[23]

1.1K 38 0
                                    

______________________________________

HAPPY READING
JANGAN LUPA TOMBOL ☆ NYA
______________________________________


🌻🌻🌻


Nasha melangkahkan kaki menuruni anak tangga yang ada di rumah. Jika tidak buru-buru, Nasha lebih suka menggunakan tangga untuk naik atau turun lantai. Nasha berjalan santai menyusuri rumah. Dia hendak menuju dapur untuk mengambil minum.

“hai Bi, lagi bikin apa?” sapa Nasha pada Bi Hani yang tengah membuat sesuatu di dapur.

“eh Nyonya. Ini, saya lagi bikin kopi untuk Tuan” jawab Bi Hani. Dia sedikit menunduk menyapa Nasha.

Nasha berdiri di sebelah Bi Hani sambil membawa segelas air putih yang baru saja diambilnya.

“Bi, enggak usah pakai Nyonya ya. Nasha aja, okay?

Bi Hani tersenyum. “Maaf Nyonya, saya enggak bisa. Nyonya kan majikan saya”

Nasha berdecak sebal. “Bi.. kalau gitu panggil yang lain aja asal jangan Nyonya, please? Aku kelihatan tua banget kalau dipanggil Nyonya”

Bi Hani mengangguk. “kalau begitu saya permisi dulu Nyonya. Saya mau antar kopi ini ke ruang kerja Tuan”

Nasha menghembuskan napasnya lelah. Bi Hani masih saja memanggilnya dengan sebutan Nyonya. Nasha menghentikan gerakan Bi Hani yang akan melangkah pergi.

“Biar aku aja Bi, sekalian aku mau ke atas” ujar Nasha.

“t-tapi..”

Nasha mengangguk menenangkan Bi Hani. Dia mengambil alih gelas kopi yang ada digenggaman tangan Bi Hani. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan dapur dan masuk ke dalam lift.

Nasha menyembulkan sedikit kepalanya di pintu ruang kerja Gibran yang sedikit terbuka. Ruang kerja ini dibuat cukup luas. Di tengah ruangan ada sebuah meja kerja berbentuk huruf L yang didesain khusus oleh Gibran. Gibran ingin saat dia bekerja di ruang kerja ini, Nasha juga bisa duduk di sebelahnya sambil mengerjakan tugas kampus atau hal lainnya. Selain meja kerja, ada juga beberapa sofa dan sebuah meja kecil yang ada di ujung ruangan. Sebagian dinding ruang kerja ini dihiasi dengan barisan buku-buku milik Gibran dan beberapa pajangan.

Nasha melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerja Gibran. Dia meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja kerja Gibran. Gibran terkejut melihat Nasha yang mengantarkan kopi itu kepadanya bukan Bi Hani.

“kenapa kamu yang antar? Bi Hani mana?”

“ada di dapur” ujar Nasha. “Mas, besok kalau mau dibikinin kopi, bilang aku aja ya. Enggak usah suruh Bi Hani. Biar aku aja yang bikinin kamu kopi”

Gibran menyandarkan badannya pada sandaran kursi kerja. “kenapa? Biar Bi Hani aja yang bikin. Kamu itu istri saya, bukan pelayan”

“Mas, bikinin kamu kopi itu bukan berarti aku jadi pelayan kamu. Lagian kalau cuma bikin kopi doang aku juga bisa”

Gibran terkekeh lalu mengangguk. Nasha tersenyum senang melihat anggukan Gibran. Dia kemudian meletakkan gelas berisi air putih yang dipegangnya sedari tadi ke atas meja miliknya yang ada di samping meja Gibran.

“mau kemana?” tanya Gibran saat melihat Nasha akan melangkah pergi.

“ngambil laptop Mas” ujar Nasha geregetan.

Nasha berjalan keluar kamar. Beberapa saat kemudian dia kembali lagi dengan laptop, buku kuliah, beberapa lembar kertas, dan kotak pensil miliknya. Nasha mendudukkan dirinya di kursi di depan Gibran. Dia menyalakan laptop dan mulai mengerjakan tugas kuliahnya yang tidak ada habis-habisnya ini.

Gibran memerhatikan Nasha yang duduk diam sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Nasha terlihat sangat fokus dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Sesekali Nasha meneguk air putih miliknya saat kerongkongannya terasa kering.

Gibran tersenyum kecil. Ia tidak menyangka akan berada di situasi seperti ini. Duduk di dalam ruang kerja ditemani dengan Nasha, istrinya tercinta. Gibran tidak bisa mengalihkan fokusnya sedikitpun dari Nasha. Magnet Nasha terlalu kuat bagi Gibran.

“Mas enggak usah lihatin aku terus bisa enggak? Aku tau kok kalau aku cantik, tapi enggak usah dilihatin segitunya juga Mas” kata Nasha penuh percaya diri tanpa melihat Gibran.

Gibran terkekeh. “kamu bikin saya enggak fokus”

“Kalau gitu aku ke kamar aja”

“selangkah saja kamu  dari sini, saya pastikan kita akan olahraga malam” ancam Gibran.

Nasha spontan menoleh pada Gibran. Lalu mendelik tajam pada pria itu. Gibran selalu saja mengancamnya seperti ini. Nasha kembali duduk ke posisinya dan melanjutkan mengerjakan tugas Analisis Riil miliknya yang belum juga selesai.

Gibran tersenyum penuh kemenangan. Dia selalu bisa menundukkan Nasha meski dengan ancaman seperti tadi. Tapi hal itu menjadi kesenangan sendiri bagi Gibran. Melihat wajah kesal Nasha selalu membuat hatinya tergelitik. Ada perasaan membuncah di sana.

Usai ancaman Gibran tadi, kedua sejoli itu pun kembali melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda. Gibran dengan laporan perusahaannya dan Nasha dengan tugas kampus miliknya.

Gibran merenggangkan sedikit badannya. Kedua matanya melirik jam di atas meja kerja yang menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Gibran tidak menyangka dirinya sudah berkutat dengan laporan-laporan ini selama berjam-jam.

Gibran mengalihkan pandangannya dari laptop menjadi pada Nasha. Dia sedikit terkejut saat melihat kepala Nasha yang sudah tergeletak di atas meja. Nasha tertidur rupanya.

Gibran bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan mendekati Nasha yang tertidur. Gibran melihat wajah damai Nasha yang tertidur pulas. Napasnya terdengar berhembus beraturan. Gibran melihat kertas-kertas yang ada di atas meja Nasha. Diambilnya kertas-kertas itu. Gibran hanya bisa melihat deretan simbol-simbol aneh yang tertulis di atas kertas.

Gibran meletakkan kembali kertas tugas Nasha di atas meja. Kedua tangannya terulur untuk menggendong tubuh Nasha. Nasha sedikit mengerang saat Gibran membawanya masuk ke dalam gendongan. Gibran kemudian melangkah keluar dari ruang kerja menuju kamarnya dan Nasha. Mereka butuh istirahat malam ini setelah seharian berkutat dengan kerjaan masing-masing.

🌻🌻🌻

Next [24]

Diagonal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang