ASMARA-51

3.5K 500 47
                                    

"Saya anggap kamu gak pernah bilang itu," ucap Daffa dengan dingin lalu dia berbalik pergi.

"Kalau gitu, aku yang akan ajukan tuntutan," ujar Dila membuat langkah Daffa terhenti. Daffa menatap Dila dengan tajam.

"Jangan berani kamu bertindak seperti itu," ucap Daffa.

"Buat apa pertahanin pernikahan ini kalau gak ada kamu di dalamnya!" ketus Dila dengan wajah marah, air matanya mulai bercucuran. Daffa mengepalkan kedua tangannya, berusaha untuk meredam amarahnya agar tidak membentak Dila seperti beberapa hari lalu.

"Tenangkan diri kamu, istirahat, kalau perlu kamu mandi supaya pikiran kamu dingin," ucap Daffa lalu meninggalkan Dila, namun suara pecahan kaca membuat Daffa kembali menoleh.

"KAMU GAK PERNAH MAU NGERTIIN AKU! AKU MAU PISAH!" Dila berteriak marah. Deru napas Daffa memburu.

"Saya kurang mengerti apalagi, Dilara? Kamu minta ke rumah Mami saya turuti, kamu minta tidur pisah saya turuti. Mau kamu apa?"

"Aku mau pisah!"

"Saya gak akan turuti. Mau seribu kali pun kamu minta jangan pernah berharap saya menyetujuinya. Kalau alasannya karena anak kita, harus dengan apa saya beritahu kamu kalau yang terjadi saat ini bukan salah siapapun. Kamu ataupun saya tidak punya kuasa kalau memang anak kita sudah memilih untuk pergi," jelas Daffa dengan wajah memerah.

"Kalau bukan salah aku terus salah siapa? Kamu?"

"Udahlah, gak akan bisa saya ngomong kalau pikiran kamu aja lagi gak logis gini."

Setelah mengucapkan itu, Daffa memilih untuk kembali ke kamarnya. Dila terduduk di lantai dan menangis kencang, hatinya benar-benar sakit. Puas menangis, Dila menatap sekelilingnya dengan nanar. Pecahan gelas dengan air yang berserakan di lantai. Dila memutuskan untuk berdiri dan membersihkan kekacauan yang dia buat.

Setelah membuang pecahan kaca di tempat sampah, tatapan Dila terhenti pada tespack dan boneka kelinci yang tergeletak di dekat kitchen sink. Air mata Dila kembali luruh, dia menatap boneka kelinci dan tespack itu dengan sendu.

Dila mencengkram bajunya lalu menundukkan kepalanya dan menangis. Beberapa hari ini dia mengalami mimpi buruk yang sama, seorang anak kecil yang meninggalkannya begitu saja tanpa mau menyapanya. Parasnya cantik, sekilas mirip dengan Daffa, rambutnya pun panjang, tergerai lurus dan rapi persis seperti rambut Dila. Bahkan anak kecil itu menepisnya saat Dila hendak menyentuh.

Dila menghembuskan napasnya lalu membasuh wajahnya yang sudah pasti sembab. Saat menuju kamar tamu, langkah Dila terhenti di depan kamarnya. Dila menatap pintu yang tertutup rapat itu lalu meneruskan langkahnya.

🏵🏵🏵

Daffa membuka matanya dan mendapati dirinya yang masih tertidur di sofa. Dua malam ini dia tidak tidur di kamar mereka, memilih untuk tidur di sofa yang berada di depan kamar tamu. Di luar masih gelap, Daffa melihat jam di dinding, pukul 4 pagi.

Daffa segera bangkit lalu membuka pintu kamar tamu dengan pelan, helaan napasnya terdengar lega karena ternyata kali ini Dila tidak mengunci pintu kamar tamu seperti semalam. Daffa mendekat lalu berjongkok di sebelah ranjang tepat di depan wajah Dila.

Daffa mengusap lembut puncak kepala Dila, Daffa menyayangi Dila. Sangat. Namun mendengar ucapan Dila yang ingin berpisah darinya membuat perasaan Daffa hancur.

"Maafin saya ya," bisik Daffa lalu memperbaiki surai yang menutupi sebagian wajah Dila.

Daffa tidak masalah Dila membencinya, asalkan istrinya masih dalam pandangannya sudah cukup bagi Daffa. Puas mengamati Dila, Daffa beranjak berdiri ke kamarnya untuk bersiap sholat subuh.

ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang