Mau Kemana Kita?

53 3 0
                                    

Pada dasarnya, perjalanan lintas negara yang kami lakukan, selalu bisa menggunakan pesawat karena Brian menjadi model iklan sebuah Maskapai penerbangan yang beroperasi hampir di semua kota yang kami singgahi. Tapi dia secara khusus meminta kakaknya mengatur beberapa perjalanan darat demi merasakan sensasi berbeda. Jika perjalanan Brussels-Belgia menuju Paris, Prancis menggunakan sleeper bus, maka Paris-Amsterdam-London akan menggunakan kereta cepat.

Aku gugup sekaligus exited. Pengalamanku dengan transportasi darat tak terlalu bagus. Naik kereta delapan jam dari Yogyakarta menuju Bandung selalu menjadi perjuangan untukku. Bahkan sekedar Bandung-Jakarta yang hanya tiga jam, aku tetap perlu obat anti mabuk perjalanan. Tapi aku juga penasaran karena belum pernah naik kereta cepat. Di Indonesia, baru tahap awal pembangunan kereta cepat Bandung-Jakarta. Entah kapan benar-benar bisa digunakan.

Kami berangkat dari Stasiun Paris Gare Du Nord sekitar pukul 16.30 setempat, menggunakan Thalys, kereta cepat yang dikelola perusahaan patungan Belgia, Prancis dan Jerman. Stasiun ini terlihat kuno, tapi cukup bersih dan ramai penumpang. Kereta berkepala seperti peluru dan berwarna merah itu datang tepat waktu. Kabinnya tidak terlalu panjang, hanya beberapa gerbong saja. Brian membuka macbook-nya dan memanfaatkan waktu itu untuk memantau berita dan membalas sejumlah email. Sementara aku menikmati pemandangan sepanjang jalan. Hamparan lahan pertanian, bukit-bukit, danau dan hutan. Juga lapangan sepakbola, sejumlah pabrik dan stasiun kereta yang kami lewati. Namun setelah satu jam, kepalaku mulai pusing. Mataku berusaha mencari Britney yang duduk entah dimana diantara kru kami di gerbong itu.

"Kenapa?", tanya Brian.

Aku menggeleng. Tapi Brian menutup macbook-nya dan berpindah duduk ke sebelahku. Dia membuka pouch tempat penyimpanan obat-obat daruratku dari dalam tas. Menaruh sesuatu ke telapak tanganku dan menyuruhku meminumnya. Setelahnya, dia mencoba menyelipkan tangannya di pelipisku yang tertutup pashmina. Aku otomatis menjauh.

"Ayolah, Brin. Aku hanya ingin membantumu", ujarnya sambil memperlihatkan botol minyak esensial yang memang selalu kubawa untuk mengatasi mabuk perjalananku.

"Minta Britney saja", suaraku pelan.

Brian menarik nafas panjang. "Ada aku disini", dia menolak dan tetap mengoleskannya sendiri ke pelipisku. Aku terpaksa diam. Lagipula, kepalaku terasa makin berputar. Tak lama aku pun tertidur.

 Tak lama aku pun tertidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Brina...kita hampir sampai", Brian membisik di telingaku. Aku menyadari, satu tangannya masih menggenggam tanganku sementara yang lain menepuk pelan pipiku.

Perjalanan kami berakhir di Stasiun Schiphol sekitar pukul 19.30 waktu setempat. Tak ada perbedaan waktu antara Paris dan Amsterdam. Matahari masih menyambut kami dengan sinarnya yang tajam karena belum waktunya tenggelam meski hari sudah malam.

*****

Tiga hari kemudian, kami menempuh perjalanan rute Amsterdam-London dengan kereta Eurostar. Untungnya, keadaanku tak terlalu buruk meski jarak tempuhnya satu jam lebih lama dibanding Paris-Amsterdam. Brian seperti biasa, sibuk sendiri dengan macbook-nya dan aku mencari cara agar tak mengulangi mabuk perjalanan yang sama. Akan memalukan jika harus dipapah Brian lagi saat keluar dari kereta.

When Brina Meet BrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang