Harry mengintip Ren yang termenung. Ren bahkan tidak sadar saat Harry membuka pintu kamar Ren yang berderit, dan berdiri persis di sampingnya. Hatinya berdenyut saat melihat tatapan Ren yang kosong, menatap jauh gelapnya malam. Padahal bintang tidak ada, bulan pun juga tidak tampak. Hanya perumahan sepi, tidak ada manusia yang lewat, dengan lampu jalan yang berkedip.
"Ren?"
Ren tersentak kaget saat suara itu terlewat di telinganya. Kemudian ia mengelus dada nya dengan dramatis. Kaget.
Harry mau tak mau tertawa geli. Padahal dia memanggil dengan suara pelan. Dasar drama!
"Kenapa kak? Kakak butuh apa?"
Harry mengerucutkan bibir.
"Emang kalo mau main ke kamarmu, harus ada perlunya gitu?"
"Hahahaha. Nggak gitu juga kak..tapi kan siapa tau..ya kan?"
"Yayaya"
Hening. Harry mengamati ren yang kini menutup matanya menikmati angin dari balkon kecil dikamar. Balkon itu sebenarnya untuk menjemur, tapi ren juga sering menatap langit dari sana.
"Are you okay?"
Ren membuka mata nya, lantas menatap Harry heran.
"Of course. Why not?"
Harry mendengus. Apanya yang baik? Ia yakin adiknya itu tidak baik baik saja.
"No. I mean, your heart, inside. Are you....really okay?"
Ren tercekat sesaat. Kemudian mengubah raut wajahnya menjadi datar. Ren mengangguk pelan, tapi entah kenapa hatinya menjadi sakit.
Harry menghela nafas. Tangannya membalik tubuh ren pelan, dan ia menatap manik berbeda warna itu dengan lembut.
"Ini cuma kakak, cerita aja. Buang semua beban mu ren"
Ren menggeleng pelan. Tentu saja ia takut, ia tak boleh bercerita pada siapapun, dan lukanya sama sekali tak boleh terlihat.
"Jangan takut, kakak janji cuma kakak yang tau, gak akan terjadi apa-apa. I'm here"
Ren mengepalkan tangannya, lalu menggeleng kuat. Matanya berkaca ingin menangis, tapi otak memerintah untuk jangan menangis. Harry mendekap ren dalam sebuah pelukan hangat. Ia ikut menangis dalam diam. Begitu berat beban yang di tanggung adiknya, tapi bahkan untuk bercerita pun ia tak bisa.
"It's okay ren...please tell me"
Malam itu, Ren hanya mengucapkan dua kata, yang mampu membuat hatinya kian meradang.
.
.
."Ren...capek"
.
.
.
.
.
Pagi hari seperti biasa, Ren terbangun pagi buta dan menanti fajar. Ia menatap langit dengan wajah sendu. Moodnya sedang tidak bagus. Bayangan kejadian malam kemarin menghampiri benaknya. Ia menghela nafas lelah. Ia memang tak main main saat bilang capek. Ia memang capek, sangat sangat capek. Fajar menyingsing. Kali ini Ren malas melihatnya lama-lama. Ia meninggalkan balkon. Setelah berbenah, tanpa sadar kakinya melangkah menuju dapur, sampai ia ingat bahwa ayahnya tak ada. Ia sedikit tersenyum, moodnya langsung menjadi baik. Sangat ironis, jika biasanya anak-anak menanti ayahnya, Ren berbeda. Sebaliknya, ketiadaan sang ayah justru membuatnya lega. Ia memutar arah, kali ini ia naik ke lantai atas untuk membangunkan kakaknya. Ia terkikik saat melihat pose tidur kakaknya yang sangat tidak elit. Padahal kakaknya super berwibawa di luar sana, tapi nyatanya pose tidurnya...wah!
"Kak...?"
Ren menggoyang bahu kakaknya, semakin lama semakin keras. Astaga...kakaknya ini...sangat susah di bangunkan! Ren mendengus sebal. Tangannya sudah bertengger di pinggang dengan alis berkerut. Ren diam sesaat mencari akal, bagaimana dia bisa membangunkan sang kakak ya? Ren terkikik geli saat terpikirkan sesuatu. Dengan semangat ia turun ke bawah, dan kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. Ia menaruh benda itu di leher kakaknya yang sedang terlungkup,lalu duduk di tepi ranjang. Ia tertawa saat melihat kakaknya mengibaskan benda itu dan dengan jahil ren menaruhnya ke tempat semula.
"Aaggghhh!!" Ren tergelak saat mendengar teriakan jengkel kakaknya. Tangannya bergerak menyingkirkan benda dingin dari leher kakaknya, yang ternyata adalah es batu. Ia lalu naik ke atas ranjang dan memeluk kakaknya manja.
"Ayo bangun kakkk....nanti telat looh"
"Hmmmm"
"Kaaaaaakkkk"
Harry mendengus jengkel. Ia berbalik, membenamkan tubuh kecil ren kedalam pelukannya.
"Ssst. Ga usah berangkat ajalah kita"
"Iiihh gak mau kakaaak! Mau sekolah ren ituuu"
Ren berusaha melepas pelukan kakaknya. Setelah perjuangan panjang, akhirnya bisa lepas juga. Ia melirik jam dinding, ia harus berangkat 15 menit lagi. Ren duduk, mendengus.
"Kalau gitu Ren berangkat sendiri ya kak, Ren udah waktunya berangkat loh...nanti kalau telat, Ren gak sempat sarapan"
Harry membuka matanya dengan berat hati begitu mendengar ancaman adiknya. Tidak sarapan? Hell no, dia masih sangat ingat nasihat dari om kesayangannya itu.
"Iya iya kakak bangun, yaudah kamu sarapan dulu lah sana, kakak mau mandi dulu"
Gerutu sang kakak sambil menyambar handuk menuju kamar mandi.
.
.
.
.
.Ren bersenandung riang. Hari ini berjalan sangat menyenangkan. Ia menyapa bibi Shizu yang kebetulan mendengar senandungnya dan berjalan menyambutnya dipintu utama.
"Selamat datang tuan kecil, mau makan dulu atau mandi dulu? Bibi siapkan"
Ren tersenyum cerah. Ia senang semua menurutinya untuk memanggilnya tuan kecil saja, pasalnya ia tidak suka di panggil tuan muda.
"Ren mau mandi dulu aja bi"
Pelayan yang siaga di belakang Shizu langsung bergegas ke kamar mandi atas untuk menyiapkan air mandi Ren, sementara Shizu mengambil alih tas dan kruk yang dibawa Ren sambil tersenyum.
"Tuan kecil bibi sepertinya sedang senang sekali ini" Ujarnya bahagia. Shizu sangat senang melihat tuan kecillnya bersemangat seperti anak seusianya, bukan pulang dengan penuh rasa takut dan tertekan.
"Hehehehe. Iya bi. Kakak mana?"
Shizu terkekeh kecil sambil mencubit pelan pipi majikannya.
"Tuan kecil lucu sekali. Bibi sampai gemas. Tuan muda ada di kamar tuan kecil. Sepertinya sedang bekerja"
"Ohhh, oke bi, Ren ke sana dulu ya, nanti kalau airnya sudah tolong ke kamar kakak ya bi"
Ren segera keatas setelah Shizu menganggukkan kepala dan mengiyakan permintaannya. Sejujurnya ia sudah tak sabar bertemu dengan sang kakak, entah kenapa.
"Kakaaaaaak"
Teriaknya sambil membuka pintu kamar kakaknya.
"AASTAGAAAA RENNN"
Harry balas berteriak, pasalnya ia sangat kaget tadi. Tangannya mengelus dadanya dengan cepat. Ren tergelak geli dengan tingkah kakaknya. Kakinya tertatih dengan cepat menghampiri kakaknya, lalu memberikan pelukan erat. Harry menggelengkan kepalanya.
'Dasar, sama sekali tidak berubah" Batinnya.
"Idih, bau! Mandi sana!"
Ren memajukan bibirnya.
"Mana ada Ren bau kakakk! Sabar tauk, air mandinya lagi di siapin kak Dory"
Harry terkikik geli.
"Yaudah, kamu rebahan dulu gih, sambil tunggu air, kakak selesaikan ini bentar"
Ren menggeleng dalam pelukan Harry.
"Gak mau ah, Ren mau gini aja, hehehehe"
Harry mencium pipinya gemas.
"Gimana hari ini boy?"
"Super fun. Hari ini ada razia, jadi semua pada sibuk. Trus perut Ren gak sakit. Trus caffe lagi libur, pas banget ren pingin cepet pulang hehehe"
Harry mencubit pipi Ren gemas.
"Gini kok udah SMA sih"
Ren memiringkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Bocah"
"Ya gimana..Ren kan emang baru 11 tahun"
"Masih setengah tahun lagi tapi"
"Sama aja kak, kan tahunnya sama"
"Ngeyel teruuusss"
Ren terdiam, memonyongkan bibirnya. Ya mau gimana lagi, batinnya. Dulu memang dia terlampau pintar karena didikan keras ayahnya dan dia yang dulu memang sangat tertarik untuk belajar, membaca, dan menulis, sampai-sampai kata Shizu ia terus menangis untuk minta belajar dengan buku yang sesekali dibelikan oleh para pelayan. Di usianya yang ke 3 tahun ia sudah bisa penjumlahan, membuatnya tak perlu sekolah kanak-kanak dan langusng masuk SD kelas 2 saat usianya yang ke 4, kemudian akselerasi sebanyak 3 kali di sekolah dasar, sehingga pada usianya yang ke 10 Ren sudah memasuki bangku SMA. Pelajaran SD masih sangat mudah baginya, namun semakin bertambah umurnya, siksaan ayahnya justru terus bertambah, membuatnya seringkali tak sanggup mempertahankan prestasinya. Alih-alih meningkat, nilainya justru turun karena sering tak mampu belajar dan mengerjakan tugas dari sekolah. Ren jadi sedih saat memikirkannya.
"Omong-omong, temen-temen kamu tau umurmu baru 10 tahun?"
Ren menggeleng polos.
'Temen aja baru punya 3, itu aja ga tau kok' Batinnya.
"Lah. Kenapa gitu? Kamu ga bilang emang?"
Ren menggeleng lagi.
"Ga ada yang tanya" Balasnya datar.
Harry hanya membulatkan mulutnya dan kembali berkutat dengan laptopnya sementara Ren kembali bergelanyut di tubuh kakaknya. Kegiatan manis itu harus terhenti saat Dory mengetuk pintu, mengabarkan bahwa air mandi untuk tuan kecilnya sudah disiapkan. Ren merengut, lalu beranjak pergi untuk membersihkan tubuh. Meninggalkan sang kakak yang hanya menggeleng heran dengan tingkah bocah yang menyandang status sebagai adiknya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Aktuelle LiteraturMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...