Deep Talks

124 3 0
                                    

"Muchas gracias", Brian mengucapkan terima kasih pada supir taksi yang mengantarkan kami.

Lagi-lagi sebuah bangunan megah. Setelah dekat, barulah aku sadar bahwa tempat terakhir yang ingin didatangi Brian itu Katedral.

Ya, sekitar delapan puluh dua persen lebih masyarakat Mexico beragama Katolik, enam persennya Kristen, sisanya agama lain termasuk Islam. Konon jumlah Muslim tak lebih dari 0,01 persen dari total penduduk Mexico.

Jadi wajar jika lebih banyak Katedral dibanding Masjid disini. Hanya ada belasan jumlahnya di seluruh Mexico. Masjid pertama yang berdiri secara resmi adalah Mezquita Soraya yang terletak di Torreon, Coahuila dan baru berdiri tahun 1989.

Tergolong baru, setidaknya jika dibandingkan dengan Katedral Metropolitana yang merupakan bangunan warisan suku Aztec sebelum bangsa Spanyol menjajah Mexico itu. Lampu- lampu yang menyala semakin menonjolkan kemegahan arsitektur bangunannya.

 Lampu- lampu yang menyala semakin menonjolkan kemegahan arsitektur bangunannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ehmmm...aku akan menunggumu disini", ujarku canggung.

"Oke", Brian meninggalkanku.

Aku tak pernah masuk tempat ibadah agama lain kecuali jika tempat itu sudah tidak digunakan untuk beribadah lagi. Papah selalu mewanti-wanti ini pada kami, anak-anaknya.

Brian keluar sekitar tiga puluh menit kemudian. Padahal kukira dia akan cukup lama di dalam. Untunglah aku tak berkeliaran dan menunggunya di dekat pintu tadi.

"Keluargaku selalu mengikuti misa setiap minggu di gereja", suara Brian tiba-tiba. "Kami Katolik"

Aku menoleh. Brian bicara sambil memperlihatkan kalung salibnya. Aku sudah tahu itu.

"Apakah kamu tak mau singgah ke rumah ibadahmu?", tanyanya. "Mosque?"

Aku tersenyum. "Mungkin akan sulit mencarinya", ujarku.

"Bagaimana dengan di LA? Kamu tak pernah bertemu dengan komunitasmu?"

Aku menggeleng. "Mungkin aku kurang gaul", mengakui kelemahanku.

"Jadi bagaimana kamu beribadah?", tanyanya penasaran.

"Aku shalat dimana saja"

"Salat?", dia mengulangi.

Aku mengangguk. "Jika kalian melakukan misa di gereja, kami shalat. Hanya saja tempatnya tak harus di masjid, bisa dimana saja selama memungkinkan"

"Jadi kamu tadi juga salat...solat?", lidahnya kesulitan menirukan lafal huruf hijaiyah shad.

"Iya, aku shalat lima kali sehari", ujarku.

Wajahnya terkejut. "Bagaimana bisa? Bukankah akan menghabiskan banyak waktu?"

Aku tersenyum. Menggeleng. "Hanya sebentar", sahutku. Bukankah rata-rata kita shalat hanya sekitar lima hingga sepuluh menit? Tak banyak yang membaca surah panjang ketika shalat. Kecuali para ulama. Atau kita pada kondisi spesial semisal bulan ramadhan, bukan?

When Brina Meet BrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang