💮 05

87 14 7
                                    


• Revival •

•••

“Kak, nanti masih jaga IGD ya?” tanya Areum sambil meletakkan semangkuk sup ayam yang baru saja selesai ia masak ke meja makan, di susul mendudukkan dirinya ke kursi di hadapan Yonghee.

Wajah Yonghee terangkat, mengalihkan atensinya dari buku yang sedang di bacanya dan menatap lembut pada istrinya, “iya,” angguknya.

Areum mulai menyendok sup yang baru saja di letakkannya ke meja ke dalam mangkuk kecil milik Yonghee dan menyodorkannya ke samping mangkuk nasi Yonghee.

“Kenapa?” tanya Yonghee, sambil menutup bukunya dan mulai menjauhkan buku tersebut sedikit jauh agar tidak terkena cipratan sup jikalau ia tidak berhati-hati saat makan.

Areum tersentak, entah kenapa, Areum masih sedikit gugup jika Yonghee balik bertanya padanya. Memang cukup aneh, tapi begitulah Areum, bahkan dadanya saja masih sering berdegup kencang jika suaminya melakukan hal-hal kecil yang membuatnya selalu merona. Areum ingin mengubur diri saja rasanya.

Dirinya merasa begitu beruntung bisa menikah dengan Yonghee. Sangat amat beruntung. Yonghee yang tersenyum dihadapannya berhasil membuat jantung Areum semakin berdisko di dalam sana.

“Mukamu merah, ada apa?” tanya Yonghee lagi, semakin membuat pipi Areum semakin merona.

“Ng-nggak, saya--“

“Jangan terus-terusan gugup, aku jadi takut,” potong Yonghee, terkekeh pelan karena sadar akan perilaku Areum sekarang.

Areum menatap Yonghee, “sa-- eh, ak-aku nggak gugup, Kak.”

“Nggak gugup tapi kok manggil diri kamu 'saya'? Aku hapal luar dalam tentang kamu.”

Rasanya malu. Sangat malu. Astaga. Areum harus apa?

Baru saja Areum berusaha untuk membuang rasa malu dan gugupnya, Yonghee membuatnya mengalihkan pikiran dan pandangannya lagi karena namanya yang di panggil.

“Ya?”

Mulut Yonghee sudah terbuka, namun niatnya ia kubur kembali. Bilah bibirnya terkatup, menghentikan perkataan yang hampir saja meluncur bebas dari mulutnya. Menyadari ia hampir menanyakan hal bodoh, Yonghee menggeleng-gelengkan kepala pelan, “nggak, ayo makan.”

Tanpa menjawab, Areum mengikuti apa yang dilakukan Yonghee. Keduanya menyantap hidangan sederhana itu hanya dalam diam. Tidak, bukan karena kegugupan yang terjadi pada Areum sebelum ini. Tapi memang seperti itulah suasana tiap kali mereka makan bersama. Hampir tidak ada interaksi, hanya fokus pada makanan masing-masing. Meski sekali-duakali keduanya mencuri-curi pandang satu sama lain atau menanyakan hal-hal kecil sekedar untuk berbasa-basi.

Perasaan canggung yang masih cukup melekat pada keduanya membuat suasana yang seharusnya menjadi suasana romantis bagi pasangan lain tidak berlaku bagi mereka. Nyatanya, pernikahan yang hampir menginjak tahun ke-tiga, tidak membuat mereka benar-benar saling terbuka satu sama lain.

Dan ini juga yang membingungkan keduanya. Kadang-kadang, mereka berpikir apakah pilihan mereka untuk menikah itu tepat, jika mereka masih bersikap canggung dan gugup satu sama lain? Walaupun keduanya mengaku sudah saling mengenal luar-dalam.

Masalahnya, keterbukaan yang dijelaskan secara lisan masih belum lancar terjadi. Kesibukan Yonghee di rumah sakit dan Areum yang biasa hanya bisa menyambut sang suami kala lelaki itu sudah di landa lelah sepulang bekerja, membuat keduanya memang tidak memiliki waktu terbaik untuk membicarakan perihal rumah tangga mereka berdua.

“Nanti jadi pergi bareng Haneul ke rumah Ayeong?”

Dirinya yang sedang membersihkan peralatan makan setelah keduanya sarapan sontak membalikkan tubuh, menghadap kembali pada Yonghee yang masih duduk di kursi meja makan di seberang meja bar sana.

“Iya, aku mau nengok Insu. Tadi malam waktu kami ngobrol di chat, kata kak Ayeong Insu lagi sakit. Terus kak Seunghun juga ikut buat periksa keadaan Insu.”

Tiba-tiba Yonghee tersenyum getir dan menunduk pelan, menurunkan perlahan pandangannya dari Areum.

“Kak? Mikirin anak lagi?”

Yonghee selalu menjadi seperti itu tiap kali mereka tanpa sengaja membicarakan hal yang menyangkut tentang anak-anak sahabatnya.

“Aku nggak apa-apa, Kak. Lagipula kita udah punya banyak anak. Kita punya Iseul-Insu, punya Micha, punya Yejun-Sejun, punya Hanjae juga. Walaupun mereka anak sahabat-sahabat kamu, tapi mereka juga seperti anak buat kita. Rumah kita juga pada deketan, aku yang kerja di rumah juga sering main sama mereka.”

Terkadang Areum memang merasa sedih mengenai itu. Terutama menengok pada para tetangga dimana tetangga mereka adalah sahabat-sahabat Yonghee semasa menengah atas yang memutuskan untuk saling bertetangga ketika sudah berumah tangga, sedikit banyaknya mengganggu pemikiran Yonghee dan Areum. Para keluarga kecil itu sudah di kelilingi oleh malaikat-malaikat kecil mereka. Sedangkan Yonghee dan Areum masih belum memiliki seorangpun.

“Dek?”

Areum paling tidak bisa jika Yonghee sudah memanggilnya seperti itu, karena suara Yonghee itu hangat. Terasa sangat menyejukkan. Lembut sekali. Areum mau pingsan rasanya--berlebihan memang editor kita satu ini.

Kata para istri sahabat-sahabat Yonghee, bagaimana Yonghee bisa selembut itu saat berbicara? Sementara suami mereka terlewat bar-bar--meski masih dalam konteks yang tidak menimbulkan pertengkaran.

“Kak Yonghee?” Areum tidak mau kalah, dirinya juga bisa memanggil lembut seperti suaminya memanggil dirinya. Walaupun tidak ada jaminan suaminya itu akan luluh dengan suaranya.

Yonghee mulai menatap penuh pada wajah Areum, tatapannya terlihat gemetar di kejauhan sana. Debaran gugup jantung Areum sekarang berubah menjadi sakit melihat raut Yonghee.

Seulas senyum tipis nampak di wajah Yonghee, “Maaf, dek.”

-----------💐

Jadi, bunga mana yang di tunggu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jadi, bunga mana yang di tunggu?

🌷/🌻/🌺/🏵️/💮

Atau semua bunganya di tunggu? 💐

Thanks for reading this book. Have a nice dream and keep fighting! 😆✊

[✓] Revival (Sequel of Strange Place) || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang