Lima

452 24 4
                                    

Tatapan Harry menerawang jauh, memandang langit biru dari jendela besar ruang kerjanya. Tak bisa di pungkiri, ia masih memikirkan Ren, adiknya. Hati kecilnya khawatir setengah mati, tapi otaknya menyangkal segala tuduhannya pada ayahnya. Ayah yang di kenalnya bukanlah ayah seperti itu. Batinnya berdebat, karena disisi lain ia sudah melihat sendiri bekas kekerasan ayahnya pada Ren saat baru pertama kali tiba di sini. Kemungkinan-kemungkinan terus menjungkir balikkan otak dan hatinya. Ia ingin, sangat ingin percaya pada ayahnya. Otaknya berkata, mungkin saja ayahnya memang sudah berubah dan bisa menerima Ren, hanya mungkin sedikit kasar dan luka-luka yang Ren dapatkan adalah karena Ren melakukan beberapa kesalahan dihadapan ayahnya. Tapi hatinya menyangkal. Ia mengingat dengan jelas setiap ketakutan yang Ren tunjukkan secara tidak sengaja. Apalagi kepalanya masih mengingat jelas saat Ren pulang sekolah, lalu mendapati adiknya meringkuk kesakitan karena tak makan siang. Apalagi Ren juga bilang, ia tak pernah makan siang dan tak pernah diberikan uang. Belum lagi pernyataan Shizu yang melaporkan kekerasan ayahnya. Tapi ia tidak tahu kapan kejadian itu berlangsung. Apa ayahnya memang sudah berubah? Dan Ren seperti ini karena sedang di hukum? Ataukah kepergiannya selama 5 tahun tidak membuat hati ayahnya melembut? Harry memijit pelipisnya lelah. Ayahnya Frank, dan adiknya, Ren. Mereka adalah orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tapi kenapa semuanya jadi seperti ini? Kepalanya makin sakit. Semua kebingungan ini membuat kepalanya seolah ingin meledak.
Tok tok tok
Pintu yang terketuk pelan membuatnya tersadar dari lamunan. Seorang wanita cantik memasuki ruangannya saat dirinya mempersilakan siapapun dibalik pintu untuk masuk.
"Tuan Harry, sebentar lagi meeting dengan abys company akan dimulai. Tuan di harapkan siap di ruang meeting segera"
"Baiklah, kau boleh pergi. Tunggu aku di ruang rapat"
"Baik tuan. Saya permisi"
Harry mengangguk singkat. Mencoba mengganti pikirannya dari Ren agar bisa fokus pada rapat penting kali ini. 'Hari ini akan menjadi hari yang panjang' batinnya.
.
.
.
Ren berjalan pelan keluar dari sekolahnya, menganggukkan kepala pada satpam sekolahnya dengan seulas senyuman. Matahari siang ini sangat terik, mengingat ini adalah musim panas. Kulitnya memerah terkena matahari, dan peluhnya mengucur deras membasahi wajah pucatnya. Ren terengah-engah. Kondisinya begitu bukan sepenuhnya salah mentari yang sedang dengan baik hatinya memberikan panasnya pada dunia di bawahnya, tapi juga karena keadaannya yang kurang baik. Punggungnya masih sakit, dan kini luka itu terasa berdenyut-denyut, begitu juga dengan kepalanya. Ren memutuskan untuk berhenti sejenak di taman kecil yang dilalui nya, menghampiri tempat minum, lalu memutar dan meminum air yang mengucur serta membasuh wajahnya. Kini ia merasa lebih baik dan lebih segar. Ia mendudukkan dirinya pada bangku di sana, mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya menikmati semilir angin yang terhembus dari pohon rindang di atasnya. Damai. Ia merasakan kedamaian yang menyejukkan hatinya. Telinganya mendengarkan tawa beberapa anak yang sedang bermain-main di taman.
Tertawa.
Entah kapan terakhir kali ia tertawa? Ia tak bisa mengingatnya. Sejauh yang ia ingat, ia selalu dipukuli dan di kasari oleh ayahnya. Bahkan jika dia berani tertawa di depan mata ayahnya, ayahnya tak segan-segan akan memukulnya. Tak masalah, karena ia sekarang bahkan tak tahu bagaimana caranya tertawa. Tak tahu apa yang harus di tertawakan. Tapi itu tak masalah, karena kini ada kakaknya. Semoga saja kakaknya itu membawa tawa dalam hidupnya, dan bukan membawa tangis. Kepalanya semakin pening. Ia meraba pelan punggungnya, dan meringis saat merasakan sakit dan perih menyapa punggungnya. Ia tersenyum miris. Berdoa dalam hati, semoga rasa sakit ini setidaknya mengurangi dosa yang ia perbuat terhadap keluarganya.
Ia beranjak dari tempatnya saat melihat langit mulai petang. Ia ingat, ia hafal di luar kepalanya bahwa ia harus pulang sebelum jam 5 sore. Dan ketika matanya menatap jam taman, ia bergegas pulang, karena setengah jam lagi ia harus berada di rumah atau Frank akan menghukumnya.
.
.
.
Ren membuka pintu kediamannya pelan, lalu melangkah menuju tangga. Tak mendapat sambutan apapun, mungkin karena para pelayannya tak sadar dia pulang. Sudah biasa. Ia bukan ayahnya yang selalu di sambut saat pulang ke rumah, dan ia sama sekali tak masalah. Para  pelayannya pasti akan menyambutnya jika mereka tau majikan kecilnya ini pulang. Dengan punggung yang semakin berdenyut nyeri ia melangkahkan kakinya menuju tangga. Ia membaringkan dirinya pelan di atas ranjang kecil miliknya, mengistirahatkan kepalanya yang berdenyut nyeri. Tindakan bodoh. Tindakannya berbaring semakin membuat punggungnya perih. Sejenak kemudian ia bangkit, mencuci tangan, kaki, dan mukanya, lalu dengan perlahan membuka seragamnya dan memilih baju yang kira-kira tak akan membuat perih lukanya. Telinganya yang peka mendengar sambutan para pelayan di bawah. Mungkin itu ayahnya yang baru pulang. Ia baru saja menarik salah satu baju, saat pintu kamarnya terbuka.
"Halo Ren! Aku pu- Hei! Kau kenapa?!"
Harry melebarkan matanya saat melihat punggung Ren yang penuh goresan, seperti bekas cambuk, dan banyak juga yang sampai berdarah. Ren sama terkejutnya, ia segera membalikkan badannya menghadap kakaknya.
"A-apa? Tidak ada apa-apa kak"
Harry mengerutkan keningnya tak suka. Kakinya melangkah masuk, merebut baju yang di pegang ren dengan cepat, dan sebelum Ren sempat menyadarinya Harry membalikkan badan Ren, dan amarahnya serasa di puncak kepalanya.
"Ini kenapa lagi?"
Ren menggeleng.
"Ayah?"
Ren menunduk, menggelengkan kepalanya pelan.
"A-aku...ini.."
Ren menutup mulutnya rapat. Alasan apa yang bisa dia berikan untuk luka seperti ini?
"Kakak..jangan marah ke ayah...i-ini salah Ren..." Ren mulai menatap takut kakaknya.
"Re-Ren...Ren...ke-tahuan..me-mencuri..cake..sisa semalam..maaf" Ia kembali menunduk dalam. Ia tak pernah berani menatap lawan bicara nya. Takut akan menerima kemurkaan dari orang yang ditatapnya.
"Maaf..Ta-di..Ren..lapar..Ren salah...Ren minta maaf"
Ren menggigit bibirnya, menahan isak tangisnya. Untuk sesuatu yang merajam dalam hatinya. Untuk sesuatu yang tak pantas ia dapatkan. Apakah mengambil sisa cake di rumah kediamannya adalah sebuah kesalahan? Nyatanya iya. Nyatanya ayahnya marah. Jadi ia salah. Ia akan meminta maaf. Ia akan menerima hukuman nya.
Harry tanpa sadar mengepalkan tangannya mendengar ucapan Ren. Sebuah ucapan yang tak masuk akal. Amarahnya serasa di puncak kepala dan meluap keluar begitu saja.
"KAU DI PUKUL BEGINI HANYA KARENA CAKE SISA? CAKE SISA!YANG BENAR SAJA REN!"
Ren memejamkan matanya takut saat Harry berteriak dengan suara menggelegar.
"Ma...af"
Harry menggeleng.
"Salah apa? Kau tidak salah Ren! Ayah yang salah"
Ren mencekal tangan Harry yang sudah mengambil langkah keluar kamarnya.
"Jangan kak...Ren.. tidak apa-apa..mungkin..Ren harus ijin dulu lain kali" Ren mencoba tersenyum kecil pada kakaknya.
"Tapi ini keterlaluan Ren!"
Ren menggeleng, tersenyum.
"Tidak apa-apa kak. Lagi pula Ren sudah biasa"
Harry langsung mencelos. Sudah biasa? Separah ini dan adiknya bilang sudah biasa? Harry membuang nafasnya kasar. Bibirnya mengecup kening Ren sayang.
"Lain kali, jangan sembunyikan luka-lukamu pada kakak. Mengerti?"
Ren mengangguk ragu.
"Sekarang kau duduk dulu. Jangan pakai bajumu dan tunggu  aku"
Ren kembali mengangguk patuh, lalu membawa tubuhnya duduk di pinggiran ranjang. Sesaat kemudian Harry kembali membawa kotak obat, makanan dan air. Ia segera menyuruh Ren makan sementara ia dengan telaten mengobati tiap luka di punggung ren. Sesekali ia ikut meringis saat mendengar rintihan tertahan adiknya, membayangkan betapa perih nya luka itu. Setelah selesai membalutkan perban sebagai sentuhan akhir, ia mengambil obat penghilang nyeri dan memberikannya pada Ren. Tanpa banyak bertanya Ren meminumnya patuh.
"Sekarang tidur. Nanti jangan mandi dulu. Lukamu masih basah"
Ren mengangguk patuh.
"selamat tidur ren"
Ren tersenyum kecil, menatap punggung kakaknya yang hilang di telan pintu. Berharap, berharap, dan berharap....

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang