Ren masih menyeret langkahnya dengan lemas menuju kelas. Tenaganya seolah habis setelah membersihkan gudang. Ia sudah bergerak secepat yang ia bisa, tapi semakin lama ia seolah bertambah lambat. Ia berdiri dengan ragu di depan pintu kelas nya, dengan badan bergetar, nafas memburu dan kedua netra berbeda warna miliknya meredup nanar. Ia merasa tubuhnya meremang dan pengelihatannya semakin kabur, punggung dan perutnya juga semakin perih. Dengan pelan ia mengetuk pintu kelasnya.
'Biarlah kalau aku memang harus dihukum. Aku memang salah' batinnya pasrah. Ia sedikit terkejut saat pintu terbuka, dan pak Jeffry memandangnya nyalang. Ren semakin ketakutan.
"Kenapa kau terlambat?"
Jeffry diam-diam memperhatikan nafas Ren yang memburu dan wajahnya yang pucat.
"Ma-maafkan saya..sa-saya..tadi membersihkan gudang.."
"Lalu apa itu mempengaruhi mu untu-HEI! REN!"
Jeffry dengan cepat menangkap tubuh Ren yang limbung, kehilangan kesadarannya. Kelas penuh dengan bisik-bisik, tapi tak ada seorangpun yang menolong Ren.
Ia mengindikasikan sesuatu yang tak beres di sini. Dengan cepat ia menelusup kan tangan nya untuk menyangga lutut dan leher muridnya itu dan menggendongnya. Sedikit terkejut karena ternyata anak didiknya ini sangat ringan, tidak seperti anak-anak seusianya yang lain.
"Diam! Jangan ribut! Kerjakan soal halaman 40. Semuanya. Kumpulkan ke ruangan saya setelah jam pelajaran saya berakhir"
Ia dapat mendengar berbagai protes dan decak sebal murid-murid nya yang lain, tapi ia cuek dan membawa Ren dalam gendongannya ke ruang kesehatan.
"Permisi?"
Ujarnya sambil melangkahkan kakinya masuk. Ia menidurkan Ren di sebuah ranjang dan menarik tirai. Tidak ada orang. Jeffry mendengus. Ia mengambil minyak angin dan mengoleskannya pada hidung,pelipis,dan leher Ren, menyelimutinya lalu mengambil sebuah bangku dan duduk di sebelah ranjang, memutuskan untuk menunggu Ren bangun.
"Oh, ada orang? Bapak? Selamat siang"
Seorang gadis manis berambut pirang panjang keemasan mendadak muncul dari luar. Jeff mengangguk singkat. Matanya melirik kerah gadis itu, warna biru. Artinya ia murid kelas satu, sama seperti Ren.
"Ya, selamat siang. Kenapa kau di sini?"
"Oh..saya mengikuti pelatihan medis, dan sudah ikut ujian verifikasi, jadi saya ikut bertugas jaga di UKS"
Jeff mengangguk lagi. Jadi ini murid yang terkenal di kalangan guru karena lolos ujian verifikasi di usia yang masih sangat muda dan berhasil menjadi asisten dokter. Matanya melirik name tag dari seragam khas medis miliknya, 'Ailyn Rez'.
"Dia pingsan"
Gadis manis itu mengangguk, lalu mengambil minyak angin di nakas.
"Tadi sudah bapak oleskan"
"Ah..baiklah.."
Aiyln membawa tangannya untuk menyentuh dahi Ren, kemudian sedikit terpekik karena kaget. Hanya sesaat, sebelum berubah tenang kembali.
"Ada apa?"
"Dia demam tinggi pak..suhunya tinggi sekali"
Aiyln menjelaskan sambil bergegas mengambil termometer. Jeff mengerutkan keningnya heran.
'Perasaan dia tidak apa-apa tadi'
Tangannya menyentuh kening Ren dan seketika matanya melebar kaget. Bagaimana bisa anak ini merapikan kelas dan gudang dalam kondisi seperti ini?
Aiyln kembali untuk sekedar membuka selimut dan menjepitkan termometer itu pada ketiak Ren, sebelum kembali sibuk menyiapkan baskom, air hangat dan kain untuk mengompres Ren.
Aiyln berdecak melihat angka pada termometer itu dan mulai mengompres dahi Ren dengan air hangat yang di bawanya.
"Umm..pak?"
Jeff menolehkan kepalanya dari buku yang di bacanya.
"Umm..itu..apa saya boleh minta tolong?"
Jeff mengangguk singkat.
"Bisa tolong jaga-"
Gadis itu melirik nametag Ren dengan cepat.
"Ren sebentar? Partner saya tidak masuk sekolah hari ini, dan saya harus membelikan Ren makanan untuknya saat sadar nanti"
Jeff berdiri.
"Biar bapak yang belikan"
"Eh? Jangan pak..biar saya saja. Bapak tolong jaga saja Ren sebentar..saya permisi dulu"
Ujarnya cepat sambil berlari kecil. Jeff mendengus dalam senyum melihat tingkah gadis yang di anggap lucu olehnya. Ia mendudukkan dirinya kembali dan mulai membaca, tapi tak lama kemudian suara erangan lirih membuatnya mengalihkan pandangan dari buku yang di bacanya.
Ren membuka matanya perlahan dan mengerjap. Ia tahu ini di ruang kesehatan, ia beberapa kali ke sini saat tidak kuat dengan kondisi tubuhnya, atau untuk sekedar diam-diam istirahat. Kepalanya pusing sekali dan tubuhnya terasa lemas. Ren menduga ia terserang demam lagi.
"Sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?"
Ren kaget dengan gerakan yang sedikit berlebihan di mata Jeff, dan langsung memaksakan dirinya bangun. Jeff menggeleng dan membantunya agar tetap berbaring.
"Berbaringlah. Sebentar lagi akan ada yang membawakan makanan dan obat. Bagaimana badanmu?"
"Uhh..umm..sa-saya ti-tidak apa-apa, te-terima kasih pak"
Ren menegang dalam baringnya. Ia sama sekali tidak boleh melewatkan pelajaran. Tidak barang beberapa menit pun. Ketinggalan pelajaran berarti ketinggalan materi dan penjelasan, berarti gagal dalam ujian, yang membuka kemungkinan pihak sekolah untuk memanggil orang tuanya -ayahnya- dan itu sama sekali tidak boleh terjadi. Ren sedikit tersedak hanya karena membayangkan hal itu, dan bangun kembali dengan gelisah.
"Ada apa?" Jeff terheran melihat tingkahnya yang melamun, lalu tiba-tiba tersedak kecil dan bangun dengan raut wajah mengkhawatirkan yang berusaha di sembunyikan.
"Uh..ti-tidak pak..ha-hanya saja..sa-saya tidak boleh me-melewatkan pelajaran..sa-saya ra-rasa sa-saya sudah me-melewatkan beberapa pelajaran..."
Jeff terdiam, membuat Ren kian panik. Ia takut membuat siapapun marah dan tersinggung.
"Mo-mohon maafkan sa-saya su-sudah mengacau di ke-kelas bapak...ta-tapi sa-saya ti-tidak bermaksud...ma-maaf.."
Ren semakin menunduk dalam. Tangannya diam-diam menekan perutnya yang semakin perih, dan nafasnya makin payah.
"Siapa yang mengacau? Ren, lihat bapak"
Ren tetap menundukkan kepalanya. Ia takut menatap orang lain. Ia tak boleh menatap orang lain.
Kepalanya terdongak saat tangan besar gurunya menangkup pipinya lembut. Ren tersentak. Ia sudah menyiapkan hatinya untuk menerima pukulan atau tamparan, tapi itu tak terjadi. Sepasang mata yang redup itu berusaha mengalihkan pandangan kemana pun, asal tidak pada netra biru di hadapannya.
"Ren, tenang. Lihat aku"
Jeff memutuskan untuk berbicara santai demi menghilangkan ketakutan Ren yang tak ia ketahui sebabnya. Ren berhenti memutar matanya gelisah dan mulai memusatkan pupilnya yang bergetar pada netra biru indah di hadapannya.
Jeff tersenyum begitu menyadari murid nya sudah tenang.
"Dengar Ren. Apa kau ada masalah? Bila kau punya masalah, kau bisa menceritakannya dengan bebas. Rahasiamu akan aman. Kau bisa menemuiku di ruanganku kapan saja. Oke?"
Ren mengangguk penuh terima kasih. Mungkin dia akan melakukannya kalau sudah menyerah dan berniat untuk mati.
"Kau juga boleh ijin kalau merasa sakit. Paham?"
Ren mengangguk patuh. Dalam hati ia meminta maaf karena tak akan melakukannya. Pintu ruang kesehatan terbuka bersamaan dengan senyum kecil aiyln.
"Hai, kau sudah bangun. Apa yang kau rasakan Ren?"
Ren menggeleng pelan.
"Apa kau pusing? Mual? Sakit perut? Katakan saja"
"U-uh..a-a-aku..tidak apa-apa"
Ren menggeleng gelisah. Demi apapun, ia paling anti dengan dokter, petugas kesehatan dan semuanya yang berkemungkinan untuk melepas bajunya dan mengetahui apa yang sudah terjadi.
"Ayolah. Atau kau mau ku periksa?" Gadis itu menaruh keresek di tangannya dan mendekat setelah menyambar stetoskopnya.
Ren mengerutkan dahinya. Periksa? Mereka itu sebaya! Mana mungkin..
"Percaya tidak percaya, aku ini asisten dokter tau! Dasar tidak sopan!"
"Ma-af..ba-bagaimana-"
"Kelihatan dari mukamu bodoh!" Gadis itu mendengus sebal, sementara Ren terheran-heran dengan sikapnya. Gadis di hadapannya ini, sangat aneh.
Gadis itu mendekat pada Ren dan mendorongnya pelan. Ren meronta, berusaha untuk membatalkan apapun niat gadis aneh di depannya ini. Dengan sigap gadis itu menekan suatu titik pada tubuhnya, membuatnya berjingkat kesakitan. Gadis itu mengangguk bangga. Ia membongkar kotak obat dan menyerahkan sebutir pada Ren.
"Ini, kunyah. KUNYAH"
Jeffry menahan tawanya saat melihat anak didiknya melotot memandang Ren yang hendak langsung menelan pil itu bersama air. Anak-anak ini sungguh menarik.
"Jadi, Bu dokter, dia sakit apa?"
"Saya belum dokter pak, eh, tapi amin deh, hehehe" Jeffry menggeleng heran.
"Yang jelas Ren demam, lalu dia punya maag, dan dilihat dari responnya tadi, sepertinya maagnya sudah akut."
Ren menelan obatnya.
"Kalau begitu, bapak tinggal dulu. Ailyn, tolong rawat Ren ya"
"Iya pak, terima kasih"
"Te-terima kasih"
"Sama-sama"
"Oh ya, kita belum berkenalan dengan benar kan? Aku aiyln, kelas X.A. Senang bertemu denganmu"
Aiyln mengulurkan tangannya setelah puas memandang punggung Jeffry yang menghilang dari pintu ruang kesehatan. Dengan ragu dan takut, Ren mengulurkan tangannya pelan yang langsung di sambar aiyln.
"Re-ren..kelas X.F..se-senang..ju-juga..berte-mu..denganmu.."
Ren menarik tangannya cepat tanpa menatap aiyln. Ia bahkan takut berkenalan. Ayahnya melarangnya berteman, lagi pula siapa yang mau berkenalan dengannya? Ia cuma iblis pembawa sial - setidaknya itu yang terus diajarkan ayah padanya- .
"Oke Ren, mulai hari ini, kita berteman ya!"
Ren tertegun. Teman? Ada yang mengajaknya berteman? Tapi-tapi..dia kan...iblis...Tapi..dia tidak boleh membantah. Semua adalah perintah untuknya...
Ren bingung, jadi dia hanya menunduk dalam tanpa menjawab ajakan aiyln.
"Nah, ini, makanlah. Aku sudah membelikanmu makan"
Ren tertegun lagi. Makan? Apa dia boleh makan? Bukannya dia sedang di hukum?
"Bo-boleh..kah?"
Aiyln mengangguk mantap.
"Ta-tapi..re-ren..tidak..pu-punya uang.."
Aiyln memutar matanya saat Ren memandang bungkusan itu penuh harap.
"Sudah! Makan saja! Ini fasilitas ruang kesehatan hahahaha"
Aiyln membuka bungkusan itu dan menyerahkannya pada Ren.
"Ini, cepat makan"
Ren menerima bungkusan itu dengan haru. Selama ini, tidak ada yang memberinya makan selain para pelayan dan kakaknya. Sekarang, gadis ajaib ini menyuruhnya makan? Ia lapar, sangat lapar. Sudah seharian dia tidak makan. Baru sesendok dia makan, perutnya terasa sangat mual, dia nyaris saja memuntahkan kembali makanannya.
"Apa kau mual?"
Ren mengangguk pelan.
"Humm..sepertinya obatnya masih belum bereaksi. Kau harus menunggu kurang lebih setengah jam, baru bisa makan"
Ren melotot, dengan cepat ia duduk walaupun itu membuatnya pusing setengah mati.
"Uhhh..ma-maaf..ta-tapi a-aku harus ke-kembali ke kelas.."
"He? Tapi kau masih demam Ren! Istirahat saja!"
Ren menggeleng sambil beranjak berdiri.
"Kalau begitu, ini, bawalah, kau bisa memakannya saat istirahat nanti, lalu ini obat kalau maag mu kambuh, dan ini obat demam, minum 3x sehari setelah makan. Kau harus meminumnya dengan teratur. Aku memberikannya untuk 3 hari ke depan. Paham?"
Ren mengangguk. Walaupun ia tahu ia tak akan pernah minum obat itu dengan teratur. Bisa makan saja dia bersyukur..
"Terima kasih bantuannya"
"Sama-sama"
Aiyln mengernyit melihat cara jalan Ren. 'cacat' batinnya. Lagipula, ia merasa Ren sangat suram. Aiyln menggeleng dan kembali ke ruangannya, mengabaikan Ren yang sudah keluar untuk menuju kelasnya.
.
.
.
To be continueAuthor's notes
Jeng jeng...maaf udah lama ga publish TvT kali ini lebih panjang, semoga puas! Ternyata, Jeffry ga sedingin itu ya 😂 setelah galau mau bikin Jeffry dingin atau engga, menurut mood yang bagai roller coaster akhirnya terketik bahwaaaa Jeffry ini keras di luar leleh di dalam kayak wafer coklat #eeeh..
Semoga kalian puas sama chapter ini, makasih banyak buat semua yang udah comment, like, vote, dan kalian para silent reader..MAKASIII
KALAU BERKENAN, AUTHOR SENENG BANGET KALAU KALIAN MAU TINGGALIN JEJAK KALIAN.. 1 LIKE, VOTE, DAN DUKUNGAN KALIAN SANGAT BERHARGA 😘😘
SAMPAI KETEMU DI NEXT CHAPTER YA 😘
Salam cinta
Grey 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
General FictionMaaf. Maaf sudah lahir ke dunia. Maaf sudah membuat ayah malu Maaf sudah membuat ibu tiada Maaf sudah membuat kakak cacat. Maaf sudah merebut semua kebahagiaan kalian Maaf sudah membawa kesialan Dalam keluarga ini Maaf...Karena aku sudah mencintai k...