Empat

480 23 0
                                    

"Heh anak sial! Cepat lap sepatuku! Lambat sekali!"
Ren mepercepat langkahnya sebisa mungkin mempercepat langkahnya, lalu cepat-cepat membersihkan sepatu ayahnya sementara ayahnya makan. Ia memejamkan mata sejenak saat ayahnya menendang wajahnya sebelum ia selesai mengelap sepatu ayahnya. Ia segera pergi dari ruang makan karena ia tahu ayahnya tak suka ia menampakkan diri di meja makan. Membuat selera makan beliau hilang, katanya. Ia ke dapur, melihat isi kulkas, berharap bisa mendapat sedikit sarapan di sana. Kesempatan bagus selagi ayahnya makan. Matanya menangkap sisa kue, mungkin itu kue ayahnya semalam. Ayahnya tak mungkin mau makan kue yang sudah tersimpan begini. Biasanya kue sisa seperti itu akan di makan para pelayan, di berikan pada pengemis yang biasa lewat di depan rumahnya, atau di berikan pada hewan-hewan liar oleh Fin, pelayannya yang sangat sayang pada hewan. Batinnya mengucap syukur karena hari ini dia bisa sarapan. Tangannya mengambil kue itu dengan riang, sebelum sebuah jambakan keras membuatnya menjatuhkan sarapan yang sudah berhasil memancing perutnya untuk berbunyi.
"Kau mencuri apa hah! Siapa yang ajarkan kau mencuri! Dasar anak sial!"
Ren hanya bisa merintih kesakitan tanpa berani membantah. Ayahnya selalu marah kalau ia membantah. Ren dilarang membantah.
"Aaa..ampun ayah...ampun"
Rintihannya semakin menjadi saat ayahnya memelintir tangannya kebelakang tanpa ampun. Ia hanya bisa menahan tangisannya, karena ayahnya tak suka melihatnya menangis. Ren hainya bisa menanti pasrah.
"Biar ku beritahu kau hukuman apa yang harus diterima pencuri sepertimu! Dasar anak sial!"
CTASH
Ren menggigit bibirnya saat merasakan punggungnya perih. Ia terus menahan jeritan dan air matanya sementara ayahnya terus menghujamkan ikat pinggang pada tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya lecet dan berdarah karena terkena pinggiran kepala sabuk dan ujung sabuk yang runcing.
"Ampun ayah...maaf"
Air mata mulai keluar dari matanya, tak kuat menerima siksaan ayahnya.
"Kau anak sialan! Kau merusak hariku! Sudah tak berguna, cacat, mencuri pula! Mati saja sana dasar bedebah!"
Setelah puas mencambuk tubuh Ren, ia mendorong ren sampai tersungkur.
"Enyah kau!"
Ren terpincang meninggalkan dapur dengan isakan yang semakin tak bisa di tahan. Ia menyeka air matanya kasar. Laki-laki tidak boleh menangis. Ia takut ayahnya akan makin benci kalau dia menangis. Ia mengambil tas nya, lalu dalam diam meninggalkan rumah.
"Tuan muda sudah mau berangkat sekolah?" Duke, satpamnya menyapa ramah. Ren hanya mengangguk sambil memasang senyum manisnya.
"Ren berangkat dulu ya pak"
"Iya tuan, hati-hati"
Ren berjalan pelan dan terseok-seok. Punggungnya terasa ngilu dan perih. Rasanya bahkan untuk bergerak saja sudah sakit.
Berjalan selama itu, nyatanya ren belum berjalan jauh dari rumah.
Tin
Ren terlonjak kaget. Ia mengusap peluh di dahinya, lalu menengok, dan sebuah mobil mewah berhenti di sampingnya.
"Ren? Kenapa jalan? Ayo masuk"
Ternyata itu kakaknya, Harry.
Ren hanya menatap harry bingung. Harry keluar mobil, meraih tangan ren.
"Ayo, kakak antar"
"Hah? Ta-pi Ren tidak boleh naik mobil kak"
Harry mendecak.
"Kamu adikku, kenapa tidak boleh naik? Sudahlah ayo, nanti kakak yang tanggung jawab"
Ren hanya bisa pasrah saat kakaknya menarik pelan tangannya. Harry mendorong punggung ren masuk, dan kaget saat adiknya memekik, lalu tersungkur ke kursi mobil.
"Ren?kenapa?"
Ren hanya menggeleng, lalu membenarkan duduknya.
"Tolong jangan sentuh punggung ren"
"Memang punggung mu kenapa? Ayo buka!"
Ren menggeleng. "Ren tidak apa-apa kak...Ren risih" Dustanya. Tak ada yang tahu dalam hatinya sudah merasa sangat bersalah karena telah membohongi kakaknya.
Harry menghela nafasnya. Telinganya tak mungkin salah mendengar pekik kesakitan Ren tadi.
"Kau kenapa Ren?"
Ren hanya menggeleng kecil, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa. Harry memutar matanya. Memutuskan untuk mencoba memahami adiknya yang mungkin masih butuh waktu untuk terbuka padanya. Lagi pula ia yakin apapun yang terjadi pada punggung Ren pasti tidak parah, karena tidak mungkin kan ayahnya melukai anaknya sampai terluka parah? Paling-paling hanya di pukul sedikit, itu pun pasti karena Ren yang salah. Ia percaya pada ayahnya. Percaya pada ayahnya, masih seperti 5tahun yang lalu. Rasa percayanya tidak berkurang.
Tbc

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang