23

161 9 4
                                    

Ren mengernyit saat kembali merasa sakit pada perutnya. Ia membuka laci yang menjadi ganti dari kotak P3K, dan mendengus saat obat maag yang biasa dibelikan kakaknya tidak ada disana. Ia memang tidak tahu itu maag atau bukan, tapi setahunya, kalau ia sakit perut, ia harus minum itu. Ia berdiri, memutuskan untuk mengetuk kamar sebelah. Tangannya meremas perut kanannya dan mendesis. Perih. Tangannya mengetuk lagi, dan tak lama kemudian wajah Harry menyembul dari balik pintu.
"Oh Ren...Eh? Hey....are you okay ren? Sakit?"
Tanyanya cemas saat melihat ren berdiri di depan pintu sambil menggigit bibir dan meremas perut.
Tangannya cepat membimbing adiknya untuk duduk bersandar di kasur, sementara tangannya dengan cepat mengambil tissue, menyeka keringat dingin yang mengalir pada wajah adiknya.
"Ren sakit perut? Rasanya gimana? Tadi udah makan siang?"
Ren mengangguk ragu.
"....tadi belum makan siang...obat di kamar...habis...maaf.."
Harry mengacak rambut adiknya. Ia senang karena ren sudah mulai menepati janjinya, untuk mencoba terbuka padanya. Berusaha untuk tidak menyembunyikan sakitnya. Setidaknya, sekarang adiknya itu sudah berani meminta obat padanya saat persediaan di kamarnya habis.
Harry beranjak mengambil obat, lalu menekan interkom untuk membawakan bubur, tapi tangan ren mencekal nya.
"Kak...mau apa?"
"Minta makan lah. Ren belum makan kan?"
Ren menggeleng ribut.
"Ja-jangan..."
Harry mendengus.
"Kenapa? Takut ayah marah?"
Ren mengangguk ragu.
"Ren...ren kan gak boleh makan...kalau bukan ayah yang kasih...ka-kalau makan...na-nanti...ayah marah"
Harry menggertakkan giginya tanpa sadar. Kali ini ia benar-benar mengakui, ayahnya sudah keterlaluan. Bagaimana bisa ayahnya memberi peraturan seperti itu? Sedangkan ia dan ayahnya sudah di kantor dari kemarin pagi, bahkan sore ini hanya ia yang pulang, sementara ayahnya masih sibuk di kantor. Tunggu! Jangan bilang....
"Ren"
"Iya?"
Ren mulai menelan ludah saat melihat ekspresi gelap kakaknya.
"Kamu....kapan terakhir kali makan?"
Ren menggigit bibir, mengingat.
"Emm...malam kemarin lusa ..."
Harry melebarkan matanya. Ia sangat ingin membanting sesuatu, tapi ia berusaha keras tidak melakukannya. Tangannya dengan cepat menggendong ren.
"Eh? Kakak?"
"Hmm"
Ren menahan diri untuk tidak bertanya. Ingat, dia tidak boleh tanya, tidak boleh membantah. Harry menghela nafas, berusaha mengendalikan emosinya.
Sambil terus berjalan, ia menatap sebentar muka adiknya yang terlihat ragu.
"Hmmm. Mau tanya apa?"
Ren memandang mata Harry sejenak, lantas menggeleng ragu.
"Kalau mau tanya, tanya aja. Belajar berani ren. Awas kepala"
Ren menggigit bibirnya pelan dan menurut saja saat kakaknya memasukkannya dengan hati-hati ke mobil.
"Jadi? Mau tanya apa?"
Harry mengemudikan mobilnya keluar kompleks perumahan dengan kecepatan yang cenderung tinggi. Adiknya terlihat pucat, dan ia khawatir.
"Ki-kita...mau...ke ma-na?" Ren bertanya ragu, kepalanya menunduk. Harry meliriknya sekilas, lalu mendengus.
"Ke rumah sakit...mau kemana lagi?"
Ren spontan mendongak, matanya membola, kepalanya menggeleng cepat.
"Ja-jangan...kak, please dont. Jangan ke sana...please"
"No no. You're sick. You need helps. Ill took the risk for you, just stay there and think for yourself toutou"
Ren membuka tutup mulutnya, ingin membantah, namun tak berani. Akhirnya dia hanya diam, menurut. Pasrah.
"Come"
Ren hanya menurut saat kakaknya mulai menggendongnya di punggung. Sesaat kemudian, infus laknat yang paling dibencinya sudah tertanam manis pada punggung tangannya. Ia di suntik sesuatu lagi, sebelum akhirnya di bawa ke kamar rawat. Tubuhnya terasa lemas bukan main, tapi mual dan perih yang dirasakannya semenjak kemarin sudah mulai reda, bahkan kantuk mulai menghampiri nya.
"Ren tidur ya. Kata dokter kamu harus opname"
Ren melotot kaget. Yang benar saja. Bolos???bisa mati betulan dia nanti.
Ren menggeleng cepat. Ketakutan mulai menjalar hanya dengan membayangkan wajah ayahnya.
"Ja-jangan! Ren! Ren ha-harus sekolah....ren mau pulang!"
Dalam ketakutan ia berusaha melepas paksa infus, tapi harry dengan cepat memencet tombol emergency dan menghalangi ren.
"Hey hey hey. Calm down toutou, calm" Rain mulai terisak.
"Pu-pulang...please..." Ia takut, dan ia lepas kendali sekarang. Terakhir ia tak masuk sekolah karena sakit, ayahnya....Ren bergidik hanya dengan membayangkannya. Entah kekuatan dari mana ia berhasil mencabut paksa infus nya, lalu menerobos kakaknya begitu saja dan tertatih berlari keluar, menghiraukan teriakan dan suara langkah kaki Harry yang mengejarnya. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Tiap langkahnya bergetar, Ren menggigil. Air mata menggenang sudah, siap tumpah. Ren tersentak, makin bergetar saat merasakan cengkraman di bahunya.
"Tung-!"
"Aaaahhh!!ti-tidak...ja-jangan...hiks..."
Mata Harry membulat melihat reaksi ren.
"Ren? Hey...ini kakak"
Ren berontak. Harry hanya bisa mendekap erat adiknya sampai kemudian dokter menyusul dan menyuntikkan obat penenang. Mereka lekas memindahkan ren ke bangsal, memasang kembali infus di sisi tangan yang lain. Harry duduk di samping ranjang. Kepalanya mendongak, berusaha menghalau air matanya jatuh sembari tangannya menggenggam lembut tangan Ren. Adiknya kenapa lagi? Pikirnya miris. Jelas adik ya ada masalah dengan...kejiwaannya. Mungkin mentalnya terguncang, ia tak tau, ia bukan ahli psikologi. Tapi sikap adiknya, sangat tak wajar. Ketakutan yang sangat berlebihan. Harry menunduk, menatap wajah damai Ren yang tertidur. Meletakkan pipinya pada pipi adik nya, yang sudah ditelantarkannya sekian tahun. Rasa bersalah menyeruak. Mendesak air matanya untuk jatuh. Secara tak langsung....ini salahnya.

To be continueeeee

Thanks a lot for your vote, comment, and your time to read this story 😁

Sorry grey lama update nya 🥲
Jangan lupa jejaknya 😘

Salam
Greydys

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang