Enam

453 22 4
                                    

Ren mengucek matanya perlahan. Pemandangan lucu bagi Harry yang baru saja mengusik tidur adiknya.
"Bangun toutou. Kau harus sekolah"
Ren mengangguk dalam tidur tengkurapnya. Matanya berat sekali, semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Kepalanya terasa lebih pening daripada kemarin, dadanya sakit dan sesak karena tidur dalam posisi tertelungkup, tapi ia juga tak bisa tidur terlentang kalau tak mau punggungnya semakin sakit. Punggungnya ternyata lecet dan berdarah di mana-mana, dan kini sedikit membengkak.
"Bagaimana keadaanmu? Kalau sakit, tidak usah masuk sekolah"
Harry baru ingat kalau punggung ren terluka saat matanya menangkap lilitan perban di balik baju Ren yang sedikit tersingkap.
Ren menggeleng pelan, lalu berusaha bangun, membawa kakinya beranjak ke kamar mandi dengan wajah pucat yang masih setengah sadar. Harry mendengus lucu, dan sesaat kemudian terperajat kaget saat teriakan ren terdengar keras dari dalam kamar mandi. Spontan pemuda itu berlari dan mengetuk pintu kamar mandi keras.
"REN! KENAPA? BUKA PINTU NYA REN!"
"Ti-tdak apa kak"
"Benar?"
"Iya"
Harry menghembuskan nafasnya lega. Sementara di dalam kamar mandi Ren meringis kesakitan sambil merutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia mengguyur tubuhnya sendiri dengan air dingin tanpa persiapan. Belum lagi luka-lukanya langsung terasa perih. Akhirnya ia membasuh dirinya pelan-pelan, lalu memakai celananya dan keluar. Ia tersenyum kecut sambil menggaruk belakang kepalanya saat matanya bertemu dengan mata obsidian kakaknya, dengan cepat ia mengalihkan pandangannya.
"Tadi kenapa?"
"Tadi lupa kalau airnya dingin. Kaget"
Harry mendengus sambil menggunakan kata 'ceroboh'. Tangannya memberi isyarat Ren untuk duduk dan kemudian tanpa kata mengobati dan membalut luka adiknya dengan perban.
"Kau benar mau sekolah? Kalau sakit tak usah sekolah. Kakak akan ijinkan"
Ren menggeleng sambil sesekali meringis perih.
"Re-ren..mau sekolah..."
"Kalau sakit, tidak perlu masuk Ren. It's okay"
Ren menggeleng lagi.
"Ja-jangan...Re-ren...Ren..harus sekolah! Ren tidak apa-apa"
Mengalah, Harry mengangguk. Menyuruh adiknya bersiap cepat sebelum terlambat sekolah.
.
.
.
Ren mengernyit sakit saat ia memaksa tangannya untuk bergerak, mengganti seragamnya dengan pakaian olahraganya. Punggungnya benar-benar perih dan berdenyut. Hatinya sekilas meradang mengingat bagaimana ia mendapatkan luka luka itu. Tubuhnya menegang saat telinganya menangkap langkah kaki terseret. Siapa? Seharusnya ini bagian ruang ganti yang tak akan di datangi para siswa karena tersembunyi di pojok belakang ruangan. Ia merintih pelan saat memakai bajunya dengan kasar dan cepat. Tidak boleh ada yang tau hal ini. Sama sekali tidak boleh.

"Heh demon!"
Ren tercekat saat mendengar suara itu. Tidak. Wibi. Tubuhnya belum siap menerima tekanan lagi.  Walaupun selalu mendapat tekanan, Ren berharap paling tidak mereka memberinya istirahat. Setidaknya agar tubuhnya lebih siap dan lebih bisa bertahan. Benar saja, sedetik kemudian Wibi sudah mencengkram kerah Ren dan membenturkan punggung Ren dengan keras pada dinding loker di belakangnya. Mulut Ren terbuka lebar tanpa suara. Matanya mengernyit, dan suara benturan itu membuat telinganya berdengung. Wibi tersenyum puas.
"Ah..ternyata seorang Crawd bisa berekspresi begini juga.."
Ren berusaha menahan raut muka dan rintihannya, menahan sakit di punggungnya yang tergesek-gesek kasar dengan loker di belakangnya. Permukaan loker yang timbul tak rata menambah beban sakitnya. Punggungnya terasa lembab dan sedikit  basah, dan ia berani bertaruh itu adalah darah dari lukanya. Mulutnya terbatuk saat perutnya menerima bogem mentah dari wibi. Tubuhnya merosot, dan tendangan-tendangan lain segera menyusul mengenai seluruh tubuhnya. Darah sudah mengalir dari hidung dan mulutnya. Kepalanya pening dan perutnya sakit bukan main. Ini sudah hampir tengah hari dan ia kembali melewatkan jatah makannya dari kemarin siang karena hukumannya. Mana berani ia minta makan. Tak lama kemudian Darren datang. Ren mendengus pasrah. Ini bukan hal yang baik. Benar saja, setelah menyapa sahabatnya, anak bertubuh kekar itu segera lompat menduduki perut Ren yang terlentang, memukulnya berkali-kali disana sembari tertawa. Ini tidak lucu sama sekali. Nafasnya tercekat dan sesak. Ia merasa makin pusing, dan nyaris berteriak saat tangan kekar Darren meninju rusuknya keras. Tak bisa menahan jeritannya, Ren berteriak tercekat, meringkuk sementara mereka tertawa terbahak-bahak. Darren menendang mukanya.
"Diam kau" desisnya berbahaya.
"Ini akibatnya kau mengadu pada pak Jeffry sialan!"
Ren membisu. Rusuknya terasa nyeri sampai ia tak mampu berkata-kata. Tapi demi apapun juga, ia tak mengadu. Ia tak pernah mengadu. Ia mulai merintih saat kembali merasakan tendangan di sekitar perutnya.
"Cepat minta maaf!"
"UGH! Ma...ma..af.."
DUAGH
Ren hanya bisa mengerang saat Darren menendang perutnya, dan kini tepat pada maagnya. Ia mengerang pelan, merasa sakit sampai tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Badannya hancur. Ia tak kuat lagi. Ia belum sempat pulih dari semua lukanya. Tidak bisakah orang-orang ini memberinya istirahat sebentar? Ren masih sibuk menahan sakit sampai tak sadar bahwa kedua temannya itu sudah pergi meninggalkannya. Ia terbatuk, dan terkejut saat tangannya berbercak merah. Ia berusaha berdiri dengan susah payah. Seluruh tubuhnya terasa hancur dan ia masih harus membersihkan kelas dan gudang. Kompensasi untuknya karena ia tak ikut pelajaran olahraga. Tak pernah ia memanipulasi. Semua pekerjaan ia selesaikan dengan benar. Karena ia terbiasa untuk itu. Karena dirumah, badannya bisa remuk hanya karena berbuat sedikit saja kesalahan. Ia hanya takut orang-orang menghajarnya kalau ia tak becus melakukan sesuatu, seperti yang ayahnya lakukan. Ia berhasil bangkit, tapi baru selangkah, ia terjatuh kembali. Kepalanya berputar dan semua tubuhnya sakit. Punggungnya berdenyut tiada henti, rusuk dan perutnya juga masih sakit. Mencoba bangkit kembali dengan susah payah, dan berhasil. Tangan kanannya bertumpu pada dinding loker sementara tangan kirinya memegang rusuknya yang nyeri. Ia memaksakan dirinya berjalan menuju toilet, membersihkan wajah nya dari segala jejak kekerasan. Ia sama sekali tak boleh ketahuan. Setelahnya ia berusaha berjalan senormal mungkin untuk membersihkan kelasnya. Dan nyatanya membersihkan kelasnya sangat memakan tenaganya. Tentu saja,berdiri saja susah. Ia benar-benar harus memaksakan dirinya. Badannya tiba-tiba limbung dan ia nyaris saja jatuh kalau tangannya tak  cekatan meraih ujung meja. Ia menghela nafas. Nafasnya terasa berat sekali, dan sial nya perutnya masih saja nyeri. Ia menyeka wajahnya yang di penuhi peluh. Bukan karena ia membersihkan kelas, tapi karena memang keadaannya yang jauh dari kata baik. Punggung penuh luka, kelaparan, perut nyeri, dan tubuh penuh memar. Ia merasa kepalanya yang pening makin menjadi. Ia melihat jam di kelas, dan ia masih punya waktu sekitar 1 jam untuk membersihkan gudang. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak saat langkahnya kembali limbung. Ia mencoba mengabaikan perutnya yang perih, dan membawa dirinya menuju gudang setelah sebelumnya mengisi perutnya banyak-banyak dengan air di halaman belakang. Ia membuang nafasnya saat kakinya sampai di gudang. Berantakan sekali... Ia menggulung lengan panjangnya dan mulai menata gudang dengan sepenuh hati. Tak terasa, bel berbunyi. Ren panik, pekerjaannya belum selesai, dan pelajaran berikutnya adalah pelajaran pak Jeffry. Oh ayolah, baru 2 hari lalu ia dihukum karena terlambat. Ia bisa dalam masalah kalau melakukan kesalahan lagi. Ia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan membawa langkahnya secepat mungkin menuju kelas.
.

.

.
To be continue

Terima kasih untuk semua yang sudah membaca, maaf lama ga publish 😂 kalau berkenan tolong tinggalkan jejak, masukan dan komentar yang membangun. Mungkin ada usulan untuk cerita ini? See you on next chapter 🤗

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang