Bagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu?
•
Aku mengalaminya.
Aku sedang menjalaninya.
Aku menikahi pria yang tidak tersentuh.
Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
__ __ __
Aku meninggalkan penginapan ketika jalanan masih diselubungi kabut tipis. Teman Jeon, yang ternyata merupakan teman semasa SMA sudah mengatakan padaku agar sebaiknya menunggu satu jam atau paling tidak sampai matahari terbit. Tetapi aku berkata dengan nada sabar, bahwa aku handal dalam berkendara saat gelap.
Sebelum meninggalkan kawasan Pohang langit menjadi sedikit lebih terang sehingga di sisi kiri jalan bisa kulihat pemandangan laut, rumah-rumah kecil, dan bandar kapal tangkapan laut, sementara sawah terbentang luas di sisi kanan.
Rasanya aku ingin kembali lagi ke sini bersama Jeon.
Aku tiba di Seoul sebelum jam makan siang. Karena terlanjur lapar dan merasa punggung pegal, aku mampir ke warung jjigae yang letaknya hanya perlu berjalan kaki dari kantor utama Jves & Koch. Aku memesan semangkuk sundubu dan segelas air. Jeon tidak salah, dia pernah memintaku sesekali makan di sini. Ternyata rasanya luar biasa. Dia bilang kedai ini sudah ada sejak puluhan tahun.
Usai makan aku kembali memperhatikan barisan foto di dinding. Banyak sekali wajah artis dan idola di sini. Mereka mengambil foto di dalam restoran ini. Tidak heran mengapa Jeon merekomendasikan tempat ini.
Selain itu ada wajah suamiku yang di dalam bingkai kaca bersama seorang nenek yang tadi mengantarkan pesanan. Meski wajahnya telah dimakan usia, aku masih bisa melihat dia adalah wanita cantik semasa muda.
"Orang itu tampan kan?"
Nenek itu menarikku dari lamunan dan menoleh padanya yang tengah merapikan meja bekas pelanggan yang baru pergi.
Aku menoleh lagi pada Jeon yang mengenakan sweater abu-abu berlengan panjang. "Iya. Tampan," gumamku, lalu membaca tulisan di bawah foto 'pendiri perusahaan Jves & Koch' yang membuatku tersenyum.
"Dia sudah lama tidak datang kemari. Biasanya dia akan membayar tagihan pegawai dan mampir ke sini minimal satu bulan sekali. Tetapi beberapa bulan ini dia jarang mampir."
Aku menumpu daguku di tangan kiri. "Apa lagi yang Halmoni tahu tentangnya?"
Nenek itu kembali meletakkan mangkuknya di meja dan menggeser bangku untuk duduk. Karena sekarang belum memasuki jam makan siang, jadi tidak ada orang lagi selain kami.
"Dia membantuku membayar pajak supaya toko ini tidak jadi digusur," paparnya sambil menumpu kedua tangan di atas masing-masing lutut. Kemudian nenek itu menunjuk wajah Jeon di dalam foto. "Sikapnya sangat baik. Dia selalu bicara lemah lembut. Kudengar dia juga sudah menikah. Tetapi orang seperti itu tentu harus punya kehidupan yang tertutup. Media bisa sangat jahat."
Setelah mengatakan hal barusan, nenek itu kembali berdiri dan mengangkut kembali mangkuknya. "Aku tidak ingin orang sepertinya mendapat musibah," katanya sebelum berjalan pergi ke dapur.