kenapa pulangnya sore sekali? Apa ada kegiatan tambahan?"
Harry mengerem mendadak saat sebuah sepeda motor melesat memotong jalannya, membuat Harry mengumpat pelan dengan Ren yang kaget karena terbentur kaca. Ren memang setengah tidur tadi.
"Kalian gapapa? Sorry sorry"
"Iya, gapapa kak, ati-ati"
"Ren gapapa?"
"Iya kak"
Harry kembali menjalankan mobilnya.
"Eh, jadi gimana, kenapa pulang sore? Tadi perasaan udah ga ada orang di sekolah kalian?"
Ren mendadak tegang.
"Oh..itu, tadi Ren pingsan, baru sadar, terus minta langsung pulang. Makanya telfon kakak"
"APA?! KENAPA? KOK BISA?"
Ren menggigit bibirnya saat tiba-tiba Harry menepikan mobilnya mendadak dan menatapnya tajam, lalu beralih menatap teman-temannya dengan pandangan menuntut.
"Umm..ki-kita ga tau juga kak...tadi waktu kita ke halaman belakang mau ke kelas, kita lihat Ren udah setengah sadar, terus ga lama pingsan. Jadi kita gendong ke UKS"
Harry mengusap mukanya kasar. Matanya menatap Ren khawatir. Bukan sekali dua kali ia mendengar kabar adiknya itu pingsan. Ia memang sudah curiga pasal kondisi adiknya yang menurutnya lemah itu, tapi adiknya terlalu keras kepala.
"Ren"
Ren menegang dalam duduknya. Tangannya meremas satu sama lain, sementara ia menggigit kuat bibirnya, kebiasaannya saat berbohong atau panik.
"Ren"
Ren mendongakkan kepalanya perlahan, lalu menunduk lagi saat netra berbeda warnanya bertemu pandang dengan netra biru kakaknya.
"Ren, lihat kakak dulu"
Jarinya mengangkat dagu Ren, dan di lihatnya mata panik Ren yang tidak mau menatap kedua matanya.
"Dengar. Kakak tidak marah, kakak cuma mau tanya. Kamu tadi kenapa? Apa yang sakit? Kenapa sampai pingsan?"
"Re-ren...mi-mi-minta ma-maaf kak...Re-ren..tadi..s-sa-sakit pe-pe-perut..re-ren juga se-sak...hiks.. ma-maaf..Re-ren sa-salah...jangan...pu-kul...ren...maaf.."
Ren sebisa mungkin menahan isakannya, sementara Harry mengurut batang hidungnya. Matanya melirik pada dua bocah di belakang yang sedang menunduk sungkan.
"Hei. Kakak tidak marah. Tapi sekarang, kita ke rumah sakit ya? Kita periksa. Tyo, Devan,mau ikut? Bisa temani ren?"
"Ah...iya kak, bisa"
D

engan itu, Harry memutar arah laju mobilnya.
"Ka-kak..ta-tapi i-ini...su-sudah jam lima..nan-"
"Tenang aja, ada kakak. Nanti kakak tanggung jawab, ya? Kesehatanmu lebih penting Ren"
Ren mengangguk, menyeka air matanya. Gerakan yang sangat lucu di mata Harry. Dengan gemas ia mencubit pipi Ren.
Kedua temannya di belakang hanya tersenyum. Entah kenapa hati kedua nya terenyuh melihat interaksi mereka, namun demikian mereka merasa janggal dengan reaksi Ren yang menurut mereka sedikit berlebihan. Kenapa Ren sampai takut seperti itu pada kakaknya sendiri? Diam-diam Harry melirik spion tengah mobilnya, mencuri pandang wajah Tyo dan Devan yang sibuk dengan lamunannya. Tidak terlihat, namun Harry tau, keduanya pasti amat penasaran dan heran. Reaksi Ren memang aneh untuk orang kebanyakan. Dalam hati Harry berharap, semoga dua anak ini, bisa menjadi pelipur lara Ren saat ia tak ada di sisinya, setidaknya saat Ren di sekolah. Adiknya sudah punya Rudy dan beberapa pegawai cafe, dan ia bersyukur, dan sangat berharap, agar lebih banyak lagi orang-orang yang mau berada di sisi adiknya, karena dia tidak bisa terus menerus ada di sisi Ren. Ren sudah banyak menderita, kini ia ingin Ren merasakan kebahagiaan..

TBC

Hellooooo
Makasih banyak buat kalian yang udah nungguin, udah nyemangatin, udah baca cerita ini, udah like, comment, dan vote juga 😘

Maaf kalau baru bisa update...karenaaaaaaa

SAYA HABIS SIDANG SKRIPSI!!!!!
YAAAAYYYY
Kasih selamat dulu dong, wkwkwk

Semoga habis ini, bisa update agak cepat ya...hehehehe.

Akhir kata, jangan lupa tinggalin jejak yaaaa

Ai laf yu gaes 😘

Salam cinta,
GREYDYS

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang