Satu

608 28 0
                                    

Ren berjalan tergesa menuju kelasnya. Bel masuk sudah berbunyi. Bunyi kruk nya menggema. Ia tak merutuk. Sama sekali tak merutuk kalau ia akan terlambat. Kakaknya sudah berusaha sebaik mungkin mengurusnya tadi. Ia hanya berusaha secepat mungkin berjalan ke kelasnya yang ada di ujung, dan sialnya matanya menangkap sesosok guru pria muda yang hendak menuju kelasnya. Ren menelan ludahnya gugup. Itu adalah guru killer yang sama sekali tak menolerir ketidak-disiplin-an, tentu saja terlambat adalah satu diantaranya.
Bruk
Ren terjatuh keras saat ia di tabrak dari belakang. Siswa yang menabraknya malah mendecak, dan melanjutkan larinya secepat mungkin ke kelas.
"Uhh"
Ren berusaha bangkit. Celakanya tangan kanan nya terkilir akibat ulah ayahnya tadi. Dan sekarang tabrakan ini membuat kakinya ikut terkilir, sepertinya. Oke, dia masih bisa menahannya. Ini tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pukulan ayahnya.
"Kamu tidak apa? Sini, saya bantu kamu berdiri"
Ren tertegun. Itu adalah guru killer yang dihindarinya setengah mati.
"Kenapa? Sakit?"
Tanyanya mengerutkan kening saat ren tak kunjung membalas uluran tangannya. Ren tercenung. Apa gurunya itu mengulurkan tangannya? Bukannya dia iblis? Tidak ada yang mau menyentuhnya selain kakaknya dan beberapa pelayannya. Tapi kenapa-
"Hei?"
"Ah..maaf..ti-dak...saya baik baik saja, terima kasih"
Ujarnya sambil takut-takut menerima uluran tangan guru itu.
"Akh!"
Pekik nya kecil, merasakan pergelangan kakinya sakit saat mencoba berdiri.
"Kenapa? Kakimu sakit?"
"A..ti-tidak pak.."
"Ck. Ya sudah ayo ke kelas. Kamu sudah terlambat!"
Ujarnya sambil menatap Ren tajam dan membantu Ren bangun. Apapun yang terjadi anak ini tetap salah, tetap terlambat. Ren meringsut takut. "I-iya..terima kasih"
Ren berusaha berjalan biasa secepat mungkin. Guru itu berjalan di sampingnya. Dan ketika pintu di buka, semua murid bungkam. Ren berjalan menuju tempatnya sambil menunduk. Kebiasaan nya sedari kecil. Ia tak pernah berani menatap sekitar. Takut semua yang memandangnya jadi benci padanya. Ia takut mengganggu orang-orang karena melihat wajahnya, seperti ayahnya yang selalu terganggu jika melihatnya. Takut orang-orang yang melihatnya akan memukulnya, seperti ayahnya yang juga akan memukulnya setiap dia menampakkan diri di depan mata ayahnya. Langkahnya selalu pelan dan gemetar.
Sesudah ren duduk di tempatnya, guru itu membuka suara yang membuatnya makin ketakutan.
"Ren dan Wibi. Kalian terlambat. Nanti pulang sekolah, silakan ke kantor saya"
"Tapi pak Jef, saya-"
"Wibisono!Tidak ada tapi!" Bentak Jefry -nama guru muda itu- keras.
Anak pindahan dari Indonesia itu merengut.
"Cie elah. Bakal seruangan sama si iblis nyasar nih"
"Damn! Shut your mouth off Darlen!" Desisnya pada teman karib sebangkunya itu. Yang ditatap hanya cekikikan tanpa terpengaruh aura menyeramkan temannya dari negara tetangga itu. Sementara teman-temannya cekikikan melihat tingkah wibi dan darlen, Ren diam di tempatnya dengan wajah pucatnya, berusaha menetralkan detak jantung yang dirasanya hampir melompat saat Jefry membentak Wibi tadi.
.
.
.
.
Bel istirahat berbunyi. Hari terasa panjang bagi Ren. Entah kenapa ia merasa kepalanya agak berat. Ia juga merasa agak sesak, nafasnya terasa agak berat. Ia mengehela nafas panjang untuk melegakan rongga dadanya.
BRAK
"Heh devil! Follow me!"
Ren diam-diam meneguk ludahnya. Ia mengambil kruknya, lalu mengikuti Wendy yang berjalan cepat di depannya. Ia harus menurut. Kalau tidak menuruti perintah, dia akan di hajar. Itu yamg selalu ayahnya sentakkan kepadanya.
Wendy ternyata membawanya ke tengah lapangan. Di sana sudah ada Wibi. Ren terkesiap saat seseorang di belakangnya mendorong punggungnya kasar ke arah Wibi sampai membuatnya terjatuh.
DUAK!
"!!!!!"
Ren terbelalak dan langsung meringkuk kesakitan saat Wibi menendang perutnya keras.
"Hehe. Sialan loe!" Ren mengerutkan keningnya. Wibi berbicara dalam bahasa yang tak dimengertinya.
"Gara2 kamu, aku kena sial! Dasar destroyer! Iblis! Dar!wen! Hold him!"
Lapangan mulai ramai. Letaknya yang di depan kantin persis dan bangunan sekolah yang membentuk segiempat membuat hampir semua warga sekolah melihat kejadian itu.
Daren dan wendy menegapkan tubuh Ren dan mengapitnya dari kedua sisi, sementara Wibi tersenyum puas di depannya.
Tinju wibi tiba tiba saja mengenai pipinya, membuat sudut mulutnya kembali robek.
Ren menahan rintihannya. Kepalanya bertambah berat dan pusing. Ia hanya bisa menahan semua rintihan yang hendak keluar saat Wibi meninju dan menyodok perutnya menggunakan lututnya berkali-kali. Ia dapat mendengar suara tawa beberapa temannya. Bahkan mereka yang menonton banyak yang bersorak, meminta wibi menghajarnya lebih keras. Ia mulai tak bisa menahan sakitnya. Air matanya mulai turun, meskipun ayahnya melarangnya menangis. Daren tertawa, lalu mendorong kasar Ren hingga tersungkur.
"Wibi, because of you, aku terpaksa menyentuh iblis menjijikkan ini. Kalau sampai aku kena sial..."
Daren menendang pinggangnya kencang, membuat Ren terpekik.
"Kau harus membantuku menghajar iblis ini!"
Wibi tertawa sambil menyanggupi permintaan sahabatnya itu. Ren hanya terdiam di sana. Seluruh badannya menjerit kesakitan. Kenapa dia di perlakukan begini? Apa salahnya? Apa dia benar-benar iblis? Kalau begitu, apa ayah dan kakak nya juga iblis? Ia memang selalu mendengar ayahnya mengumpat dia dengan sebutan iblis seperti teman-teman nya. Ren bingung, dan sedih. Ia juga ingin punya teman. Ia juga ingin bermain. Tapi kalau memang dia iblis dan membahayakan, maka dia akan menjauh. Ia menahan isak tangisnya. Berusaha bangkit dengan kekuatannya sendiri. Dan disadarinya lapangan sudah sepi. Teman-temannya sudah membubarkan diri tanpa memperdulikannya.
"Ukh!" Ren kembali merintih. Perutnya sakit, sakit sekali. Setiap ia bergerak, perutnya sakit. Ia berusaha meraih kedua kruknya yang berada agak jauh darinya. Ia menyeret tubuhnya. Sedikit lagi...dan berhasil. Sekuat tenaga dia mencoba berdiri dengan bantuan kruknya, tapi tangan dan kakinya yang terkilir sangat menyulitkannya. Setelah perjuangan yang hebat, ia berhasil berdiri, dan dengan tertatih kembali ke kelasnya karena bel masuk baru saja berbunyi. Ia dapat mendengar dan merasakan bisikan bisikan dan tatapan kebencian yang di layangkan teman temannya kepadanya. Sudah biasa. Ia mencoba acuh, mencoba tidak peduli. Ia hanya perlu ke kelasnya,dan duduk manis menunggu bel pulang berbunyi.
.
.
.
To be continue

Gimana-gimana? Hahahahha
Maaf karena lelet update nya ya :') untuk menambal rasa penasaran kalian, chapter ini di buat agak panjang, dan adegan nya di perjelas...wahahahaha.

Thank you buat semua yang udah comment dan vote. Love you guys :*

Grey mohon saran-saran nya jika ada dan berkenan ^^
Kalau mau vote, grey akan sangat berterima kasih.
Thankyou juga buat yang udah mau baca :)

See youuu
.
.
.
Grey.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang