Mimpi.
Mimpi.
Segalanya cuma mimpi. Jaemin masih ada di sini. Semuanya masih baik-baik saja.
Namun itu cuma sebatas harapan agar kepergian Shin Jaemin hanyalah bunga tidur. Jika aku penulisnya, maka akan kutulis ulang kisahku agar Jaemin tetap di sini. Namun seolah akulah lakon penulis lain dari kehidupanku sendiri. Sekarang aku mengerti bagaimana rasa sesungguhnya membuat kisah menyakitkan.
Adikku memang sudah tiada. Rasanya baru kemarin, dua puluh dua tahun yang kujalani bersama kemudian direnggut hanya dalam semalam. Mengingat setiap bagian dirinya yang tertinggal masih seperti mimpi. Ingatanku meraba-raba berapa kali aku marah padanya. Seberapa banyak waktu yang kupunya untuk dihabiskan satu tahun dengannya. Seberapa sering aku mendengarnya. Payahnya, aku tidak bisa mengingat semua yang telah kulakukan kecuali sikap burukku.
Sungguh, rasanya baru kemarin. Sabtu siang ketika dia selalu menangis sesunggukan sembari melarangku pergi les sekadar minta ditemani main panjat. Rasanya baru kemarin aku mengantarnya ke kamar mandi di jam tiga Subuh. Baru kemarin Jaemin kecilku yang manis pergi sekolah sendiri dan menjadi adik yang mulai tumbuh dewasa. Rasanya... masih sama seperti malam dia menghubungiku dan mengatakan ingin menjadi seorang paman. Masih seperti ketika dia membuka pikiran jujurnya tentang bisnis masa depan. Aku sungguh tidak ingin percaya pria muda nan manis yang beberapa malam lalu masih tersenyum padaku telah hilang dalam sekejap saja.
"Aku tahu," bisikku ketika kami memasuki rumah. Mengingat satu hal yang kuyakini, tenagaku seolah terkumpul.
"Apa?" tanya Jeon yang hendak membantuku melepas alas kaki.
"Aku tahu." Hanya itu yang bisa kukatakan sambil menarik beringas tanganku darinya. Tanpa melepas sepatu, tubuhku berjalan sigap memasuki kamar. Aku mengambil tasku dan menumpahkan isinya. Dengan gemetaran kusingkirkan satu persatu barang—slip kafe, pulpen, buku catatan—tidak ada benda yang kucari di antaranya. Dengan gerakan gelisah kubuka satu persatu laci di kamar. Tidak juga di sini. Otakku kesulitan mengingat. Akalku seperti dijamah kepanikan.
"Apa yang kau cari?"
"Aku tahu."
"Runa." Jeon menahan tanganku dan aku menepisnya lebih kuat saat berlari meninggalkan rumah menuju sunroom. Murkaku kian meluap mengingat Jaemin berakhir dengan cara tragis hingga tidak bisa mendengar Jeon dengan jelas setiap kali dia menyebut namaku atau memintaku lebih tenang.
"Kita bicarakan nanti. Mandi dan istirahat dulu." Jeon masih berusah mencekal tanganku saat aku membuka laci meja satu persatu. Aku tidak ingin mendengar Jeon untuk sekarang.
Ia kembali membekuk tangan kiriku yang hendak menarik laci lainnya. Segera kutarik tanganku penuh kekuatan sampai tulang pergelanganku membentur meja dan menimbulkan bunyi cukup keras. Namun aku tidak peduli rasa sakitnya. Aku terus bergerak membuka laci satu demi satu.
"Aku tahu. Aku membacanya." Rahangku gemetaran seperti orang menggigil. Seberapa seringnya dia menahanku, sesering itu pula kusentak tanganku dengan amarah yang seolah menjilat-jilat tubuh.
"Kita cari bersama, tapi kumohon tenangkan dirimu terlebih dulu."
"Aku tahu, aku melihatnya, aku pergi ke Goyeongsang malam itu," panik, terus kucari surat dari Lee Hwi Jae hingga Jeon tidak memiliki kesempatan bicara, "aku bertermu dengannya. Aku sungguh, sungguh bertemu dengannya. Kami bicara, lalu..." suaraku terdengar serampangan dan tidak jelas intinya. Tetapi aku mencoba menjelaskan apa yang bisa kukatakan. "Saat itu kami bicara, tidak, bukan, dia memberiku surat, lalu..."
"Siapa?"
Air mataku merebak dan dalam sentak kuat kuputar tubuhku menghadapnya. "Kami berbicara banyak," kataku lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...