06| Tell Me About Yourself

32.3K 5.5K 2K
                                    

Entah kapan Jeon datang.

Tetapi ketika aku keluar dari kamar mandi sosoknya muncul di depan meja makan. Wajahnya kaku saat tengah berbicara dengan seorang pelayan.

Beberapa saat lalu aku terpaksa muntah di kloset karena tidak tahan dengan bau citrus yang seolah melekat di lubang hidungku.

Kini jeruk-jeruk penyebabku muntah sudah musnah dari meja makan. Dihabiskan atau bagaimana. Entahlah.

Jeon memutar badan, dan agak terperanjat melihatku seolah ada sesuatu yang salah.

Dia melesat menghampiriku dengan raut cemas. "Kau oke?"

Aku cuma bisa mengangguk dan menyahut pelan. "Sedikit masalah dengan pencernaan."

Jawabanku tidak sepenuhnya berbohong. Tetapi alis Jeon mengernyit. "Wajahmu pucat."

Aku menangkup pipiku. "Terlihat jelas?"

"Karena jeruk?" Kerutan muncul di dahinya.

Aku menggeleng. "Sudahlah. Tidak apa-apa."

"Jeruknya sudah disingkirkan."

Aku tertawa redup. "Terlalu berlebihan, Jeon."

"Nanti kau sakit," ujarnya tetap serius.

Bahuku melesak turun. Aku memberikan pandangan terkesima. Oh, Ya Tuhan betapa perhatiannya Jeon dan betapa beruntungnya aku.

"Jeruk takkan membuatku sakit."

Wajah Jeon pias, tetapi aku bisa melihat banyak kekhawatiran. "Esperidoeidiphobia* menjadi masalah jika diabaikan."

Es—apa? Aku bahkan kesulitan menghapalnya. Tetapi Jeon menyebutnya dengan lidah luwes.

*phobia citrus

"Kenapa tidak bilang apa pun tentang citrus, my sweetheart?"

Kami berdua kompak menoleh ke sumber suara. Ibu mertuaku berjalan terbirit-birit mendekat. Di tangannya menenteng kantung hijau tua.

"Ayo, kemarilah." Beliau menarik tanganku tidak sabaran dan menyuruhku duduk di kursi dapur kemudian membuka kantong berisi obat.

Diserahkannya sebungkus kecil daun kering kepada pelayan sambil memberi isyarat dengan anggukan kepala agar pelayan itu menyeduhnya. Sebagai orang Korea aku pun tidak tahu apakah isi bungkusan tadi semacam teh atau tanaman obat.

"Perutmu pasti tidak nyaman." Mama menarik tanganku, dan mataku melebar saat dia mengeluarkan jarum kecil.

Aku terkejut dan ngeri dalam satu waktu. "Mama, aku baik-baik saja. Kondisiku sudah lebih baik."

"Tidak boleh dibiarkan. Perutmu pasti tidak nyaman."

Aku membuka mulut dan menutupnya lagi karena tidak mampu protes. Kubiarkan ibu mertuaku bertindak sesuka hati.

"Oh, ya ampun, my sweetheart. Runa-ku, sabar ya. Nanti pasti sembuh."

Dia menusuk ibu jariku dengan ujung jarum. Mengejutkan dan terasa seperti disengat. Bagian itu mulai berdarah, yang kutahu ini semacam teknik akupuntur.

"Saat di Cina ibu mertuaku sering mengobati dengan cara begini." Mama membersihkan darahku dan mulai bercerita. "Keluarga suamiku menjadikan tanaman herba sebagai obat. Mulai dari sarang burung walet, akar gingseng bahkan ada pula ramuan yang memakai sirip hiu kering. Sekarang aku senang bisa menerapkan bakatku padamu."

Aku tersenyum tulus mendengar penuturan beliau. Aku mendongak pada Jeon yang berdiri di sampingku. Kami bertukar senyum, lalu kembali memerhatikan ibu mertuaku yang sedang menghentikan darahnya. Secara keseluruhan kondisiku merasa jauh lebih nyaman.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang