Saat ragu mengikuti seleksi beasiswa pendidikan di UCLA, salah satu dosen pembimbingku meyakinkan, "Jangan takut jika harus menjadi minoritas. Kamu mungkin mengalami banyak kesulitan disana. Tapi bisa jadi, itulah jalan yang akan semakin mendekatkanmu dengan Allah SWT".
Saat itu, aku hanya diam mendengarkan petuah beliau. Tapi saat pembicaraan tentang agama mencuat diantara aku dan Alexa yang menjadi teman dekatku di kampus, Britney yang selama perjalanan di Mexico menjadi teman sekamarku, dan sekarang Brian, aku menyadari apa yang beliau katakan mungkin benar.
Sebelumnya, tak pernah aku begitu termotivasi belajar agama lagi setelah terakhir menyelesaikan mata kuliah Agama Islam sebanyak dua sks di semester awal perkuliahanku dulu. Tambahan lain, kajian di Masjid Al Lathiif atau Masjid Agung Trans Studio, Bandung . Itu pun hanya sesekali karena diseret Teh Nana, kakakku yang selalu mengenakan hijab syar'i itu.
Pertanyaan-pertanyaan lugas gaya Amerika mereka membuatku panas dingin. Pemahamanku terbatas. Lagipula, aku tak terlatih menyampaikan pemahaman agama pada orang lain. Berdakwah sebutannya, jika mengutip kata Teh Nana.
Siapalah aku sampai berani berdakwah? Tapi disini berbeda!
Aku, bisa jadi dinilai sebagai representasi perempuan Muslim Asia. Dan tak lucu rasanya jika tak bisa menjelaskan tentang apa yang kuyakini itu kepada mereka saat bertanya.
Siapa tahu hidayah datang pada mereka? Ya kan?? Atau minimal, mereka tak akan salah memahami Islam sebagaimana sekarang. Tiba-tiba pikiran itu melintas!
*****
Hari kelima. Pantai Acapulco.
Setelah shalat subuh, aku berkeliling mengamati bangunan vila. Dari depan, atap bangunan itu tampak berbentuk segitiga hingga hampir mendekati lantai. Kupikir kecil. Tapi setelah masuk, ternyata cukup luas. Ada lima kamar, dua di lantai atas dan tiga kamar di bawah. Lengkap dengan ruang tamu, dapur dan ruang makannya.
Aku dan Britney memilih tidur di bagian atas, sementara Brian dan Ian di lantai bawah. Kami pindah kemari malam-malam karena Brian ingin melihat sunrise.
Dari jauh, terlihat siluet tubuh di dekat garis pantai. Aku mendekat.
"Brian?"
Ia menoleh.
"Sedang apa?"
"Menunggu matahari terbit"
"Oke, tunggu...", ujarku sambil berbalik ke vila untuk mengambil kamera.
Kami menunggu matahari yang keluar perlahan dari garis batas laut sambil menyusuri pantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Brina Meet Brian
أدب الهواةBagaimana perasaanmu saat bertemu sosok yang sudah lama dikagumi? Brina, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Amerika itu tiba-tiba bertemu Brian, salah satu penyanyi Korea-Amerika yang sedang naik daun. Kesempatan datang padanya. Bukan hanya u...