"HALOO AKU PULANG!"
Rudy berteriak nyaring sambil membuka pintu utama dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menyangga tubuh Ren yang lemas. Ren mendengus dan menggosok telinga kanannya yang berdengung, spontan menonyor kepala sang sumber suara. "ADUH! KENAPA SIH!"
"BERISIK!Telingaku sakit"
Rudy memayunkan bibirnya.
"Untung kau sahabatku. Dasar es"
"Siapa yang kau bilang-"
"Selamat datang tuan muda"
Perkataan ren terputus oleh suara seorang pelayan wanita yang menghampiri mereka. Ren menunduk, tersipu malu sudah ketahuan menonyor kepala majikan mereka.
"Papa mama di mana?"
"Tuan besar dan nyonya sedang di kamar, tuan muda"
"Tolong panggilan papa ya, bilang ada yang pasien"
"Baik tuan, saya permisi"
Rudy mengangguk.
"Ayo, ke kamar"
Ren hanya diam, menurut pada Rudy yang menjadi tumpuannya saat ini. Entahlah, ia merasa tubuhnya lemas, padahal ia baru saja bangun.
"Ayo, cuci tangan kaki dulu, aku ambilkan baju ganti. Kuat kan?" Suruh Rudy. Begini-begini, Rudy orang yang sangat menjaga kebersihan, begitupun keluarganya. Mungkin karena ayah Rudy seorang dokter. Bahkan sebotol antiseptik berukuran besar terlihat bertengger di nakas sebelah tempat tidur. Sangat tidak cocok dengan kepribadian nya yang pecicilan.
Ren mengangguk, melepas tautan lengannya dari leher Rudy. Badannya sedikit oleng, tapi ia cepat menyeimbangkan tubuhnya dan berpegangan pada dinding di sebelahnya.
"Ah, tidur sajalah. Tidak usah cuci kalau tidak kuat"
"It's okay, aku juga mau buang air. Mau ikut?"
"Idih najis"
Ren tertawa kecil, sambil berlalu ke kamar mandi. Rudy mendengus geli. Sambil tersenyum ia melangkahkan kakinya menuju lemari untuk mengambilkan baju ganti untuk mereka berdua. Ia senang, sebulan ini, Ren sudah bisa seperti remaja pada umumnya, walaupun hanya saat bersama nya saja, itupun hanya jika sedang kumat. Pertama kali ia bertemu Ren, satu kata yang terlintas di benaknya adalah 'suram'. Ren terlalu suram untuk remaja seusianya. Belum lagi ia terlalu gaptek,cupu,penakut, dan sederet hal aneh lainnya yang membuatnya super risih dan tak tahan untuk mendekati ren, dan sekarang usahanya bisa di bilang cukup berhasil.
DUK!DUK!DUK!
"Ren!Bajumu nih!"
Pintu terbuka, tangan basah menjulur dari dalam kamar mandi.
"Thanks. Tolong handuk sekalian dong"
"Lah, lu mandi tong? Ga usah mandi ah elah...habis pingsan juga"
"Gapapa, aku gerah, udah terlanjur kena air"
"Ya udah sabar bentar"
Rudy dengan cepat menyambar handuk di lemari dan memberikannya pada tangan Ren yang masih terjulur.
"Thanks ru"
"Yoi"
Rudy mengganti bajunya sembari menunggu ren. Tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka, ternyata papa nya masuk. Di rumahnya, tidak ada aturan mengetuk pintu, kecuali untuk pekerjanya.
"Siapa yang sakit ru?"
"Ren, temen ru pa"
"Terus ren nya mana?"
"Noh, lagi mandi. Tadi udah ru bilang cuci aja, atau baring aja terus pake antis, eh malah lanjut mandi dianya. Bentar lagi selesai paling"
Brian -ayah rudy- mengangguk, sambil membuka kotak obatnya, dan mengambil kacamata, stetoskop, buku, dan bolpoin dari dalam sana.
"Tadi temennya kenapa Rud?"
"Pingsan pa. Kan tadi ru kerja di cafe, nah dia datang nya telat. Pas dateng sih udah pucet gitu mukanya, terus ternyata tangannya luka, kata dia habis jatuh sih. Akhirnya ru bikinin cake ama coklat panas. Udah, terus dia kerja lagi, tapi pas mau pulang, tiba-tiba pingsan gitu aja, mana sadarnya 3 jam kemudian lagi, kan lama banget. Akhirnya ru tungguin sampe sadar, terus ru bawa sini deh, makanya pulang telat"
Brian hanya mengangguk sambil menggumam dan menulis pada bukunya. Tangannya menepuk punggung Rudy dan menggumamkan kata 'good job', yang di sambut cengiran Rudy. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, ren muncul dari sana dengan raut terkejut melihat Brian.
"U-umm...se-selamat malam tuan, sa-saya Ren Crawd, teman Rudy. Se-senang bertemu tuan"
Ren menaruh handuknya dan membungkuk hormat.
"Halo ren, aku Brian, papa Rudy. Kau bisa panggil aku paman, atau ayah sekalian, atau apapun, asal jangan tuan. Teman Rudy berarti anak kami juga, santai lah dan tidak perlu sungkan, anggap saja rumah sendiri. Senang bertemu denganmu" Brian memberikannya senyum lebar. Persis seperti Rudy. Sekarang ren tau darimana keramahan Rudy berasal. Ternyata ayahnya pun juga secerah mentari, dengan rambut kuning keemasan dan mata merah. Mereka benar-benar seperti kembar beda ukuran.
Ren mengangguk canggung. Ru menepuk sisi kosong tempat tidurnya, dan ren berjalan perlahan ke sana. Baju Rudy terlihat longgar ia kenakan, padahal baju itu adalah baju Rudy yang paling kecil dan sudah sesak.
"Aku dengar kau pingsan tadi. Berbaringlah sebentar, aku akan memeriksa mu"
Ren otomatis melebarkan matanya.
"Ti-ja-jangan tu-pa-man, sa-sa-saya ba-baik baik saja"
"Hm? Kenapa? Ada sesuatu yang tidak boleh paman lihat?"
Ren menggeleng. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya.
"A-a-apa bisa..ka-kalau...pa-man melakukannya tanpa me-membuka baju saya?"
Brian menyipitkan matanya. Bocah di depannya ini, menyembunyikan sesuatu, dan mukanya sama sekali tidak bisa berbohong.
"Kau menyembunyikan sesuatu ren?"
Ren menunduk takut.
"Ti-tidak...sa-sa-saya tidak apa-apa...ren mohon"
Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya. Brian menatap Rudy yang sedari tadi hanya terdiam di sebelah ren. Tangannya membentuk isyarat
'kenapa dia?'
Rudy hanya mengangkat bahunya.
Brian menghela nafas, dengan lembut ia genggam tangan yang sudah bergetar itu. Tangannya kasar, kecil, dan dingin.
"Ren?"
Ren hanya terdiam, tapi Brian tau, ren mendengar.
"Baiklah, kali ini, paman akan memeriksamu tanpa membuka kausmu."
Ren menatap mata Brian dengan berkaca-kaca, penuh kelegaan dan ucapan terima kasih.
"Tapi, apapun yang kau sembunyikan ren, aku harap kau bisa membagikannya pada kami, anggap kami keluarga mu. Paman akan senang kalau kau mau melakukan nya."
Ren menunduk lagi. Ia ingin begitu, ia ingin membagi keluh kesahnya pada orang lain. Semua ini terasa makin berat untuknya. Tapi kalau ia sampai beraninya melakukan itu, Ren bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
"Sudah, sekarang berbaringlah"
Ren sedikit tersentak, kemudian dengan perlahan ia berbaring. Lembut, empuk,nyaman, dan hangat. Beruntung sekali Rudy bisa tidur seperti ini setiap hari. Kasur di kamarnya sudah sangat keras dan tipis, tapi ia bersyukur setidaknya masih punya ranjang.
Brian mengernyit saat stetoskopnya berada di atas bagian perut ren.
"Ren, apa kau mual?"
Ren menggeleng pelan.
Brian menekan perutnya, dan ren berjingkat. Nafasnya menjadi sedikit terengah.
"Sakit?"
Ren menggeleng lagi. Brian mengerutkan keningnya lagi.
"Aku dokter. Kau tidak bisa bohong. Jujur, atau kubuka bajumu dan kubawa kau ke rumah sakit!"
Ren menggigit bibirnya.
"Biar ku ulang. Apa kau mual? Perutmu sakit?"
Ren mengangguk pelan.
"Kapan terakhir kali kau makan makanan berat?"
Ren terdiam sejenak, mengingat-ingat.
"Umm...ke-kema-rin..siang"
"WHAT?!" Rudy berteriak dengan mata melotot. Ren mengalihkan pandangannya.
Brian mulai menatap ren serius.
"Ru, tolong minta pelayan buatkan bubur. Ayah mau ke ruang obat"
Rudy mengangguk dan segera melesat pergi melaksanakan perintah ayahnya.
"Tunggu di sini sebentar ren."
Brian meninggalkan kamar. Ren menutup matanya, setetes air matanya jatuh. Ia takut. Benar-benar takut. Ia menghapus air matanya. Ia hanya bisa berdoa, agar hukuman berat tak menimpanya nanti. Agar ayahnya tak tahu.
Brian datang membawa tongkat infus beserta infus dan sebuah keranjang.
"Aku akan memberi mu infus"
Ren hanya diam. Brian mulai bekerja memasang infus itu pada tangan kanannya. Ia lalu menyuntikkan obat lain ke dalam lengannya, dan obat lainnya ia suntikkan ke dalam cairan infus.
"Sekarang istirahat, nanti kalau buburnya sudah datang, makan. Besok jangan kerja dulu. Kalau ada apa-apa, kau bisa panggil pelayan, tinggal tekan telepon nomor 5"
Ren mengangguk. "Terima kasih paman"
Brian tersenyum dan meninggalkan ruangan. Ren memejamkan matanya, tubuhnya lelah hari ini. Ia mencoba tidak memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Ia mau mengikuti prinsip Rudy, 'kesulitan besok, biar untuk besok, jangan di pikirkan sekarang'. Ren ingin membiarkan dirinya sendiri istirahat sebentar, dan tak lama kemudian ia sudah terbuai mimpi.
.
.
.
.
To be continueHaiii
Maaf ya update nya lama 😍😘
Makasih banget buat kalian yang udah mau baca, terutama buat yang nungguin, apalagi buat yang udah ninggalin jejak di chapter2 sebelumnya. Love you guys 😘Chapter kali ini di buat lebih panjang. Udah 1300 kata guys 😂
Semoga puas dengan chapter kali ini ya 😘 grey bakal berusaha yang terbaik buat kalian 😘Terakhir, jangan lupa vote, comment, like, follow 🤗
See you on next chapter 🤗😘Salam manis
Greydys
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
General FictionMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...