Lampu-lampu yang bersinar terang di Bandar Udara Lisbon, Portugal, belum mampu membuat kesadaranku kembali. Setelah enam belas jam penerbangan dari LA, tubuhku terasa kaku. Mark mencoba membangunkanku dengan segelas kopi dari mesin minuman. Satu staf lain, bernama Kevin, membantuku membawa koper.
"Kita langsung bergabung ke hotel?", tanya Mark setelah melihatku selesai meneguk kopi yang diberikannya.
Aku mengangguk. Kami tiba tengah malam. Besok malam Brian akan membuka tur Eropanya di Lisbon, Portugal. Dan aku akan mendampinginya!
*****
Seminggu sebelumnya...
David tiba-tiba memintaku mendampingi Brian saat tur ke Eropa dan Amerika Utara selama dua bulan. Aku berusaha menolak karena sedang ingin fokus pada studi. Meski alasan sebenarnya lebih pada upaya menghindari Brian secara total.
"Apa kamu menghindari Brian?", David seolah membaca pikiranku.
Ya, pembicaraanku dan Brian terakhir kali tak berjalan baik.
"Brina, aku tahu rumitnya hubunganmu dengan Brian. Tapi aku berharap kalian tak melibatkan perasaan pribadi dalam hubungan profesional di tempat kerja", ujarnya. "Ian harus menyelesaikan banyak hal di Korea sehingga dia tidak bisa mendampingi Brian sepanjang turnya. Sementara kita semua disini juga sedang mempersiapkan album artis lainnya. Dan saat ini kita kekurangan tenaga", tegasnya.
"Oke", aku setuju setelah menarik nafas panjang.
"Terima kasih", sahutnya. "Maaf, karena memaksakan tugas ini padamu, Brin. Tapi aku tak punya banyak pilihan sekarang..."
"Aku paham, Dave", sahutku.
Anggap saja, aku sedang jalan-jalan. Habis perkara!
*****
"Hai...", aku menyapa Brian dan Ian seriang mungkin saat menemui mereka di restoran hotel pagi harinya. Lengkap dengan senyum lebar, yang kuharap bisa menutupi rasa gugupku.
"Hai Brin, bagaimana kabarmu?", tanya Ian.
"Good", aku menjawab singkat kemudian duduk di hadapan mereka berdua.
"Aku sudah mengatur semua hal terkait tur dengan promotor disini dan di tempat lainnya. Kamu hanya tinggal menjalankan jadwal dan hal-hal lain yang sudah disiapkan", ujar Ian padaku. "Tolong pastikan Brian selalu dalam kondisi prima, Brin. Telepon aku kapan saja kamu perlukan", pesannya lagi.
Ian hanya bisa mendampingi Brian di Lisbon. Setelah tur malam ini, dia akan kembali ke Korea. Sisanya, menjadi tugasku lah menggantikannya. Meski dalam hati ragu berat, tapi aku mengangguk yakin dan menjawab, "Oke", pada semua permintaannya.
Ian pergi sepuluh menit kemudian. Meninggalkan aku dan Brian yang masih duduk memegang gelas kopi dalam keheningan. Warna rambut Brian berganti blonde dan bagian depannya agak panjang sehingga menutupi matanya. Aku tak yakin, apakah tatanan rambut itu yang membuat Brian terlihat lebih kurus ataukah dia memang kehilangan berat badan. Tulang pipinya tampak semakin menonjol.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Brina Meet Brian
FanfictionBagaimana perasaanmu saat bertemu sosok yang sudah lama dikagumi? Brina, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Amerika itu tiba-tiba bertemu Brian, salah satu penyanyi Korea-Amerika yang sedang naik daun. Kesempatan datang padanya. Bukan hanya u...