Ren menghembuskan nafasnya lega. Ia sudah bisa bernafas dengan baik setelah kakaknya menghirupkan inhealer tadi, tapi tidak bisa dipungkiri, tenaganya seolah terkuras. Harry menatap sedih adiknya yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang.
Rambut Ren acak-acakan, sudut bibir nya robek, dan bekas tangan kemerahan yang tercetak jelas pada tangan dan leher adiknya terlihat begitu sakit. Harry yakin, beberapa jam lagi lebam akan bermunculan di sana. Harry merapikan sedikit rambut adiknya, kemudian mengoleskan obat pada tangan adiknya yang kemerahan dalam diam. Harry merasa tidak berguna. Padahal dia ada disana. Padahal Ren ada dalam pelukannya tadi. Tapi nyatanya adiknya tetap terluka seperti ini. Sudah bisa dipastikan, dia kakak yang payah!
"Kak...?" Ren memegang tangan Harry pelan. Membuat Harry mendongak, berkata 'apa' tanpa suara.
"Kakak kenapa?" Harry mendengus. Sebenarnya siapa yang harus mengkhawatirkan siapa disini?
"Nggak. Coba diem bentar. Kakak mau obati bibir kamu"
Ren mengangguk. Mengernyit saat perih menyapa sudut bibirnya.
"Sakit?" Ren memutar matanya.
"Menurut kakak?"
Harry tertawa.
"Iya iya...yaudah sekarang tidur yuk...udah enakan kan nafas nya?"
Ren mengangguk. Tangannya menarik baju belakang Harry yang sedang membereskan nakas, membuatnya jatuh ke belakang, membuat ren terbahak melihat wajah kakaknya yang semula kaget menjadi melotot.
"Reeeeen!!"
Ren semakin tergelak, walaupun tidak bisa terlalu lebar karena bibirnya sakit.
"Maaf-maaf. Ayo tidur di sini.. Ya kak ya?"
Harry menggigit tangan Ren pelan saking gemasnya.
"Dasar manja. Yaudah, ayo tidur. Udah malem,besok sekolah"
Ren mengangguk, lalu segera meringsek pada dada bidang kakaknya, menjemput mimpi.
.
.
.
.
Hari ini, sepulang sekolah, Ren, Rudy, Tyo, dan Devan tidak ke cafe, atau pulang seperti biasa. Mereka kini naik dalam mobil Harry, dalam perjalanan menuju rumah sakit. Harry ingin memeriksakan adiknya yang kini sering sakit kepala dan mendapat kilasan masa lalunya lagi. Jujur Harry cemas, takut Ren akan membencinya karena sudah meninggalkan Ren sekian tahun lamanya. Harry mengetuk pintu ruang bercat putih, membuat Rudy mendengus dan menggusur posisi Harry, lalu membuka cepat pintu tanpa permisi.
"DAAAD"
Brian di dalam sana hanya mendengus melihat tingkah sangat putra.
"Apa?" Brian pura-pura ketus, membuat bibir Rudy mengerucut.
"Ih galak banget" Gerutunya.
"Eh ada Ren sama Harry....trus ini siapa?temen Rudy ya? Ayo sini sini masuk"
Brian berdiri dan menghampiri saat melihat kepala-kepala yang menjulur di daun pintu. Mereka segera menjabat tangan Brian, serta Devan dan Tyo segera memperkenalkan diri, sementara Rudy sudah duduk manis di ranjang pasien.
"Jadi, kenapa ini?"
Tanya Brian setelah mereka semua duduk.
"Ren om, dia kan dulu pernah kecelakaan, lalu amnesia.."
Semua -kecuali Harry- melebarkan matanya, dan serempak menoleh ke arah Ren dengan pandangan tak percaya, sementara Ren yang duduk di sebelah Harry hanya menunduk.
"Nah, belakangan ini Ren sering sakit kepala, sepertinya dia mulai ingat sedikit-sedikit kejadian sebelum kecelakaan om...masalahnya, setiap Ren ingat, kayaknya sakitnya keterlaluan, kadang sampai lemes atau pingsan...gimana ya om?"
"Hmmm...Ren kecelakaan umur berapa?"
"Kayaknya umur 5 tahun..."
"Hmmm...om harus liat rekap medisnya dulu. Inget nggak, dulu Ren sama dokter siapa, rumah sakit mana, atau mungkin malah punya kontaknya?"
Harry menggeleng.
"Lupa om, tapi dulu ke rumah sakit ini kok om.."
Brian mengangguk.
"Yaudah, kalau gitu, nanti om cari dulu rekap medisnya. Sementara, kalau terlalu sakit dan ngga bisa tahan, atau sakitnya lebih dari 10 menit, minum obatnya ya. Kalau nggak sakit atau sakitnya masih bisa di tahan, gak usah di minum. Nanti om kasih obatnya. Paham?"
Harry dan Ren mengangguk.
"Ada keluhan lain nggak Ren? Masih sering sesek atau apa?"
Ren menggigit bibir. Menatap Brian ragu, lalu menggeleng pelan.
"Ren...jujur aja. Om Brian doang ini"
Ren menatap Harry ragu.
"Umm...pe-perut....da...da.."
Brian menatap Ren serius.
"Yang sebelah mana? Ayo tidur di kasur dulu"
Tyo, Devan, dan Ru yang bertengger di kasur sejak tadi otomatis menyingkir. Devan dan Rudy memilih ikut melihat pemeriksaan, sementara Tyo memilih duduk di sebelah Harry,mengamati dari jauh.
"Perutmu sakit di sebelah mana biasanya boy?"
Ren merotasikan mata panik, ragu apakah dia boleh menceritakan sakitnya seperti ini. Matanya bertemu dengan Harry yang kini mengangguk penuh keyakinan padanya, membuatnya bisa bernafas ringan.
"Um...sekitar...sini...kadang juga di sini"
Brian mengangguk, segera memeriksa Ren dengan serius. Ia mengerutkan alisnya beberapa kali. Tak berapa lama kemudian Brian menyudahi kegiatannya.
"Ren harus foto x-ray"
"Apa ada yang salah dengan ren om?" Harry bertanya cemas. Brian menggeleng.
"Tidak bisa di putuskan, ren harus x-ray dulu dan cek darah lengkap. Besok bisa? Karena Ren harus puasa dulu sebelum cek darah"
Ren menggeleng pelan.
"Re-ren...be-besok..ha-rus kerja..."
Brian dan Harry spontan menghela nafas menahan sabar.
"Ijin aja. Kalau perlu om yang ijinkan. Bosmu Aldo kan? Dia teman om"
Ren membulatkan matanya, mulutnya membentuk 'o'. Sangat lucu ekspresinya, membuat Rudy spontan mencubit pipi Ren gemas.
"AW! Ruuuu!" Ren merengek. Seisi ruangan tertawa.
"yaudah, kalau gitu besok ya cek nya, puasa makan minum 12 jam sebelum cek ya...ini suratnya, nanti kalau hasil ceknya sudah keluar, kalian ke sini lagi"
"Oke om, makasih ya"
Harry menjabat tangan Brian diikuti anak-anak lain, lalu beranjak pulang.
"Oiya, Harry!"
Harry memberi kode anak2 untuk lanjut berjalan sementara ia melangkah mendekati Brian yang sedang menuju ke arahnya.
"Ini, salep untuk lebam. Sekalian, om minta nomer kamu. Jaga adikmu baik2. Usahakan perutnya tidak terbentur atau terpukul, dan selalu makan tepat waktu ya"
Harry mengangguk. Raut wajahnya menjadi cemas. Brian tersenyum menenangkan.
"Jangan cemas, belum ada diagnosa. Berdoa ya"
Harry mengangguk, lantas pamit dan berjalan cepat menyusul adik2nya. Batinnya terus berdoa semoga Ren baik baik saja, pasalnya ia merasa ada yang tidak beres. Hatinya gelisah. Harry membuang nafasnya kasar, berusaha mengenyahkan pikiran negatif dari kepalanya. Ia harus terlihat baik-baik saja, agar Ren juga tidak kepikiran.
"Tadi kenapa kak?" Tyo bertanya mewakili teman2nya.
Harry menunjukkan cengirannya. "Resepnya ketinggalan, hehehehe"
Harry memutuskan menebus obatnya di apotik lain, mereka lupa menebus resepnya dan sudah malas masuk lagi. Harry memberikan obat yang di tebus nya pada Ren, di dalamnya sudah ada salep yang tadi Brian berikan.
"Kalian belum makan kan? Mau makan apa?"
Ren menarik pelan lengan baju kakaknya dan berbisik.
"Kak, Ren mau pulang aja, ini udah hampir jam 6, nanti ren di pukul...ren pamit ya?"
Harry segera menarik ren yang hendak membalikkan badan untuk berpamitan.
"Duduk. Kita makan. Ga ada yang akan mukul atau dipukul" Ujarnya pelan.
'Seram' Batin ren sambil bergidik lucu.
"Yaudah ini jadinya mau makan apa guys?"
Harry melirik spion melihat lucu anak-anak yang masih ribut.
"Terserah aja deh kak"
Harry memegang dagunya berfikir.
"Sushi, mau?"
"MAUUUUU"
"OKEEE KITA MAKAN SUSHI"
Keputusan itu mengundang teriakan semangat dari anak-anak di belakang..
.
.
.
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Ficção GeralMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...