[17]

1.1K 48 0
                                    

______________________________________

HAPPY READING
JANGAN LUPA TOMBOL ☆ NYA
______________________________________


🌻🌻🌻


Setelah dari butik, Gibran dan Nasha memutuskan untuk makan malam bersama di salah satu restoran. Usai makan malam, Gibran membawa Nasha ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh Nasha. Seorang petugas keamanan membukakan dua pagar yang menjulang tinggi saat melihat mobil hitam milik Gibran mendekati kawasan rumah. Gibran membunyikan klakson berterimakasih saat memasuki pekarangan rumah itu.

Nasha yang duduk di samping Gibran menatap heran bangunan modern yang berdiri megah di hadapannya. Dari luar sudah telihat betapa mahalnya rumah ini. Apalagi jika masuk ke dalam. Entah barang bernilai fantastis apa saja yang terpajang di sana.

Nasha tersentak kaget saat melihat beberapa orang dengan seragam kerja berdiri sejajar di depan pintu seolah-olah menyambut kedatangannya dan Gibran. Nasha hanya bisa tersenyum lalu berterimakasih saat salah seorang dari mereka membukakan pintu mobil untuknya. Nasha mendekat pada Gibran yang sudah berdiri tegap di sebelahnya. Dia memandang wajah Gibran meminta penjelasan.

“ini rumah siapa Mas? Temen kamu?” bisik Nasha.

Gibran terkekeh mendengar pertanyaan polos Nasha. “ini rumah kita, Nasha”

“Hah?”

Gibran mengelus rambut Nasha gemas. “biar saya kenalkan kamu dengan pekerja di rumah ini. Ini Bi Hani, kepala pelayan di sini” kata Gibran menunjuk seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat bugar.

Nasha tersenyum lalu menjulurkan tangannya ke hadapan Bi Hani. “aku Nasha Bi, salam kenal”

Bi Hani tersenyum lebar sambil membalas uluran tangan Nasha. “perkenalkan saya Hani, kepala pelayan di sini. Nyonya bisa memanggil saya dengan Bi Hani”

Nasha melototkan matanya mendengar panggilan ‘Nyonya’ dari Bi Hani. Itu sangat menggelitik hatinya. Seumur hidup belum pernah Nasha dipanggil dengan sebutan seperti itu.

“panggil Nasha aja, Bi”

Bi Hani hanya bisa tersenyum tanpa mengiyakan perkataan Nasha. Tidak mungkin dirinya hanya memanggil Nasha dengan namanya saja. Karena Nasha adalah majikannya meski usianya lebih pantas untuk menjadi anaknya sendiri.

Gibran kemudian memperkenalkan Nasha dengan beberapa pekerja rumah lainnya. Ada yang bertugas sebagai pelayan dan penjaga keamanan. Jumlah mereka tidak banyak. Jika digabungkan hanya mencapai sepuluh orang.

Gibran menggenggam tangan kanan Nasha dan menuntunnya untuk memasuki rumah. Nasha hanya bisa melongo saat kedua matanya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Rumah ini terlalu mewah untuk Nasha. Rumah ini terdiri atas dua lantai. Desain bangunannya dibuat sangat modern. Saat pertama kali masuk, mata akan disajikan langsung dengan halaman depan rumah yang sangat terawat. Ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam akan terlihat furnitur-furnitur mahal yang menghiasi rumah ini. Begitu juga dengan dekorasi lain yang terpajang di sana. Wajar saja, Gibran adalah seorang pengusaha furnitur. Tentu dia akan memilih furnitur terbaik untuk rumahnya bersama Nasha.

Nasha melangkahkan kakinya mengelilingi rumah bersama dengan Gibran yang mengikuti Nasha di belakang. Nasha menoleh ke kanan dan kiri memerhatikan seluruh keadaan rumah mewah ini. Daripada sebuah rumah, bangunan ini lebih mirip seperti villa. Entah berapa digit angka nol yang keluar dari rekening Gibran untuk membeli rumah ini.

Nasha menaikkan sebelah alisnya menatap pintu lift yang tertutup. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Meminta penjelasan pada Gibran.

“Kenapa ada lift, Mas?”

Gibran mengendikkan bahunya santai. “lebih cepat daripada naik tangga”

“terus tangganya buat apa? Pajangan gitu?”

Gibran mengangguk mengiyakan membuat Nasha hanya bisa menghela napas lelah. Terserah Gibran saja. Toh, rumah ini Gibran yang beli.

Setelah mengelilingi lantai satu, Gibran mengajak Nasha untuk mengelilingi lantai dua. Di lantai dua ini bisa dibilang lantai pribadi untuk Gibran dan Nasha. Di lantai ini ada beberapa kamar tidur pribadi yang berbeda dari kamar tidur tamu, karena kamar tidur tamu ada di lantai satu. Selain itu ada juga ruang kerja Gibran, ruang olahraga milik Gibran dan sebuah home theater.

Nasha pikir Gibran benar-benar gila. Bagaimana bisa dia membeli rumah semewah ini hanya untuk mereka berdua. Bahkan jumlah pekerja mereka lebih banyak daripada jumlah majikan.

Gibran membuka sebuah pintu lalu menyuruh Nasha masuk dengan gerakan kepala. Nasha mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ini adalah sebuah kamar yang Nasha tebak adalah kamarnya dan Gibran. Kamar ini sangat luas menurut Nasha. Di tengah ruangan ada sebuah ranjang mahal. Lalu ada sebuah sofa, single chair, dan sebuah televisi. Di bagian kanan kamar dibagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk walk in closet dan sebagian untuk kamar mandi. Sementara di sisi kiri kamar dilapisi oleh dinding kaca yang langsung menuju pemandangan bagian belakang rumah.

Puas mengelilingi lantai dua, Gibran mengajak Nasha menuju bagian belakang rumah. Nasha hanya bisa menatap kagum, lagi dan lagi. Rumah ini benar-benar membuatnya terkesima.

Di bagian belakang rumah yang luas terdapat sebuah kolam renang memanjang. Lalu ada beberapa kursi santai yang diletakkan di sana. Di ujung bagian belakang rumah, ada sebuah taman kecil menyejukkan mata. Lalu di bagian kanan halaman belakang, tepatnya di samping kolam renang, ada sebuah sofa panjang berbentuk huruf U yang mengelilingi bagian itu. Di tengahnya ada sebuah meja yang dilengkapi dengan api unggun mini.

Gibran menuntun Nasha untuk duduk di sofa itu. Nasha tersenyum lebar saat mendongakkan kepalanya ke atas. Sepertinya bagian ini akan menjadi tempat kesukaannya dari seluruh bagian rumah. Dari sini Nasha bisa melihat langit malam yang terbentang luas. Bintang-bintang yang berkelap-kelip menjadi penghias yang indah di mata Nasha.

Gibran tersenyum melihat wajah bahagia Nasha. Wajah cantik itu selalu membuatnya jatuh dan jatuh lagi. Gibran terlalu mencintai Nasha. Entah bagaimana Nasha bisa membuat Gibran menjadi gila seperti ini. Gibran menarik pinggang Nasha untuk mendekat. Lalu membawa Nasha untuk duduk di atas pangkuannya. Perlakuan Gibran yang tiba-tiba seperti itu tentu membuat Nasha terkejut.

Gibran melingkarkan kedua tangannya memeluk tubuh mungil Nasha. Tangan kanan Gibran menuntun kepala Nasha untuk menyandar di dada miliknya. Kemudian membawa Nasha hanyut dalam keheningan malam sambil mengelus sayang tangan Nasha yang dia genggam erat.

“Mas”

🌻🌻🌻

Next [18]

Diagonal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang