ASMARA-53

4.2K 493 20
                                    

Dila berbaring menyamping sambil mengusap perutnya. Perasaan hampa itu masih membekas pada dirinya. 12 minggu janinnya bertumbuh di rahimnya, namun harus berhenti begitu saja. Walaupun sudah diberitahu Daffa jika bukan salah siapapun, namun Dila tidak bisa menahan rasa bersalahnya akan kehilangan itu.

Sudah satu minggu mereka berbaikan, artinya hampir dua minggu setelah kehilangan itu. Dila masih menolak siapapun yang ingin mengunjunginya, Dila benar-benar belum siap bertemu orang lain. Daffa memasuki kamar dan menghela napas melihat Dila yang melamun, setiap malam juga Dila selalu mengerang pelan dalam tidurnya, atau malah Dila tiba-tiba terbangun dengan kaget.

"Adek, minum dulu susunya," ucap Daffa memutuskan lamunan Dila. Dila beranjak duduk lalu menerima segelas susu hangat cokelat pemberian Daffa.

"Kok tiba-tiba buatin susu cokelat?" tanya Dila lalu menyesap susu cokelat itu hingga tersisa setengah gelas.

"Biar adek tidurnya nyenyak aja. Oh iya, besok Mami sama Papi mau ke sini," ucap Daffa. Dila menatap Daffa dengan kening yang berkerut kesal.

"Adek lagi gak mau ketemu siapa-siapa, kak," jawab Dila, menolak.

"Itu orang tua adek, lho. Kakak juga gak enak nolaknya. Kalau Ibu sama Ayah mungkin kakak masih bisa ngomong karena dia orang tua kakak. Lagipula Papi sama Mami kan pasti kangen mau ketemu anaknya," ucap Daffa dengan lembut. Dila berdecak semakin kesal.

"Pokoknya adek gak mau. Kakak gak pernah ngerti posisi adek," ujar Dila yang berusaha menahan tangisannya. Daffa mengusap puncak kepala Dila sambil tersenyum.

"Ya sudah, nanti besok biar kakak saja yang ketemu Papi dan Mami kalau memang adek gak mau. Habisin susunya terus kita tidur," ucap Daffa.

Batari sudah memberitahu Daffa jika mungkin Dila akan mengisolasi diri seperti ini, karena Batari sudah pernah mengalami keguguran pasca kecelakaannya dulu. Ada rasa ingin menyendiri dan menarik diri dari orang lain. Perasaan Dila juga akan lebih sensitif. Oleh karena itu Daffa berusaha untuk mengerti istrinya.

"Maaf ya, adek," ucap Daffa saat Dila menyerahkan gelasnya yang sudah kosong. Dila hanya mengangguk singkat. Daffa mengecup kening Dila.

"Yaudah sekarang tidur, kakak mau bawa gelasnya dulu ke belakang sebentar," ujar Daffa kemudian dia memperbaiki posisi selimut Dila lalu mematikan lampu kamar, hanya menyisakan lampu tidur dengan cahaya remang.

Saat Dila hendak memejamkan matanya, ponselnya berdering. Dila lupa mengaktifkan mode silent di ponselnya. Dila meraih ponselnya dan melihat nama Mami tertera di layar.

"Ya Mami?"

"Adek kenapa susah sekali di hubungi?"

"Lagi jarang pegang hp aja, Mi. Ada apa Mami telepon malam-malam?"

"Besok Mami mau ke situ, Mami udah bilang ke Daffa tadi tapi katanya mau nanya ke kamu dulu."

"Gak perlu repot-repot, Mi. Dila juga udah gak apa-apa kok sekarang." Dila berusaha menolak dengan halus.

"Mami cuma mau nengok anak Mami aja. Kamu gak ke mana-mana kan besok?"

"Enggak kok, Mi. Dila di rumah aja."

"Yaudah, Mami mau istirahat. Kamu juga istirahat ya."

Dila menghela napas berat setelah panggilan itu berakhir bersamaan dengan Daffa yang masuk sambil memegang botol minum milik Dila yang sudah diisi ulang.

"Kok belum tidur?" tanya Daffa sambil meletakkan botol minum itu di nakas sebelahnya.

"Gak apa-apa, adek mau peluk boleh?"

ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang