[33]

921 36 0
                                    

______________________________________

HAPPY READING
JANGAN LUPA TOMBOL ☆ NYA
______________________________________


🌻🌻🌻


“makasih Mbak” ujar Nasha pada seorang pelayan yang meletakkan segelas susu di depannya.

Pelayan itu mengangguk lalu pamit undur diri. Dia kembali ke posisinya semula. Berdiri bersama para pelayan yang lain di belakang, beberapa langkah dari meja makan.

“kamu ada acara kampus hari ini?” tanya Gibran sembari melirik tote bag Nasha.

Nasha mengikuti arah pandang Gibran yang mengarah pada almamater yang berada di dalam tote bag miliknya. Sial. Kenapa dia bisa lupa untuk menutup resleting tote bag itu. Alhasil Gibran bisa melihat almamater yang ingin disembunyikan Nasha.

Sebenarnya hari ini Nasha berniat mengikuti aksi – demonstrasi – yang dilakukan serentak oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka akan melakukan aksi penolakan terhadap salah satu kebijakan pemerintah yang menurut mereka tidak perlu dilakukan.

“oh, ini.. aku ada seminar campuran Mas di kampus makanya bawa almet” kilah Nasha.

Gibran menatap wajah Nasha yang sedikit kikuk. “jangan bohong”

“beneran Mas. Ngapain juga aku bohong sama kamu”

Gibran menatap Nasha lama. Kemudian mengangguk mengiyakan perkataan gadis itu. Gibran kembali fokus pada roti tawar yang ada di depannya. Melihat Gibran yang kembali tenang membuat Nasha diam-diam menghela napas lega. Beruntung Gibran percaya saja pada perkataannya tadi. Jadi saat ini dia bisa aman. Tapi sepertinya Nasha harus siap kalau-kalau Gibran tau dia berbohong demi ikut aksi.

Setelah sarapan Gibran mengantarkan Nasha ke kampus seperti yang biasa ia lakukan. Nasha mencium punggung tangan Gibran lalu Gibran mengecup kening Nasha. Dua hal yang kini menjadi rutinitas pagi hari mereka.

Nasha turun dari mobil. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam koridor fakultas. Baru beberapa langkah Nasha berjalan, dia memutarkan kepalanya ke belakang. Sebuah senyum terukir jelas di wajah Nasha saat melihat mobil Gibran yang sudah hilang dari kawasan fakultasnya.

Nasha mengambil ponsel miliknya, dia ingin menelfon Melati. Terdengar nada sambung dari sebrang telfon sebelum berganti menjadi suara seorang wanita muda.

halo?

“halo Mel, lo di mana? Gue udah di koridor fakultas” balas Nasha.

“parkiran belakang Sha, gue sama anak-anak di sini”

Nasha mengangguk. “Okay, gue ke sana”

Setelah itu, Nasha mematikan sambungan telfon. Dia melangkah lebar menuju parkiran belakang yang berada di sebelah sekretariat Himpunan. Sampai di sana, Nasha menyapa semua teman-teman himpunannya. Baik senior, seangkatan, maupun adik tingkatnya.

Nasha tersenyum lebar melihat Melati yang tengah memakan sepiring lontong sayur di deretan kursi yang memang disediakan di depan sekretariat Himpunan. Nasha mendudukkan dirinya di sebelah Melati.

“Makan mulu”

“laper nih, belum sarapan. Entar kalau pingsan pas demo kan enggak lucu, Sha. Mending kalau ada cowok ganteng yang nolongin gue, kalau dibiarin aja pingsan di sana gimana, astaga enggak kebayang deh” Melati bergidik ngeri.

Nasha tertawa mendengar perkataan konyol Melati. Dirinya dan Melati memang sama-sama konyol. Terkadang mereka bisa sama-sama menjadi gila. Mereka itu satu frekuensi, kalau kata anak zaman sekarang. Hal itu juga yang membuat mereka jadi sangat akrab seperti ini.

“ini anak-anak pada mau ikutan aksi semua?” tanya Nasha. Kedua matanya melirik segerombolan mahasiswa yang ada di depan sekretariat himpunan.

“ya menurut lo? Masa iya mereka mau pergi kondangan”

Nasha tertawa puas di sebelah Melati. Selain sebagai teman dekat, Nasha menganggap Melati seperti Mamanya sendiri. Melati itu suka ngomel persis seperti Gita. Dan Nasha sebal sekali jika Melati sudah berubah menjadi tukang ngomel seperti itu.

Melati mendekatkan wajahnya ke telinga Nasha. “Lo udah izin sama Mas ganteng?”

Nasha menggeleng. “dia enggak bakal ngebolehin gue buat ikut aksi. Gue udah pernah tanya sama dia waktu itu. Dan dia nolak mentah-mentah. Jadi ya gue bohong aja tadi sama dia. Lo tau enggak sih, tadi dia enggak sengaja lihat almet gue, terus gue bilang aja ada seminar campuran. Dan untungnya dia percaya”

Melati berdecak berkali-kali. “duh Sha. Kenapa harus bohong sih. Kalau Mas ganteng sadar lo bohong, terus tau kalau lo ikut aksi, bisa abis lo diomelin. Gue saranin mending lo enggak usah ikut aksi deh, Sha”

“biarin aja deh Mel, udah terlanjur. Lagian gue kan mau ikut aksi, kenapa dia malah larang-larang gue sih”

Mendengar balasan Nasha membuat Melati hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya. Nasha itu antara nekat dan bego. Kalau sampai Gibran tau, entahlah Melati tidak bisa membayangkan apa yang akan pria itu lakukan pada Nasha.

Merasa siap, segerombolan mahasiswa tadi bergerak bersama menuju gedung pusat UKM – Unit Kegiatan Mahasiswa – yang menjadi titik kumpul aksi kali ini. Nasha berangkat bersama Melati yang dibonceng dengan motor skuter miliknya.

Sampai di titik kumpul aksi, rupanya sudah banyak mahasiswa lain yang berkumpul di sana. Nasha berjalan bersama Melati menuju kerumunan mahasiswa itu dengan almamater yang sudah terpasang di badan mereka.

Nasha mendengarkan instruksi dari koordinator lapangan yang bertugas pada aksi kali ini. Aksi demonstrasi bukan dilakukan untuk membuat kericuhan. Tidak ada sedikit pun niat dari para mahasiswa yang melakukan aksi untuk memancing kericuhan. Mereka hanya ingin menjadi pemanjang tangan dalam menyuarakan suara rakyat. Hanya karena ulah segelintir orang tidak bertanggung jawab, mahasiswa seringkali dicap tidak baik saat melakukan aksi demonstrasi.

Ponsel yang berada di dalam genggaman Nasha bergetar. Membuat Nasha yang merasakan getaran itu mengangkat ponselnya ke udara. Kedua mata Nasha membulat sempurna saat melihat nama ‘Mas Gibran’ di layar ponsel.

Nasha refleks mencolek lengan Melati yang berdiri di sebelahnya. Dia memperlihatkan layar ponsel yang menyala pada Melati. Reaksi Melati persis dengan reaksi Nasha. Kedua matanya membulat sempurna.

“Mel, mampus Mel. Enggak usah gue angkat kali ya?” kata Nasha gusar.

“Mending lo angkat aja. Kalau udah masalah Mas Ganteng gue nyerah deh” balas Melati.

Nasha menggigit bibirnya kuat. Dia bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Apakah harus menerima telfon Gibran ataukah memilih untuk mengabaikan telfon itu. Nasha memutar badannya sempurna. Dia berjalan tergesa menjauhi kerumunan. Keputusan sudah ia ambil.

“halo Mas?” sapa Nasha berusaha menetralkan suaranya yang menderu.

kamu dimana? ” tanya Gibran di sebrang telfon

“hem.. di kampus. Kenapa Mas?”

jangan kemana-mana, tunggu saya di sana. Saya akan jemput kamu pulang ” tegas Gibran.

Nasha kelabakan mendengar perkataan Gibran. “k-kenapa kamu mau jemput aku Mas?”

saya tau kamu berbohong tadi pagi. Kamu akan ikut demo kan? Saya enggak akan mengizinkan kamu untuk ikut demo. Kamu di mana? Gedung UKM? Tunggu saya di sana. Lima belas menit lagi saya sampai

Nasha yang hendak membalas perkataan Gibran spontan menciut. Dia tidak berani membantah Gibran jika sudah seperti itu. Gibran bukan orang yang bisa dilawannya. Apalagi jika sudah marah seperti ini. Matilah dia. Entah apa yang akan Gibran lakukan padanya nanti.

Mampus gue

🌻🌻🌻

Next [34]

Diagonal HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang