24

146 8 0
                                    

"EH ANJING!"
Ren tergelak taktala kakaknya itu mengumpat kasar,kaget gara-gara setan dalam film yang ditontonnya hilang dan tiba-tiba dizoom dengan suara yang mengerikan. Ren sebenarnya juga kaget, tapi lebih kaget lagi mendengar kakaknya yang mengumpat keras. Untung ruangannya VVIP, kalau tidak pasti kakaknya juga sudah kena damprat pasien sebelah.
"Ren, udah ah matiin kenapa ren"
Ren tak kuasa lagi menahan tawanya. Baru ia tau, kakaknya ini sangat penakut masalah horror per horroran.
"Astaga apaan sih kak? Buset kaget banget tau gue di dalem"
Rudy mengomel sembari menutup pintu kamar mandi. Ren makin tergelak dibuatnya. Ren belum boleh keluar dari rumah sakit. Sudah 2 hari bocah itu mendekam disana, dan hari ini Rudy menjenguknya. Tyo dan devan akan menyusul nanti, karena mereka masih ada ekstrakulikuler.
"Lu kapan boleh pulang?"
Rudy bertanya sambil seenaknya merampas cemilan yang dipegang Harry.
"Masih nunggu hasil tes dulu, ntr kalo keluar baru boleh balik. Lagian tny bokap napa, yg periksa kan bokap lu sendiri" Harry menyela Ren yang hendak menjawab sambil memutar bola matanya.
"Hehe, males, enakan di sini kan langsung"
Rudy merebut kacang pedas yang nyaris saja masuk ke dalam mulut ren sambil melotot.
"Ga ada pedes-pedes! Gak usah aneh-aneh ya!"
Kini Harry yang terkikik geli, sementara Ren cemberut kesal. Ketiganya lantas terperajat kaget saat suara mengerikan dari TV horror yang ternyata belum mati itu terdengar keras, disusul jeblakan pintu dan teriakan nyaring makhluk yang membukanya. Siapa lagi kalau bukan Tyo. Spontan Devan menjitak kepala Tyo lumayan kencang.
"Rumah sakit goblok!"
Ren, Harry dan Rudy terpingkal melihat adegan di depannya. Mereka berdua ini sangat cocok kemana-mana. Tyo yang "slengekan" dan Devan yang lebih kalem, namun panas bicaranya.
Ren sudah kembali lagi. Tingkahnya dua hari lalu yang sempat dikira Harry sakit jiwa, sudah hilang tanpa jejak. Walaupun setelah sadar dari obatnya kemarin lusa Ren langsung minta pulang, tapi saat Bryan datang dan memberinya pengertian, sekarang Ren menurut seperti kucing. Harry sampai melongo di buatnya. Gara-gara itu, sekarang mereka semua sepakat bryan jadi dokter pribadi Ren.
"Eh iya, nih Ren, gua bawain catetan kemaren sama hari ini sekalian, ntr kalo ga ngerti, tanya aja devan. Baik kan gua?"
Ren berbinar senang.
"Thankyouuu"
"Lah. Kenapa gua, ya elu dong, lu yang nawarin, gua yang kerja, kok lu yang dapet nama baik?"
Devan ngomel tidak Terima, sementara seisi ruang ikut tergelak.
"Oooh...pantes rame banget...ternyata pada di sini semua toh..."
Semua menoleh saat suara yang menenangkan itu keluar. Saking ramenya, sampai tidak sadar Bryan membuka pintu kamar rawat Ren.
"Hehehehe...eh om"
Bryan tersenyum, sementara sangat istri di belakangnya tersenyum lebar.
"Halo Ren!"
"Tante" Ren menerima pelukan itu dengan hangat dan senang. Ini adalah sensasi yang tak pernah ia rasakan.
"Gimana badanmu nak? Gak sesek kan?" Ren tersenyum dan menggeleng. Badannya sudah baikan.
"Yaudah yuk, tidur dulu, om mau periksa"
.
.
.
"Good. Udah bagus semua ini, besok udah bisa pulang"
Ren tersenyum senang. Akhirnya dia boleh pulang. Sebenarnya takut juga, sudah sekian hari dia tidak pulang tanpa izin dari sang ayah.
"Oh, Harry, nanti bisa ikut om bentar? Om tante mau bicara"
Harry mengangguk singkat saat Bryan membisikkan kalimat itu di telinganya.
"Ren, jangan lupa nanti obat-obatnya rajin diminum ya...istirahat cukup, makannya yang teratur, oke?"
"Kakak keluar bentar ya" Tangannya mengacak rambut ren sekilas sebelum pergi meninggalkan ruangan.
.
.
.
.
Harry memposisikan dirinya duduk, dan menegang saat Bryan mengumpat sambil menggebrak meja. Istrinya mengelus pundaknya lembut, meski ekspresi nya pun juga tak baik.
"Harry. Ren....si brengsek ayahmu....apa dia...menganiaya ren di rumah?"
Harry terdiam kaku. Tak ia sangka,akan ada yang tau.
"Harry? Jujur saja nak, kami cuma tanya, supaya bisa kasih yang terbaik untuk ren"
Harry menghela nafas gusar. Perlahan ia menganggukkan kepalanya dengan penuh keraguan.
"Saya kurang tau om, tapi memang sepertinya begitu. Beberapa bulan ini, saya lihat ayah memang beberapa kali main tangan ke ren"
"Kok kurang tau? Kamu serumah sama Ren kan?"
Harry menggeleng. Ia lalu menceritakan semua nya. Tentang tragedi kelahiran Ren, tentang kepergiannya meninggalkan Ren selama 5 tahun. Tentang..penyesalannya yang baru datang sekarang, tentang luka-luka yang ia lihat ada pada Ren.Semuanya. Harry hafal semuanya di luar kepala. Hatinya sendiri berdenyut perih mengingat semua perlakuan sangat ayah pada adiknya. Harry mengusap air matanya kasar.
"Ini semua salah saya" Putusnya kemudian saat selesai menceritakan kisah hidup adiknya.
BRAK!!
Lagi, Brian menggebrak meja keras. Giginya bergemeletuk menahan marah, sementara sang istri di sebelahnya masih menangis. Pantas saja, semua sikap Ren aneh di matanya. Sikap yang selalu takut, waspada. Terlalu sopan, tidak punya teman. Terlalu ketinggalan jaman, dan...takut orang melihat tubuhnya. Dugaannya benar, dan ia amat sangat paham kenapa Ren takut membuka baju, tentu saja agar bekas penganiayaan tak diketahui siapapun. Ia menghela nafas gusar, lantas berdiri mengampiri Harry yang masih terisak. Merangkul nya dan menepuk kepalanya dengan sayang.
"Ini bukan salahmu. Kamu masih kecil waktu itu. Ga ada yang nyalahin kamu, jadi berhenti salahin diri kamu sendiri ya..kedepannya, lebih perhatikan Ren ya....mentalnya pasti tertekan. Kamu pasti tau, dia beda dengan anak2 seumurannya, itu semua karena mentalnya tertekan"
Harry mengangguk. Tangisan nya makin kencang mengingat bagaimana adiknya itu di pandang aneh oleh orang-orang. Ia baru sadar, betapa butanya Ren akan dunia luar. Sudah tahu begitu, bagaimana dia masih bisa percaya pada ayahnya? Brian menatap pemuda di dekapannya dengan prihatin. Anak-anak ini masih amat muda, tapi permasalahan mereka tidak bisa dianggap remeh. Brian menghela nafas sedih.
"Hari ini cukup sampai sini, kita bicara lagi lain kali. Tenangkan dirimu nak, kita kembali ke ruangan Ren..nanti dia cemas...ya?"
Harry mengangguk cepat, berusaha menetralkan nafasnya. Hal yang sama di lakukan oleh istrinya. Brian menahan tawa geli. Ren dan Harry, sama sekali tidak ada hubungan darah dengan mereka, tapi empati istrinya sangat luar biasa. Istrinya terlampau lembut. Ia bahkan menangis sama kerasnya dengan Harry. Akhirnya kikikan geli itu lepas juga, amarahnya menguap begitu saja melihat adegan di depannya.
"Astaga...ayo sudah nangisnya. Lucu banget kalian. Gih sana cuci muka, kita balik" Harry dan Rena bangkit bersamaan. Rena menghampiri Harry, memeluknya, mengelus punggungnya dalam diam. Brian tersenyum lembut melihatnya. Setelah mencuci muka, mereka bertiga kembali ke ruangan Ren. Mereka memutuskan untuk tetap pura-pura tidak tahu, agar Ren juga tidak merasa takut dan terbebani. Mereka berusaha menjaga Ren yang sudah rapuh agar tidak hancur.
.
.
.
.
TBC
Next/Not??

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang