[35]

946 34 0
                                    

______________________________________

HAPPY READING
JANGAN LUPA TOMBOL ☆ NYA
______________________________________


🌻🌻🌻


Nasha melangkahkan kakinya menuruni undakan tangga. Saat di mobil tadi, Gibran menyita ponsel miliknya. Sehingga membuat Nasha merasa bosan karena sedari tadi hanya berdiam diri di dalam kamar. Dia sudah mencoba untuk tidur, tapi gagal. Rasa kesalnya pada Gibran membuat hatinya tidak tenang.

Semua mata pelayan memandang ke arahnya saat melihat Nasha berjalan menuju dapur. Nasha menghelas napas lelah melihat itu semua. Mereka benar-benar menuruti perkataan Gibran. Bahkan sampai memfokuskan mata mereka hanya pada Nasha seorang.

Nasha membuka pintu kulkas. Dia mengambil sebuah kaleng minuman bersoda lalu meneguk isinya beberapa. Tanpa memedulikan semua mata yang memandang ke arahnya, Nasha berlalu pergi. Dia ingin ke bagian belakang rumah. Nasha butuh menghirup udara segar.

“Maaf Nyonya, Nyonya mau ke mana? Tuan tadi berpesan Nyonya dilarang untuk keluar dari rumah” ujar salah satu pelayan.

Nasha menghentikan langkah kakinya. Dia mengepalkan tangan kirinya kesal. Nasha memutarkan badan lalu menatap tajam pelayan yang ada di depannya ini.

“LO SIAPA SAMPAI BERANI NGELARANG-NGELARANG GUE!”

Pelayan itu sedikit menundukkan kepalanya takut. “M-maaf nyonya. Tapi tadi Tu–“

Nasha melemparkan kaleng minuman bersoda yang ada di genggamannya ke sembarang arah. Membuat semua pelayan menatap Nasha terkejut. Baru kali ini Nasha berperilaku kasar seperti ini. Pasalnya Nasha yang mereka kenal selama ini selalu bersikap sopan dan lemah lembut.

“KENAPA? LO TAKUT DIPECAT GIBRAN?”

“Nasha!” panggil Gibran yang baru saja kembali dari kantor.

Nasha menolehkan kepalanya ke sumber suara.

“APA?” balasnya tidak peduli siapa yang baru saja memanggil namanya.

Nasha mendengus keras saat melihat wajah Gibran. Dia menghentakkan kaki kanannya kesal. Lalu berjalan tergesa menuju kamar. Nasha tidak mempedulikan teriakan Gibran yang menyuruhnya untuk berhenti sedari tadi.

Namun sayang, Nasha terlambat satu langkah. Gibran sudah lebih dahulu masuk ke dalam kamar sebelum dia sempat menguncinya. Nasha menatap Gibran menantang. Tidak takut dengan aura hitam yang keluar dari seluruh tubuh Gibran.

“minta maaf sekarang juga pada Desi” kata Gibran dingin.

Nasha berdecih. “Gue enggak mau. Kenapa juga gue harus minta maaf, gue enggak salah apa-apa”

Gibran menghela napas tertahan. Nasha sudah kelewatan hari ini. Jika kesal pada Gibran harusnya Nasha melampiaskan kekesalannya itu pada dirinya. Bukan pada pelayan yang tidak tau apa-apa.

Gibran memejamkan kedua matanya berusaha untuk mengusir rasa amarah yang mulai mencuat ke permukaan. Dia tidak ingin menyakiti Nasha baik melalui perkataan maupun perbuatan. Apalagi di saat emosinya sedang mengambil alih pikiran. Tidak. Tidak. Dia tidak ingin itu terjadi.

“Nasha” panggil Gibran lembut.

Panggilan lembut Gibran membuat Nasha mendadak diam. Hatinya bergejolak saat itu juga. Pikirannya melayang entah kemana. Tatapan kesal Nasha pada Gibran perlahan melembut. Tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipi Nasha.

Gibran yang melihat Nasha menangis lantas merengkuh tubuh Nasha masuk ke dalam pelukannya. Gibran menepuk-nepuk punggung Nasha pelan. Bibirnya ia arahkan untuk mengecup puncak kepala Nasha sayang.

“kamu jahat” cicit Nasha.

“maafkan saya sudah membuat kamu menangis” kata Gibran menyesal. “maafkan saya karena melarang kamu untuk keluar rumah. Saya hanya tidak ingin kamu ikut demo. Itu berbahaya untuk kamu, Nasha. Saya hanya khawatir kamu terluka saat saya tidak ada di samping kamu”

Nasha menggeleng. Dia sedikit memundurkan badannya. Nasha mendongak menatap kedua mata Gibran dengan wajah basah penuh air mata.

“bukan kamu, tapi aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Aku udah bohong dan ikut demo tanpa izin ke kamu dulu. Maafin aku Mas. Aku salah. Harusnya aku enggak ngelakuin hal itu”

Gibran menangkup kedua pipi Nasha. Dia mengelap air mata yang membasahi pipi Nasha dengan ibu jarinya. Kemudian Gibran tersenyum. Senyum yang dapat menenangkan hati Nasha seketika itu juga.

“jangan ulangi lagi. Saya tidak suka dengan kebohongan. Kamu bisa melakukan apa saja, tapi tidak dengan berbohong dan ikut kegiatan yang bisa membahayakan kamu” jelas Gibran.

Nasha mengangguk mengerti. "aku janji"

“sekarang bisa kamu minta maaf sama Desi? Dia sudah jadi bahan pelampiasan kamu tadi”

Nasha mengangguk setuju. Dia mengelap wajahnya dengan punggung tangan lalu berjalan berdampingan dengan Gibran menuju lantai bawah. Nasha melangkah mendekati Desi yang sedang membantu Bi Hani di dapur.

Desi yang menyadari kedatangan Nasha menunduk sopan. “Nyo-Nyonya”

Nasha tersenyum kecil. “maafiin aku ya Mbak Desi, tadi aku udah teriak-teriak sama Mbak”

Desi menggeleng cepat. “enggak apa-apa Nyonya. Saya juga salah”

“enggak Mbak. Aku yang salah. Maafin aku ya sekali lagi” balas Nasha.

Desi mengangguk pelan sembari menunduk sopan pada Nasha dan Gibran yang ada di belakangnya.

Nasha memutarkan badannya agar bisa melihat Gibran dengan sempurna. Nasha tersenyum senang saat melihat Gibran tersenyum bangga padanya. Nasha berlari menghampiri Gibran. Lalu memeluk Gibran erat.

good job, sayang”

“makasih Mas. Oh iya, kamu udah makan?” Gibran menggeleng. “yaudah, kita makan siang dulu. Aku juga belum makan”

Nasha menoleh ke area dapur. “Bi, tolong siapin meja makan ya”

Bi Hani yang ada di dapur bersama beberapa orang pelayan mengangguk mengiyakan perintah Nasha.

🌻🌻🌻

Next [36]

Diagonal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang