Firasatku sejak pagi tak nyaman.
Benar saja, berita kematian Han Tae Joon sampai di telingaku siangnya. Dikabarkan langsung oleh dua petugas kepolisian yang masih berdiri di depan pintu, menungguku menyerahkan Kartu Tanda Penduduk. Dugaan terbesar menyempit pada kasus bunuh diri akibat intoksikasi karbon monoksida di apartemennya yang tidak jauh dari kawasan sungai Han. Namun aku bukanlah pengecualian dalam kasus ini. Rupanya polisi menemukan Kartu Tanda Pengenalku yang tergeletak di dekat jasadnya saat ditemukan di bilik dapur.
Mustahil. Aku bahkan menyimpan Tanda Pengenal yang selalu kubawa ke mana pun. Sehingga mustahil kartu identitasku ada pada Taejoon.
"Apa yang terjadi?" Jeon masuk ke kamar dengan wajah cukup serius. Aku sadar suaranya terdengar panik ditambah dadanya yang seperti habis berlari. Ia melihat ke arah kartu di tanganku dan kembali ke wajahku. Tatapannya memandangku penuh tanya. "Runa, kenapa kau memiliki dua Kartu Tanda Pengenal?"
Aku menatapnya nelangsa kemudian menggeleng seperti sudah kehilangan hampir seluruh tenaga. "Aku tidak tahu," ucapku selayang bisikan sembari menatap kembali kartu di telapak tanganku. Aku tidak memiliki kesinambungan berpikir. Di kepalaku hanya berputar-putar pertanyaan bagaimana bisa Kartu Tanda Pengenalku ada bersama Taejoon. Selanjutnya kuangkat kepalaku dengan cepat ke arah Jeon dan kembali menggeleng tegas. "Aku tidak tahu, Jeon."
Mendengar suara ketakutan yang baru keluar dari tenggorokanku, Jeon segera membawaku masuk ke pelukannya. Aku tidak bisa menemukan kehangatan dari dadanya, aku sudah tidak tahu lagi apa yang sekarang kurasakan. Dadaku bergemuruh akan sesuatu yang tidak tentu.
"Jangan takut. Jangan takut. Tenangkan dirimu." Jeon seolah mencoba menenangkan seluruh syarafku dengan suaranya yang damai. Tidak terlawat pula kecupan yang di kepalaku yang terasa menggetarkan jiwa. Namun sekali lagi, segala rangsangan sensorik tubuhku bagai menolak seluruh perlakuannya.
Setelah ketenangan dalam jiwaku terkumpul, kami kembali ke depan menemui kedua polisi yang masih menunggu.
"Apa Anda memiliki hubungan khusus dengan korban semasa hidupnya?" Polisi yang berdiri sedikit lebih maju bertanya dengan gurat tegas.
Sementara polisi di dekatnya membuka kantung ziplock transparan agar aku memasukkan kartuku ke dalamnya. Aku mengangguk gamang. Rasanya setiap kali aku mencoba bergerak tulangku patah satu demi satu. "Tidak sedekat itu."
"Dia sepupuku."
Aku bisa mendengar suara Jeon yang sedikit tertekan saat mengatakan itu. Aku tidak ingat pernahkah ia menganggap Han Tae Joon adalah bagian dari keluarganya. Tangannya di bawah sana mengenggam tanganku sebagai bentuk proteksi dan peneguhan bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
"Pertanyaan selanjutnya akan kami ajukan di kantor. Mohon bantuannya untuk datang dan melakukan pemeriksaan lainnya."
Aku mengangguk.
Detektif itu melanjutkan tanpa merubah mimik maupun ketajaman suaranya, "Kami akan menyita Tanda Pengenal Anda sebagai barang bukti sekaligus memastikan mana Tanda Pengenal yang asli."
Sebelum beranjak pergi, detektif sempat melihat ke arah perutku, mendesah, dan pergi berlalu. Bahkan setelah kedua petugas kepolisian itu pergi beberapa lama, aku dan Jeon masih terpaku berdiri dengan genggaman tangan Jeon yang semakin menguat.
Pandangan Jeon terus tertuju ke depan saat ia mengatakan sesuatu. "Aku sudah meminta Jeongmin untuk mencari pelaku malam itu. Dia mendapatkan titik terang dari informasi yang baru dia dapatkan tentang adikmu, termasuk soal Han Tae Joon." Kemudian tatapannya berpindah ke mataku. "Dia akan segera memberitahu kita. Kau tengan saja. Semuanya akan baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...