🌷 18

69 11 11
                                    

• Revival •

•••

Bicara tentang malam hari yang sangat melelahkan, Byounggon seringkali kelepasan pada kebiasaan lampaunya. Minum dan merokok. Kali ini, ia memilih mengambil kotak rokok yang ia simpan di nakas samping ranjang mereka, tanpa minuman yang akan menghangatkan setelahnya—karena jujur, sulit untuknya diam-diam menyusupkan minuman, berbeda dengan rokok yang bisa ia kantongi. Pikirnya, malam ini cukup rokok saja walau sebenarnya bukan hanya lelah yang membuat ia melakukannya melainkan juga hal lain yang terus menjadi bahan pikirannya.

Saat menyadari spasi di sampingnya telah kosong, Ayeong bergerak kecil, matanya mulai mengerjap. Ia mendudukkan dirinya dengan pelan sambil menyipitkan mata ke arah jam dinding di kamar mereka yang menunjuk ke angka satu dini hari.

Menengok ke arah belakang tubuhnya, ternyata pintu balkon kamar mereka sedikit terbuka dan pantas saja tubuhnya merasa lebih dingin meski suhu ruangan dibuat hangat.

Sejujurnya ia tidak ingin melakukan kebiasaan yang selama ini ia lakukan saat suaminya pergi ke balkon di tengah malam. Namun instingnya bergerak tanpa permisi mengikuti kebiasaan yang tidak bisa ia elak, meski ia sudah berusaha mengubah kebiasaan-kebiasaan kecil dengan memberi jarak yang jelas selama beberapa hari terakhir ini.

Ia perlahan menarik kakinya keluar dari ranjang menuju ke arah balkon. Pintu itu di geser pelan seiring tengokan sosok yang sedang ia cari mengarah padanya. Senyum melengkung di bibir Ayeong, matanya masih menyipit, namun ia tetap berjalan mendekat kemudian mengisi kursi rotan yang di sekat oleh meja bundar sebagai pemisahnya dengan kursi yang sedang Byounggon isi.

“Capek, Pu?” Ayeong bertanya dengan pelan, kepalanya mengarah pada Byounggon sambil bertopang di sisi wajahnya dan sikunya bertopang di pahanya.

Byounggon tersenyum tipis, kepulan asapnya mendominasi diantara mereka, dehaman menjadi jawabannya.

Ayeong melepas topangan tangannya pada wajah, menengadah kearah Byounggon.
Meski kedua alisnya nampak terangkat tinggi melihat tangan Ayeong, pada akhirnya, Byounggon akan selalu mengerti maksudnya.

Ia menyerahkan tangannya dengan posisi telapaknya yang terbuka, sehingga bagian bara dari ujung rokoknya yang menyala terarah ke bawah. Tanpa menunggu lama, Ayeong menarik puntung rokok yang baru terbakar sedikit itu dan mematikannya di asbak yang berada di atas meja bundar di tengah-tengah mereka.

Setelahnya, Ayeong bangkit perlahan. Ia mendekati Byounggon dan duduk di atas pangkuan suaminya itu dengan menghadap ke suaminya. Tangannya ia lingkarkan di leher Byounggon, matanya menatap kedua mata jernih Byounggon yang terkena pantulan sinar bulan di belakangnya secara bergantian, tidak lupa dengan senyuman manisnya yang selalu Byounggon sukai.

“Ada aku. Lebih baik gunakan aku ketimbang rokok. Kamu bilang sendiri, aku jauh lebih bikin kamu candu ketimbang rokok apalagi minuman. Kenapa malam ini aku hampir kalah?”

Byounggon tak serta merta menjawab, ia justru tersenyum. Perlahan, tangannya melingkari bagian perut Ayeong dan menarik tubuh mungil itu agar semakin memangkas jarak di antara keduanya. Namun Byounggon masih diam, sambil menyelami tatapan istrinya yang hanya tertuju padanya saat ini, membiarkan wanitanya itu untuk bicara lebih lanjut.

“Kamu sudah janji. Kenapa masih dilanggar? Aku kecewa, Pu.”

Satu tangan Byounggon lepas dari pinggang Ayeong, tangannya terangkat tinggi mengarah pada sisi wajah istrinya itu dan mulai menyisir rambut yang terjuntai ke belakang telinga, “sesekali aku beneran butuh rokok, cintaku. Tapi—oke, canduku lebih besar ke kamu sebenarnya. Kamu tetap candu nomor satu ku, heart.”

[✓] Revival (Sequel of Strange Place) || CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang