🌺 13

74 9 3
                                    


• Revival •

•••

Jinyoung masih duduk bersandar di kepala ranjang di atas tempat tidur dengan sebuah buku di tangannya yang tengah terbuka ketika istrinya masuk ke kamar mereka.

“Masih belum selesai bacanya, Ayah?” Nari bertanya sembari naik ke atas ranjang keduanya, mengisi sisi bagiannya.

Jinyoung berdeham singkat sambil tersenyum dan membalik selembar kertas yang sudah tandas ia baca ke halaman selanjutnya.

“Kamu tidur dulu ya, sayang. Aku tidur kalau sudah habis satu bab. Soalnya lagi rame,” tangan Jinyoung yang terulur melingkar di sekitar bahu Nari sambil mengusap-usap di sana, sementara Nari sudah bertengger nyaman di dadanya dan menggeleng setuju untuk itu.

“Ayah?”

“Hm?”

“Bacanya bisa sambil ngobrol?”

Jinyoung melirik sedikit ke bawah di mana Nari mendongak ke atas demi melihatnya. Senyum masih terukir di wajah Jinyoung.

“Bisa.”

“Tapi fokus nggak bacanya? Kalo nggak fokus, aku tidur aja.”

Sebenarnya buku yang ia baca memang seru, hanya saja, jika mengabaikan istrinya pun malam ini rasanya salah. Ia sudah seharian bekerja dan tidak bertemu, masa ketika istrinya hanya minta untuk mengobrol Jinyoung akan melakukannya sambil membaca? Kemungkinan besar, ia akan asyik membaca dan berakhir menyahut Nari dengan abai.

Jadi Jinyoung menutup bukunya, meletakkannya di atas nakas samping kepala ranjangnya.

“Loh, Ayah, kok bukunya di tutup? Nggak apa-apa. Aku tidur aja kalo ayah susah sambil ngobrol sama aku.”

Jinyoung mengecup cepat puncak kepala Nari, “nggak bisa, sayang. Aku kangen sama Bundanya anak-anakku ini. Malah akunya kelepasan baca. Ayo, kita ngobrol.”

“Kamu mau ngobrol apa memangnya?” tanya Jinyoung setelah Nari hanya terdiam dalam buaian tangannya yang tiada henti mengusap.

“Aku tiba-tiba ingat. Dulu, waktu kita dititipkan Yejun di perut aku. Terus, empat tahun setelahnya, Sejun juga dititipkan di perut aku. Rasanya masih nggak nyangka sampe sekarang, kalau aku sudah punya dua jagoan yang benar-benar aku kandung dan lahirkan.”

“Aku juga ingat banget, kamu sampai nggak percaya sama lima test pack yang kamu pake. Waktu Sejun, aku malah belikan hampir sepuluh test pack, tapi kamu tetap aja nggak percaya kalau aja kita nggak periksa ke dokter.”

Nari memukul pelan dada Jinyoung, wajahnya tiba-tiba bersemu merah.
“Aku kan susah percaya, kayak nggak mungkin. Soalnya yang muntah, sakit, sampe lemes gitu kan kamu. Sampe pucet banget.”

Dan Jinyoung terkekeh karena itu, “aku cinta banget sama kamu, ya. Sampai sakitnya morning sick pun aku yang rasain.”

Suasana hening kembali. Tangan Nari naik perlahan ke atas dada Jinyoung yang dekat dengan wajahnya, jari-jari tangan itu mulai dengan sengaja menggambar abstrak di atas tubuh suaminya.

Lalu Jinyoung kembali bersuara, “kita jarang banget pergi jalan sekeluarga, Bun. Sekali pergi, malah ke tempat Buna atau Mama.”

Kepala Nari sedikit terangkat demi bisa melirik sekilas sisi wajah Jinyoung dari bawah, “lain kali kita pergi, Yah. Lagipula aku sama anak-anak, ngerti kalau kamu kerja buat kita sampai jarang dapat waktu banyak buat libur. Kalau libur pun, aku tau kamu capek, jadi lebih baik digunakan buat kamu istirahat.”

Senyum Jinyoung mengembang tipis di sela helaan napasnya. Istri dan anaknya peduli tentangnya, tapi ia pikir, ia sedikit egois untuk mereka di atas kewajiban yang harus ia lakukan. Berada di rumah bukan berarti bebas tugas sepenuhnya dari pekerjaan kantor, sering kali Jinyoung juga membawa pekerjaannya itu pulang dan membuatnya bekerja meski di rumah lalu menghabiskan waktu untuk beristirahat setelahnya.

Lagi-lagi Jinyoung menghela napas tipis memikirkannya.

“Ayah?”

“Yes, moonlight.”

Nari refleks mengangkat tubuhnya, ia menatap Jinyoung dengan mata mengerjap pelan. Sementara Jinyoung yang masih berbaring di posisinya tertawa kecil melihat itu.

“Kenapa?” tanyanya.

“Itu—“ ucapan Nari terputus sejenak, di kepalanya masih sibuk untuk mengatur kata yang sebenarnya mudah untuk dikatakan jika tidak seperti ini, “itu— panggilan itu—”

Yes, moonlight? Kenapa?”

Nari membenamkan wajahnya di kasur mereka tepat di samping tubuh Jinyoung. Posisi tubuhnya terlihat seperti bersujud ke dalam kasur. Tangannya memukul-mukul pelan di sana sambil terus menyembunyikan wajah, sampai ia mengangkat wajahnya kembali, wajah itu benar-benar sudah berubah merah padam.

“Kamu nggak pernah panggil aku begitu lagi semenjak kita nikah. Kenapa jadi tiba-tiba?”

“Tiba-tiba aja, moonlight,” sahutnya, tangannya menarik kembali tubuh Nari agar tubuh mungil itu berbaring lagi dan sekarang sedikit berada di atas tubuhnya. “Beberapa hari lalu aku dengar Byounggon panggil Ayeong pake sebutan 'heart'. Terus aku jadi ingat kalo dulu aku juga punya panggilan begitu buat kamu. Aku baru sadar juga kalo selama kita nikah, aku nggak pernah panggil kamu begitu lagi. Apalagi sewaktu sudah ada Yejun, aku panggil kamu 'bunda' buat biasakan Yejun,” sambungnya dengan tangan membelai kepala Nari yang bersandar tepat di dadanya.

“Nggak apa-apa, kan? Aku panggil begitu lagi? Soalnya aku suka panggilan itu ditujukan buat kamu dari aku.”

Nari tidak bisa berkata apapun lagi. Wajahnya merah dan panas. Suhu rendah di ruangan kamar mereka telah kalah telak dengan rasa membuncah di dirinya yang sudah begitu penuh saat ini hanya lantaran satu panggilan Jinyoung. Ia tidak bisa lagi untuk menanggapi bagaimana, yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk di atas dada Jinyoung tapi masih tetap menyembunyikan wajah.

Look at me, moonlight. I'm in the mood for kiss you if you do like that, should I?

“Ayah..”

Dan kecupan kilat Nari buat setelah rengekannya karena malu. Iya, kecupan kilat. Wanitanya Jinyoung itu mengangkat wajah dalam hitungan sepersekian detik lalu dengan cepat membubuhkan kecupan di bibir Jinyoung yang kini mengundang tawa geli dari ayah dua anak itu.

Sungguh, saat Nari sedang malu Jinyoung benar-benar merasa gemas akan hal itu. Mereka sudah memiliki dua orang putra, tapi saat di goda sedikit saja, istrinya akan langsung merasa begitu malu dan itu sangat menggemaskan di mata Jinyoung.

“Kok sebentar, Bun? Ayah maunya lama.”

“Nggak. Aku malu. Ayah tidur aja.”

-----------💐

Sebenarnya panggilan moonlight itu punyanya tunangan Jinyoung di buku satunya 😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebenarnya panggilan moonlight itu punyanya tunangan Jinyoung di buku satunya 😂

Kalau Jinyoung yang punya panggilan itu buat pasangannya saya mikirnya cocok aja gitu. Apalagi di buku ini kan sudah nikah, bukan cuman tunangan aja 😁

Siapa tau ada yang mau liat Jinyoung panggil-panggil moonlight ke tunangannya bisa mampir ke buku sebelah yang In Your Grab Hand, hihihi (ʘᴗʘ✿) saya promosi dikit yak

Okee, terima kasih banyak sudah membaca buku ini. Have a great day (≧▽≦) walaupun hari benar-benar panas ✊

[✓] Revival (Sequel of Strange Place) || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang