• Revival ••••
Areum berjalan ke arah kamarnya yang pintunya ia biarkan terbuka saat bangun lebih cepat tadi untuk menyiapkan beberapa hal di luar. Ia berjalan mengendap-endap seperti seorang yang ingin melakukan percobaan pencurian namun dengan wajah yang menahan senyum yang mengembang terlalu lebar, suara cekikikan nya pun masih cukup terdengar walau tangannya mencoba meredam belah bibirnya.
Sesampainya di sisi samping tempat tidur bagiannya, ia kemudian mencoba naik perlahan kesana dan melepas kedua tangannya dari mulut. Wajah tersenyumnya masih terangkai cantik dan kini kedua tangannya terlipat menjadi bantalan kepalanya sendiri yang menyampingkan tubuhnya mengarah pada suaminya yang masih tertidur.
Satu tangannya terangkat menuju dahi Yonghee, dimana disana ada perekat penurun panas yang ia pasangkan selepasnya suaminya itu pulang bekerja semalam. Areum sudah paham betul bagaimana reaksi tubuh Yonghee ketika hari kelahirannya datang, tubuh anak itu akan demam dan kadang di selingi nyeri ditubuhnya. Ada satu sisi baiknya, ketika tubuh Yonghee seperti itu maka anak itu juga akan mudah terlelap setelahnya.
Kemudian tangannya mulai mengusap pelan puncak kepala Yonghee lalu mulai turun perlahan menyusuri sisi wajah suaminya. Jelas ia khawatir, tapi selama Yonghee baik-baik saja ia tidak masalah.
Ketika usapannya berhenti di rahang Yonghee, tangannya mengusap berulang kali disana sampai pada akhirnya kedua kelopak mata yang tertutup tenang itu perlahan-lahan terbuka. Sontak tangan Areum menjauh, takut jika perbuatannya lah yang membangunkan anak itu yang justru langsung ditarik kembali oleh Yonghee sehingga tangannya kembali seperti semula.
“Kenapa di jauhin tangannya?” Yonghee bertanya sambil terus menahan tangannya di atas tangan Areum, kini tangannya juga mengusap-usap kecil tangan wanitanya itu.
“Soalnya Kakak jadi kebangun, jadi aku jauhin.”
“Jangan. Aku suka. Begini terus sebentar, ya. Kepalaku masih agak pusing.”
“Iya.”
Jadilah tangan Areum terus di tahan di sana, membiarkan Yonghee kembali memejamkan matanya sambil menikmati bagaimana tangan itu menyalurkan rasa hangat di sisi wajahnya.
“Dek?” panggilnya, tanpa membuka mata.
“Iya, Kak.”
“Ada yang mau kamu omongin, nggak?”
Areum mengulum bibirnya. Banyak, jika boleh jujur. Rentetan doa dan harapannya untuk hari lahir suaminya hari ini sudah tersusun berlembar-lembar di kepalanya.
“Aku boleh ngomong, Kak? Tapi, Kakak buka mata dulu, bisa?”
Dan Yonghee pun menurut, ia membuka matanya yang sebenarnya mengundang denyutan sakit di sekitaran kepalanya. Hanya saja, itu tidak begitu masalah untuknya. Istrinya lebih penting dari apapun yang ia rasakan saat ini.
Tiba-tiba, bukan pembicaraan yang dimulai Areum melainkan sebuah kecupan singkat di bibirnya lah yang menjadi pembuka.
“Selamat ulang tahun, Kak. Doa dan harapanku banyak banget untuk Kakak. Aku berharap Kakak selalu bahagia, selalu sehat, jangan terlalu memaksakan diri kalau memang sudah capek. Jangan pandang diri Kakak jelek, karena Kakak itu sempurna untuk hidupku. Aku bahagia banget punya pasangan hidup kayak Kakak, aku berharap kita selalu baik-baik aja tanpa pertengkaran sampai ke depannya. Kalaupun nanti kita ada bertengkar, kita bisa selesaikan baik-baik tapi—ku harap itu nggak terjadi. Jangan terlalu dipikirkan tentang anak, kalau memang sudah waktunya kita pasti bakal di kasih, Kak. Jadi, Kakak jangan khawatir. Kakak berhak hidup bahagia. Kakak juga bisa sedikit serakah asalkan Kakak senang, kalau memang sakit, nggak mau, nggak suka, Kakak bisa bilang. Aku nggak pernah nyesal untuk nikah sama Kakak, aku senang banget. Aku sayang Kakak, aku cinta banget sama Kakak. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Ayo, kita selalu bahagia bareng.”
Yonghee melepas tangannya yang menggenggam tangan Areum, kini satu tangannya itu berbalik menuju istrinya dan mengusap di sana. Senyumnya terangkai sepanjang Areum bicara menyampaikan ucapannya yang ia tau sebenarnya ungkapan itu masih banyak yang belum tersampaikan.
“Terima kasih,” jawabnya kemudian, “Terima kasih sudah bertahan sama aku. Terima kasih kesabarannya untuk hidup bareng aku. Terima kasih selalu dukung aku gimanapun itu. Semua rasa terima kasih untuk kamu, Dek. Aku juga bahagia hidup bareng kamu, terima kasih banyak.”
Areum mengangguk untuk itu, “Kak, bisa bangun sebentar?” pintanya lagi.
Wajah Yonghee sedikit bingung namun tetap menuruti kemauan Areum dibantu yang lebih muda untuk duduk dari tidurnya. Areum membiarkan Yonghee tetap berada di ranjang mereka sambil menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang sementara ia segera turun dari sana.
Areum berjalan ke arah lemari mereka dan setelah mendapatkan sesuatu yang ia cari, ia kemudian berjalan kembali ke ranjang lalu meletakkan satu kotak berukuran cukup besar di antara dirinya dan Yonghee.
“Ayo, Kak. Di buka,” ungkapnya antusias.
Jika boleh jujur, degupan di dada Areum berpacu sangat cepat dan ia juga tidak tau bagaimana kondisi wajahnya karena ia tidak bisa mengendalikan rona di wajahnya yang pastinya sudah muncul sedari tadi. Ia menjadi semakin gugup sekarang, menunggu Yonghee membuka kotak yang ia siapkan dari beberapa hari yang lalu itu.
Hanya satu barang sederhana yang berbeda dari hadiahnya di tahun-tahun sebelumnya. Sebuah hadiah yang mungkin nantinya akan berakhir ia gunakan juga. Meskipun ia ingin memilih berdasarkan seleranya karena kemungkinan itu, tapi—tidak, kali ini ia mencoba memberikan hadiah yang mengikuti selera Yonghee.
Yonghee tentu saja tersenyum senang saat melihat isinya. Sebuah padding dengan warna coklat dan sebuah amplop surat berukuran cukup kecil di tengah-tengah. Ia hendak meraih surat itu ketika tangannya mendadak di tahan oleh si pemberi, Yonghee seketika tertawa mendapatinya.
“Kenapa, Dek?”
“Jangan di buka sekarang, aku malu.”
“Astaga,” dan Yonghee sedikit menyingkirkan kotak tersebut dari tengah mereka yang kemudian menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, tubuhnya di goyang-goyang pelan dengan sengaja agar istri menggemaskannya bisa sedikit meredam rasa malunya yang terlihat lucu bagi Yonghee.
“Terima kasih banyak, sayang.”
Hanya dengan mendengar ungkapan sederhana itu, rona di wajah Areum semakin meningkat sampai ke telinganya yang membuatnya semakin mengeratkan tubuhnya pada Yonghee.
Sesaat setelahnya, Yonghee sedikit membuat jarak di antara dirinya dan sang istri. Menatap lurus di kedua bola mata indah yang selalu memberinya kekuatan, memberinya kehidupan yang lebih menyenangkan, memberikan segalanya yang lebih menarik di hidupnya. Sedikit demi sedikit, Yonghee mengikis jarak wajahnya dan wajah Areum. Napas mereka berdua mulai beradu di jarak yang hanya tinggal beberapa mili.
“Aku juga sayang banget sama kamu, Dek. Aku juga cinta banget sama kamu. Aku bersyukur ketemu sama kamu dan jadi bagian hidup kamu. Terima kasih juga untuk hadiahnya, aku suka.”
Areum berdengung sambil mengangguk bersama rona wajahnya yang tidak sirna, “Habis ini kita keluar, ya. Aku sudah siapin makanan untuk kita rayakan berdua, hehe.”
Dan Yonghee menghabiskan jarak mereka setelah mengangguk. Ia menyatukan bibirnya pada bibir Areum yang jarang untuk dirasakannya, mendiamkan bilah bibir mereka berdua selama beberapa saat dalam posisi yang sama sebelum akhirnya memulainya dengan lebih menuntut di pagi hari ini.Di antara suhu tubuhnya yang panas dan suhu tubuh Areum yang mulanya normal namun kini cukup merasa bahwa suhu tubuhnya mulai meninggi meski kamar mereka berada di bawah suhu yang sedikit rendah, mereka berdua menyalurkan rasa sayang yang menghangatkan masing-masing hati mereka yang bergemuruh dalam kegugupan yang ingin meledak.
-----------💐
🖼️ aareumin.cha
liked by a.yeong_ and 12 others
aareumin.cha Happy birthday for my lovely husband. I really loves you no matter what. Thank you for accepting me in your life. I always happy be with you.
Comments are disabled
-----------💐
Happy Yonghee Day 🥳🎉Terima kasih sudah membaca chapter yang bener-bener ditulis secara spontan ini 🤧
Ayo kita hype birthday Yonghee di twt, kajjaaaaa 😆✊
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Revival (Sequel of Strange Place) || CIX
FanfictionThis world is about give and take You are the only one who can heal me - Yonghee