Pada hari yang sama Lana Shein berkunjung ke rumah. Mampir sekaligus mengantar pakaian. Lana menyiapkan sepotong gaun yang nantinya wajib kupakai saat makan malam keluarga besar Hwang Lucy di Singapura enam hari lagi.
Aku menggiring Lana ke kamar ganti setelah dia bilang ingin membantuku mencocokan gaun.
"Bibi Ivy akan datang." Lana memberitahu.
Aku diam. Tidak memiliki jawaban pasti.
"Kalau bibi Ivy bicara macam-macam jangan diambil hati." Lana meletakkan tas pakaian ke sofa persegi berkulit hitam dan mengeluarkan isinya. "Tentu kau masih ingat bibi Ivy, kan?"
Aku berputar menghadapnya. Tidak bersuara namun mengangguk muram. Ingatan tentang siapa Ivy Tsai dan perawakannya masih segar dalam kepalaku. Pesta pernikahanku menjadi awal mula kami bertemu.
Aku ingat bagaimana Ivy menjadi wanita 60-an nyentrik dengan kostum merah menyala bermotif bulu angsa mengikuti bentuk badan rancangan Calvin Luo. Anting berlian Yoko London yang terpasang di telinganya berayun-ayun selaras gerakan badan. Tangannya setia mengibas-ibas kipas berbulu ke arah wajah dengan gencar. Seolah-olah kulitnya tidak memiki resapan keringat. Sikapnya agak sembrono. Aksennya ketika bicara denganku lumayan kasar.
Tebak apa yang terburuk?
Hal paling buruk adalah, menorehkan nama Ivy Tsai sebagai tamu undangan VIP. Itulah yang terburuk. Pada dasarnya aku bisa menjadi jahat kepada mereka yang tidak menyukaiku tanpa alasan. Dulu aku selalu berpikir akan mematahkan leher para perempuan jahat. Namun semakin bertambah usia, pikiran-pikiran ekstrim itu hilang entah ke mana.
Sama seperti Ivy Tsai, aku ingin melakukan kejahatan padanya. Sebatas melotot atau berujar ketus. Pertemuan pertama kami jelas tidak meninggalkan impresi baik baginya maupun untukku. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Dalam bahasa Cina (aku pernah belajar dua tahun saat bekerja di kantor penerjemah) dia berbicara satire; 'Alamak, ini yang menikah dengan keponakanku' atau kalimat lain; 'Aiyah, kerja apa? Memang punya bisnis' kata-kata pedas itu hanya membuatku membisu dan menelan amarah tanpa mengatakannya pada siapa-siapa.
Beruntungnya selama itu pula Sabrina Tsai, putri kedua Ivy dengan mudah mengembalikan moodku. Acap kali Sabrina diam-diam meminta maaf padaku atas sikap Ivy. Sabrina menuding ibunya tergila-gila pada pengusaha. Terutama saudagar kaya. Dari penjelasan itu aku bisa menyimpulkan, bibi Ivy tak akan pernah menyukaiku karena aku bukan bagian dari mereka, dalam konteks lain.
Aku jelas bukan pebisnis. Sementara garis takdir keluarga suamiku adalah pengusaha sejak muda. Mereka terlahir dalam DNA berhubungan dengan orang-orang yang berasal dari kelas mereka: dengan siapa pun yang terlahir kaya atau ningrat. Lana yang merupakan cucu kedua pun adalah satu dari sepuluh pengusaha keramik paling terkenal dari Korea.
Aku tentu tidak boleh membandingkan diriku dengan mereka. Tetapi sekarang aku tahu satu-satunya kesalahanku di mata Ivy Tsai. Mungkin juga di mata beberapa anggota keluarga Jeon. Ini membuatku terluka, bahwa aku belum seratus persen diterima.
"Coba kita lihat." Lana memegang kedua sisi tali pada gaun yang nyaris menyentuh lantai, ia memadukannya ke depan badanku. "Kau suka warnanya?"
Aku mengangguk semangat. "Cantik sekali."
Gaunnya menyinggung rasa estetikku. Bercorak geometris gaya bohemian, v-neck—berpotongan dada rendah, yang sudah pasti bakal memperlihatkan sisi dalam payudaraku. Kurasa aku tidak membutuhkan bra saat malam itu tiba.
Warnanya hijau tua dipadu serat-serat emas vertikal. Bagian yang mempercantik adalah taburan kristal Swarovski di bagian pinggang sebelah kanan. Tingginya semata kaki. Tapi sedikit lebih panjang untukku. Mungkin solusi heels tujuh senti menolong agar gaun itu tidak mempersulitku berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...