Pergulatan batin itu masih berlanjut sampai esok harinya. Ketakutanku berubah menjadi kegelisahan yang memicu kurangnya tidur.
Terus kupandangi wajah Jeon yang tertidur pulas sambil memupuk ribuan pertanyaan, praduga acak, dan klausa mengerikan.
Bulu mata, alis, hidung, bibir—pandanganku mengurutkan apa yang bisa kujajaki di wajahnya, lalu berasak dari selimut, berhati-hati melangkah turun dari kasur untuk mengambil amplop putih.
Tertera nama instansi rumah sakit bertinta hijau pudar di bagian kanan atas. Aku membaca ulang hasil pemeriksaanku dan semua yang ada di dalamnya kurasa cukup jelas. Begitu melihatnya, Aku yakin Jeon akan langsung mengerti.
Subuh itu napasku sedikit lebih pendek saat menyimpan kembali amplopnya. Aku ingin membuat kejutan sekali lagi. Ini agak menyakitkan untukku atau mungkin bagi kami. Namun mengingat cara Jeon selama ini memperlakukanku, aku yakin Jeon punya alasan mutlak untuk membuatku pulih.
Pada hakikatnya aku masih percaya Jeon adalah pria yang sama seperti pria yang berani menuntunku keluar dari rumah.
Bukankah Jeon memang seperti itu? Seolah ditakdirkan meringankan kepedihanku. Dia datang padaku bagaikan malaikat yang bertugas melimpahkan banyak cinta sebagai jaminan agar aku tak bisa pergi ke mana-mana. Seperti lentera dalam lorong gelap tiada ujung. Seperti penawar mujarab penghapus luka.
Jeon masih seperti itu, kan?
Aku masih ingin melihat Jeon yang sama. Jeon yang kemarin masih menghubungiku melalui sambungan video ketika rindu atau Jeon yang jago membuatku memendam rindu dan tak tahu kapan aku bisa menyentuhnya.
Bagaimanapun aku ingin rasa penasaran ini meninggalkan hatiku secepatnya. Dan sudah kubilang, pura-pura atau tidak tahu sama sekali akan jauh lebih melegakkan untukku.
Aku mengedip-edipkan mataku dan menarik napas dari mulut, mencegah agar air mataku tak tumpah. Kami harus baik-baik saja. Sumpahku dalam hati.
Pagi itu aku kembali ke kasur, mengambil waktu berbaring sampai alarm berbunyi. Tidak tertidur.
"Tanganku gemetaran sejak bangun tidur," ucapku pada Jeon yang sedang mengancingi lengan kemeja.
"Kenapa?" Dia mengangkat pandangannya padaku dan kembali beralih pada kancing lengan lainnya.
"Entahlah. Mungkin karena aku baru dapat pesan dari sutradara." Aku meletakkan satu stel jas kerja biru tua dan dasi yang kuambil dari ruang ganti, lalu meletakkan di tepi kasur yang sudah rapi. "Bagaimana menurutmu? Aku gugup sekali. Aku harus bicara lagi di muka publik. Ada banyak reporter berita dan kamera."
"Kau sudah melakukan itu sebelumnya, benar?"
"Rasanya berbeda," kataku pelan. "Sutradara bilang aku harus bersiap kalau ada dari mereka yang menyinggung pernikahanku. Penulis yang sudah menikah tentu menjadi ketertarikan sendiri. Mereka pasti membandingkan tulisan naskahku sebelum dan sesudah memiliki suami."
Jeon berjalan mendekat padaku dan menangkup rahangku agar aku mendongak padanya. "Kau bisa."
"Aku gugup sekali. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Misalnya salah bicara kalau suamiku kaya raya, mapan, tampan luar-dalam."
Jeon tertawa kalem. "Lakukan yang terbaik. Aku percaya padamu."
"Kalau begitu aku butuh saran warna atau menurutmu pakaian seperti apa yang pantas? Aku butuh pertimbangan direktur mode kelas dunia."
Selagi dia berpikir aku memuaskan diri menghirup wangi garam laut yang terlanjur dihafal penciumanku. Wangi paling kuat selalu berasal dari leher bersihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...