"Gimana?", Teh Nana langsung menelponku begitu aku mengatakan sudah menemui Ali. Senyumnya lebar. Sepertinya dia cukup puas dengan skenario yang dirancangnya untuk kami.
"Gemes aku, teh!", sahutku. "Pengen ngitik-ngitikin Teteh plus jitakin Ali juga"
"Lha?? Bawaan zaman ingusan jangan dipelihara!", protesnya. "Masa iya calon suami dijitak?"
"Haha...aneh banget denger dia calon suami!", aku tak bisa menahan tawa.
"Apanya yang aneh?", sanggah Teh Nana. "Kamu dulu suka banget sama Ali sampai nangis-nangis segala pas dia pindah", godanya.
Tawaku langsung terhenti. Berganti acara menarik nafas panjang berkali-kali. Pasrah. Hari ini mungkin aku sedang diuji! Semua orang menyerang dengan kekonyolan masa kanak-kanakku itu.
Teh Nana menahan tawa melihat ekspresiku. "Menurut Teteh sih, kalian itu cocok", dia serius lagi.
"Cocok jadi temen berantem?"
Teh Nana tertawa. "Kalian itu manis banget lho pas temenan zaman kecil dulu. Emang sih, selalu bertengkar tapi juga cepat berbaikan. Trus kalian selalu berkompetisi tapi disisi lain juga saling dukung mencapainya"
Dan rasa penasaran tentang mengapa semua orang di rumahku begitu menyukai mahasiswa dari Boston itu pun terjawab sudah. Karena dia adalah Ali. Anak teman Papah yang tinggal di sebelah rumah.
Ali yang sejak kecil memang terkenal sebagai anak baik dan pintar. Suaranya merdu saat mengaji. Keluargaku selalu menganggap, dia memberi pengaruh baik untukku. Tak hanya mendorongku rajin belajar, tapi dia juga membantu Mamah menyeretku yang seringkali malas belajar mengaji, bahkan mengurangi beban Teh Nana menjaga adiknya yang tak bisa diam.
"Nggak tahu lah, Teh. Lihat entar gimana yaa...", ujarku lagi. "Tapi aku senang sih bisa ketemu dan ngobrol sama dia lagi"
"Emang nggak ada deg-degan gitu pas ketemu dia?", Teh Nana penasaran.
"Ya ada lah, Teh. Kalo aku nggak deg-degan pas ketemu dia, berarti jantungku sudah berhenti bekerja", jawabku sewot.
Teh Nana tertawa. "Maksudku, kamu nggak merasakan sesuatu gitu setelah ketemu dia?"
"Bukannya dia ganteng banget sekarang?", godanya lagi.
Aku langsung menganga!
"Wah wah...orang yang biasanya nyuruh aku menundukkan pandangan malah bilang begini??", protesku.
Teh Nana selalu mengingatkanku tentang pentingnya menjaga pandangan sebagaimana Al Qur'an dan Hadits perintahkan sebagai penjagaan atas akidah, akal, harta, jiwa dan keturunan.
Dia tertawa. "Ya harus lihat konteksnya juga lah, Dek. Kalau urusan dua manusia yang sedang menuju jenjang pernikahan, pandangan seperti itu justru sangat diperlukan sehingga bisa mendorong kedua pihak untuk bersegera memutuskan", ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Brina Meet Brian
FanfictionBagaimana perasaanmu saat bertemu sosok yang sudah lama dikagumi? Brina, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Amerika itu tiba-tiba bertemu Brian, salah satu penyanyi Korea-Amerika yang sedang naik daun. Kesempatan datang padanya. Bukan hanya u...