Tigabelas

274 10 2
                                    

Ren memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang ia dapatkan. Damai. Ia sangat suka suasana di pagi hari. Ia sangat menyukai saat-saat dimana ia bisa tenang tanpa teriakan, tanpa cacian, atau tanpa pukulan. Walaupun hanya sesaat, tapi setidaknya itu bisa menghiburnya, walau sedikit. Setiap pagi, sesakit apapun, ia akan bangun pukul 4 pagi untuk menyambut mentari, kecuali bila tubuhnya tak mampu melakukannya.
Rudy menggeliat, dahinya mengerut melihat Ren sudah berdiri di balkon kamarnya, padahal jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Ia saja masih mengantuk, mengingat kemarin mereka tidur larut malam.
"Ren?" Rudy melangkahkan kakinya mendekati Ren, menepuk pundak sahabatnya saat merasa panggilannya tak sampai pada indra pendengaran 'adik' nya itu.
"I-iya?"
"Kok udah bangun? Lu kan sakit, istirahat aja lagi."
Ren tersenyum kecil.
"Kebiasaan"
Ren menengok jam dinding,melotot saat melihat jam menunjukkan pukul 6. Dia terlambat menyiapkan sarapan.
Segera ia mendorong infusnya ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, sudah terlalu terlambat untuk mandi. Dengan cepat ia menuju pintu kamar.
"Lah, Ren, mau kemana sih? Kenapa buru-buru?"
"Bantu siapin sarapan..maaf telat...tadi keterusan di balkon.."
Ren mulai menunduk.
"Hah? Nyiapin sarapan? Ngapain? Udah ada pelayan, di sini aja, ntar juga di panggil. Sini deh, tidur lagi"
Ren melongo. Oh, jadi dia tidak perlu menyiapkan sarapan? Padahal di rumahnya, setiap hari Ren harus menyiapkan sarapan, karena para pelayan baru datang pukul 8 pagi, sedangkan sarapan harus siap pukul 6, atau paling lambat pukul 7 pagi. Biasanya, saat Ren tidak bangun, atau sakit, Shizu atau Sui sering diam-diam menggantikan Ren membuat sarapan untuk keluarga dan untuk mereka bertiga. Ia kira itu kewajiban semua anak, pantas saja kakaknya tidak pernah ada di dapur bersama nya saat membuat sarapan.
Ren menggelengkan kepalanya seperti orang bodoh.
"Ja-jadi, tidak perlu menyiapkan sarapan?"
Rudy menghela nafasnya.
"Tidak perlu Ren. Kau duduk saja, nanti aku minta makanan kita di antarkan. Atau kau mau makan bersama di meja makan?"
Ren menggeleng.
"A-a-ku boleh sarapan? Di me-meja...makan?"
Kening rudy makin berkerut, curiga.
"Tentu saja boleh. Memangnya biasanya di rumah mu tidak boleh?"
Skakmat.
'Ren bodoh!'
"Umm..ti-tidak..a-anu..i-itu-"
Tok tok tok
Ren menghembuskan nafasnya lega sembari mengikuti Rudy membuka pintu kamarnya.
"Tuan muda, sarapan sudah siap, nyonya dan tuan sudah menunggu di bawah"
"Hm. Tolong bilang aku tidak ikut sarapan, tolong antar saja ke kamar"
"Tu-tunggu! Ru, ki-kita makan di ba-wah ya?"
"Kau kuat?"
Ren mengangguk.
"Baiklah, kau boleh pergi"
Pelayan itu mengangguk hormat sebelum melangkahkan kakinya kembali untuk melakukan tugasnya kembali.
"Tunggu bentar, gua cuci muka dulu"
Ren mengangguk patuh. Tak lama berselang Rudy sudah kembali dengan tampilan yang lebih rapi.
"Yuk. Pelan-pelan"
Dengan perlahan Rudy menuntun Ren menuruni anak tangga.
"Good morning ma,pa"
"Se-selamat pagi, paman, bibi"
"Pagi"
"Loh, Ren? Kenapa ikut turun?Sudah sehat?" Rena berdiri, mengelus rambut Ren sayang. Ren mengangguk sambil tersenyum kecil, setengah merinding sebenarnya, pasalnya ia tidak pernah dielus seperti itu.
"Yaudah, ayo duduk dulu, sarapan"
Brian mulai menurunkan koran yang di bacanya dan mulai mengoleskan roti. Matanya melirik botol infus yang sedang tergantung, sementara anak itu sedang mencoba duduk dimeja makan dengan sikap canggung yang menurutnya sedikit berlebihan.
"Hmm..ren, habis makan, ikut paman ke ruang praktek ya. Infusmu harus di ganti, sudah mau habis"
"Baik.."
"Ren nanti menginap lagi ya?"
Rena menatap ren dengan khawatir. Ren menggeleng.
"Ma-maaf bi..Re-Ren harus pulang, nanti kakak akan menjemput"
" Tapi kan kamu belum sembuh benar sayang...mukamu masih pucat itu"
Rudy mengangguk setuju dengan mulut penuh roti.
"Ren sudah tidak apa-apa paman, bibi, Rudy..Ren harus pulang...karena hari ini papa baru pulang, Ren takut papa khawatir nanti.."
Papanya? Khawatir? Dalam mimpi!
"Yasudah..nanti Ren dijemput jam berapa?"
"Mu-mungkin sekitar jam 4 paman"
Brian mengangguk lagi.
"Yasudah. Ren sudah selesai makan?" Tanyanya saat melihat Ren selesai meminum susunya.
Ren mengangguk, lalu mengikuti Brian yang sudah berjalan di depannya. Rudy dan Rena ikut di belakang mereka.
"Loh. Sayang, kenapa ikut? Ru juga, ngapain?"
"Gapapa sayang, cuma pengen liat aja, hehehe. Lagian kan sekian"
"Yaudah deh, yuk. Liat deh, yang sakit satu, bodyguard nya tiga" Brian dan Rudy tergelak, Rena tekikik kecil dan Ren mengembangkan senyumnya. Hangat. Sungguh, betapa bahagianya ia di sini, dengan berbagai ekspresi dan perhatian yang bisa ia lihat dan rasakan.
Setibanya di ruang praktek, tampak beberapa orang sudah mengantri di ruang tunggu. Rena dan Brian memasang jas dokter mereka. Ren menatap mereka kagum.
"Kenapa lihat-lihat paman begitu? Ganteng ya?"
"Idih papa! Inget umur dong!"
"Ih, biarin lah! Emang ganteng kok, iya kan sayang?"
"....yaiya sih"
Brian menatap Rudy penuh kemenangan.
"Yaudah, Ren, kamu tidur dulu ya, paman mau ganti infus kamu"
Ren mengangguk dan membaringkan tubuhnya, sementara Brian mengambil infus dan inhaler di ruang obat yang bersebelahan dengan ruang prakteknya.
Brian mulai mengganti infusnya yang sudah habis, lalu memeriksa Ren sebentar, tidak lupa juga menyuntikkan beberapa jenis cairan ke dalam infus Ren.
"Yak, selesai"
"Te-terima kasih paman, bibi"
"Sama-sama. Nah, ru, ini inhaler, ajari ren cara pakai nya ya kalau dia belum mengerti"
Rudy mengangguk, sedikit heran. Bukannya harusnya ren sudah biasa pakai alat itu?
"Yasudah ma, pa, ren sama ru ke kamar ya. Semangat"
"Semangat sayang"
Ru mengajak ren kembali ke kamar, ia terkejut saat Ren ternyata belum pernah memakai inhaler.
"Terus selama ini gimana kalau lu kambuh?"
Ren menggeleng.
"Aku kan ga sakit apa-apa Ru...kambuh apanya?paling kayak kemarin aja, tiba-tiba sesak, tapi nanti juga sembuh sendiri kok"
Ru menganga.
"Asli, kayaknya gua perlu minta papa buat periksa lo seluruh badan."
Ren menggeleng keras.
"Gamau"
"Harus"
"Aku gamau Rudy"
"Tapi lu itu...hahhh ..serah lu deh. Tapi please ren. Please. Kalau ada apa-apa, cerita ke gua. Terus minta papa lu buat periksain lu, asli, masa kalian pada gatau keadaan lu"
"Emangnya aku sakit apa?"
"Gua gatau juga kalo lu ga di periksa total, tapi nih ya menurut gua, lu kayaknya ada asma deh, tapi gatau juga sih, saran gua lu jangan kena dingin, jangan stress, jangan kecapean juga, makan yang bener, jangan terlalu kena asap juga"
Ren mengangguk, setengah tidak peduli. Untuk apa peduli? Meskipun sempat tergores sedikit batinnya mengetahui ada suatu penyakit yang bersarang dalam tubuhnya, tapi untuk apa dia peduli? Badannya sudah terlanjur hancur. Percuma. Malah, bukannya bagus? Dia akan lebih menderita, mungkin itu bisa membantunya menebus dosa pada ayahnya kan?

~o~

     Tak terasa sudah pukul 4, Ren harus cepat cepat pulang. Ia harus ada di rumah sebelum jam 5, ingat? Ia membuka chat dari kakaknya, yang mengatakan akan menjemputnya sehabis pulang kantor. Kakaknya pulang kantor pukul 5 jika tak lembur.
Ia berusaha membujuk agar kakaknya itu membiarkannya pulang sendiri saja, tapi kakaknya menolak. Ren diam, ia sama sekali tidak bisa membantah. Ia meremat tangannya. Di hukum kakak, atau di hukum ayahnya? Sudah tentu ia memilih di hukum kakaknya saja, walaupun yang namanya hukuman pasti sama-sama tidak menyenangkan.
"Ru....aku mau pulang"
Rudy menoleh pada Ren yang sedang menatap langit di balkon.
"Kakak lu udah dateng? Katanya mau di jemput. Tungguin aja"
Ren menggeleng.
"Belum, tapi aku mau pulang sekarang"
"Mau pulang gimana ren? Kamu belum di jemput"
"Gampang. Aku bisa sendiri...aku pamit ya?"
Rudy menggeleng keras.
"Gak gak gak. Lu itu habis sakit. Itu infus juga belom abis. Udah diem di sini aja kenapa sih? Tunggu kakak lu, lu ga suka gitu di sini? Pingin cepetan pulang?"
Jujur, Rudy mulai kesal dengan Ren yang ingin cepat-cepat pulang.
"Bu-bukannya..begitu.. Re-ren...su-ka...ta-tapi ren..harus pulang"
Ujarnya sambil menunduk.
Rudy menghela nafas.
"Yaudah, gua anter"
Ren menggeleng. Bisa gawat kalau ayahnya melihat ia 'berteman'.
"Re-Ren..pulang se-sendiri saja...nanti merepotkan, Ren bisa sendiri.."
"Gak. Lu pulang ama gua, atau tunggu kakak lu sekalian"
Ren terdiam, mencoba menimbang. Ia sama sekali tidak berani meninggalkan kakaknya tanpa kabar. Akhirnya dengan pasrah ia menunggu kakaknya datang menjemput nya.
.
.
.
.
To be continue

Thankyou buat semua yang udah mampir, terutama buat yang udah ninggalin jejak.

Jangan lupa vote dan comment ya, biar grey makin semangat bikin ceritanya.

See you on next chapter 🤗😘

Salam
Grey

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang