"Aku tidak yakin."
Aku mengatakan itu dengan jelas setelah memasang anting terakhir di telinga.
Bayangan wajahku di cermin agak pucat meskipun tubuhku terasa pas dengan gaun kiriman nenek Lucy. Setidaknya penampilanku membantu menutupi kegelisahan rautku.
Terkait gaun, Jeon tidak protes tentang gaunnya, atau jengkal kulitku yang terbuka. Dia sudah mengatakan cantik sebanyak dua kali, dan satu kali lewat bisikan. Tetapi malam ini aku terus berdebat dengan diriku sendiri bahwa tidak seharusnya aku di sini, datang dan berkumpul bersama keluarga Jeon yang lainnya.
"Aku ragu." Sekali lagi aku bicara serupa bisikan dan menunduk memperhatikan ujung sandal ruangan yang belum kulepas sejak keluar dari kamar mandi.
Baru pada saat itulah aku merasakan kehadiran Jeon di belakangku melalui aromanya yang tercium jelas. Dia membuyarkan lamunanku dengan eksistensinya. Kemudian tangan kanannya memeluk bahuku, dan tangan kirinya melilit pinggangku.
Jeon sedikit merendahkan badannya agar pipinya sejajar dengan pipiku sedang dagunya berlabuh di pundakku. Kini aku bisa melihat senyum manis dan kedamaian turut andil di wajahnya.
"Mereka akan senang bertemu denganmu."
"Masalahnya, keluarga ini punya lebih dari satu etnik, Jeon. Mereka tinggal di negara berbeda. Aku takut salah bicara."
"Mereka tahu budaya Korea, mereka semua pandai berbahasa Korea."
Aku menoleh padanya. "Sungguh? Kau tidak katakan ini sebelumnya."
Dia mengangkat sebelah alisnya, berpikir sejenak. "Kau tidak tanya."
Aku sontak membalik badan dalam sekali putar, membuat ia mundur dan mengurai pelukan kami. "Apakah aku harus selalu bertanya sementara kau bisa menjelaskan? Kau tidak katakan padaku tentang semua keluargamu bisa berbahasa Korea."
"Kau sudah tidur saat aku bilang." Setelah menjelaskan itu, Jeon memeluk pinggangku. Pelukannya seakan menyatakan aku miliknya.
"Oh, ya?" Alisku bertaut tinggi. Aku ingat, malam itu aku jatuh terlelap saat Jeon masih berbicara.
"Nenek ingin semua yg bergabung ke keluarga ini pandai berbahasa Korea."
"Hanya itu syaratnya?"
"Ya."
Aku agak merengut, karena suasana hatiku belum membaik. Lalu jemariku berlabuh membelai kepala dasi Jeon, kemudian sedikit menyempurnakan posisi simpulnya.
"Karena Korea adalah kewarganegaraannya?" Aku menengadah, menelisik matanya.
Jeon mengangguk pelan dibarengi senyum. Aku menatap bibir merah mudanya yang melengkung alami. Dia indah dari berbagai sisi.
Ah, kalau sedang berdiri berhadapan dengan Jeon dari jarak dekat, rasanya aku ingin memiliki anak perempuan. Tetapi jika ingat sikap Jeon, aku ingin kami punya anak laki-laki yang kelak bisa diandalkan.
Kemudian telunjukku menyentuh secara halus pangkal hidungnya dan menarik garis lurus di tulang mancungnya menuju cuping, lalu semakin turun mengukir busur bibirnya yang membentuk dua lekukan sempurna menyerupai huruf M.
"Mungkin ini terdengar kekanakan untukmu, tapi aku membutuhkan sesuatu sekarang," ucapku.
Aku memindai tatapan dari mata Jeon turun ke bibirnya. "Bisakah aku mendapat ciuman lagi? Supaya tenang."
Tanpa kuminta dua kali Jeon langsung memindahkan sebelah tangannya masuk ke dalam untaian rambutku. Dan Jeon selalu tahu cara ampuh membuatku merasa lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...