ASMARA-16

14.5K 1.8K 66
                                    

Kondisi Dila sudah jauh lebih baik setelah dia keluar dari Rumah Sakit sebulan yang lalu. Kini Dila disibukkan dengan Ujian Akhir Semester dan juga laporan pertanggungjawabannya. Beberapa kali Dila harus tidur tengah malam, untungnya kondisinya tidak drop lagi.

"Pagi Papi, pagi Mami," sapa Dila dengan riang saat dia ruang makan. Dila meletakkan mapnya yang berisi surat-surat kegiatannya selama periode angkatannya di Mapala.

"Pagi dek, mau makan apa? Roti bakar atau nasi goreng? Mami juga punya risoles," tanya Mami kemudian meletakkan segelas susu cokelat di depan Dila.

"Roti bakar aja, Mi," jawab Dila.

"Okey, tunggu sebentar," ucap Mami kemudian beranjak menuju dapur.

"Gimana persiapan pertunangan kamu dengan Daffa?" tanya Papi. Dila dan Daffa memang telah memutuskan untuk bertunangan saat Dila libur semester nanti, rencananya setelah wisuda mereka akan menikah.

"Dila mah gak tahu Pi, kan yang urus Mami sama Ibunya kak Daffa," jawab Dila. Memang rangkaian acara pertunangan itu diurus oleh para orangtua.

Setelah keluar dari Rumah Sakit, ide pertunangan itu juga tercetus dari Mami dan Ibu. Mau menolak? Dila sudah mendapat tatapan peringatan dari Mami.

Papi tertawa.

"Kamu beneran tidak masalah dengan perjodohan ini nak?" tanya Papi. Dila menganggukkan kepalanya.

"Kak Daffa pria yang baik Pi, Dila juga nyaman sama dia," jawab Dila dengan jujur. Walaupun tidak romantis dan kaku, tapi Daffa selalu menjadi pendengar untuk Dila, juga selalu menyempatkan waktu jika Dila meminta tolong.

Ponsel Dila berdering, menampilkan nama Daffa. Dila segera menjawab panggilan itu, Daffa berjanji akan mengantarnya ke kampus pagi ini.

"Halo kak, udah di depan?" tanya Dila.

"Halo dek, sepertinya saya tidak bisa nganterin ke kampus hari ini, mendadak ada misi."

Senyuman di wajah Dila pudar, Daffa baru selesai tugas dua hari yang lalu, rencananya kemarin mereka akan bertemu tetapi Dila sibuk di sekretariat Mapala dan baru pulang pukul sebelas malam, itupun diantar Zafran dan Seno.

"Yaudah gak apa-apa, aku naik motor aja," jawab Dila berusaha ceria.

"Maaf ya? Nanti lepas tugas ketemu sama Adek."

"Oke, hati-hati ya kak."

"Iya. Saya tutup ya?"

Setelah mengucap salam sambungan itu berakhir. Dila mendadak murung.

"Ditinggal tugas sama Daffa?" tanya Papi yang dijawab Dila dengan anggukan.

"Namanya juga Abdi Negara, harap maklum ya nak," ucap Papi.

"Lho? Mukanya kok sendu gitu dek? Sakit gigi apa sariawan?" tanya Mami yang baru saja kembali dengan membawa roti bakar untuk Dila.

"Ditinggal tugas dia Mi, langsung galau gitu," ucap Papi membuat Dila cemberut. Mami tertawa.

"Dila nih persis kayak Mami dulu waktu ditinggal tugas Papi, galau banget, mana waktu itu Mami hamil mas Yudhis, bawaannya nangis terus tiap hari. Apalagi Papi jarang ngabarin," curhat Mami.

"Lebih berat Mami sih," gumam Dila. Baru ditinggal tugas sebentar saja Dila sudah galau, gimana dulu Mami ya?

"Tapi kita sebagai istri harus mendukung suami, istri tentara itu Dil, tugasnya lebih berat dari istri biasanya, harus jaga nama baik suami, mendukung dan mendampingi suami, mengayomi istri lainnya, semakin tinggi pangkat suami, semakin berat pula tugasnya," nasihat Mami.

ASMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang