ASMARA-36

17.2K 1.8K 238
                                    

Kesibukan Dila terbagi, antara ujian tutupnya yang hanya tinggal satu minggu lagi dan dokumen pengajuannya yang sudah mulai diurus. Dila menopang dagunya di depan laptop, sedangkan Daffa sibuk melihat dokumen apa saja yang telah selesai mereka urus dan yang belum mereka urus. Keduanya sedang berada di sebuah Cafe tak jauh dari kesatuan Daffa.

"Adek kapan mau urus SKCK?" tanya Daffa.

"Nanti aja kak, setelah ujian tutup adek selesai. Adek pusing," keluh Dila. Daffa mengangguk, dia mengikuti keinginan Dila agar gadisnya itu tidak tertekan.

"Yaudah sini saya lihat skripsi adek," ucap Daffa.

"Akuuu, bukan saya," protes Dila. Mereka akan pengajuan, kan Dila bisa malu jika calon suaminya itu masih berbicara formal.

"Iya, aku," jawab Daffa. Dila mengarahkan layar laptopnya pada Daffa kemudian mulai menanyakan hal yang telah dia hafal diluar kepalanya karena Dila terus menyuruh Daffa mendengarkan ocehan skripsinya.

"Adek tuh udah jago, pasti lulus," ucap Daffa setelah melontarkan beberapa pertanyaan.

"Tapi adek masih gak pede, takut lupa nanti," jawab Dila.

"Oke pertanyaan terakhir, gimana cara adek ngukur kadar cinta adek ke kakak?" tanya Daffa dengan random. Kening Dila berkerut tajam mendengar pertanyaan random Daffa.

"Pertanyaan gak berfaedah macam apa itu kak?" Dila balik bertanya.

"Jawab aja, pertanyaan dosen kan biasanya tak terduga," ucap Daffa sambil bersedekap.

"Kadar cinta adek ke kakak gak terukur, tapi kalau diibaratkan tuh kayak, kasih ibu."

"Kasih ibu?"

"Iya, kasih Ibu." Dila kemudian berdehem beberapa kali kemudian dia menyanyikan penggalan lagu masa kecilnya dengan lancar.

"Tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia."

"Horee, pintar anak-anak, sekarang kita pulang," ucap Daffa dengan wajah datarnya. Dila yang mendengar itu terbahak.

"Beneran pulang?" tanya Dila saat Daffa menyerahkan kembali laptopnya. Daffa membereskan dokumen mereka dan menganggukkan kepalanya. Berlama-lama dengan Dila malah membuatnya ikut menjadi absurd.

"Tapi adek serius tau kak, kadar cinta adek ke kakak itu tak terhingga, gak bisa diukur pakai apapun," ucap Dila.

"Tapi kalau aku bisa diukur," ucap Daffa.

"Kadar cinta kakak ke adek bisa di ukur?"

Daffa menganggukkan kepalanya.

"Caranya?"

"Tinggi badan. Aku lebih tinggi dari adek, artinya cintaku kadarnya lebih tinggi dari adek."

"Kaaakk! Gak boleh body shaming!" rengek Dila. Daffa tertawa.

"Gak body shaming dek, aku gak pernah bilang adek pendek, cuma bilang aku lebih tinggi dari adek," ucap Daffa.

"Eh tapi.. Kakak cinta ya sama adek?" Dila mengerling jenaka. Daffa berdecak.

"Udah ayo pulang," ucap Daffa amat kentara menghindari pertanyaan Dila.

"Cinta kan kak? Iyakan? Iyakan?" Dila menggoyangkan lengan Daffa untuk meminta jawaban.

"Pulang adek," ucap Daffa hendak melangkah mendahului Dila tetapi Dila menahan langkah Daffa.

"Jawab dulu kak, cinta sama adek?" Dila mendongakkan kepalanya menatap Daffa dengan sorot berbinar ceria. Daffa menghela napas, tidak bisa lagi menghindari pertanyaan Dila.

ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang