08| Story of Another You

35.6K 5.6K 1.9K
                                    

Kali ini aku takkan bangun kesiangan.

Aku bangun sepuluh menit sebelum Jeon terbangun.

Aku yakin betul Jeon sudah menyetel dan mengatur alarm setiap hari. Oleh sebab itu dia selalu bangun dan pergi tidur pada jam-jam yang sama. Jeon selalu tahu kapan waktunya istirahat.

Mungkin saat Jeon tertidur di sofa kemarin, dia melakukan tepat waktu di sela pekerjaan.

Kurasa begitulah pola kehidupan orang-orang sukses di seluruh dunia; disiplin.

Pagi ini aku membuat roti selai kacang sebanyak tiga lembar dan bulgogi. Akhir-akhir ini bila diperhatikan Jeon makan cukup banyak. Toh, kalorinya akan dibakar lagi dengan work out. Jadi, tidak khawatir makanan bisa mencuri otot lengan, kaki, maupun perutnya (walaupun aku belum pernah lihat detail otot tubuhnya sih).

Telepon di dekat dapur berbunyi. Buru-buru kuletakkan ketel listrik di tempatnya, lalu menekan tombol on. Lampu kecil berwarna oranye menyala, setelah itu aku menyambar gagang telepon.

"Halo, Pa." Aku menerima panggilan ketika tahu bahwa di seberang sana adalah ayah mertuaku.

"Semalam aku tidak bertemu kalian."

"Aku dan Jeon mengutuskan kembali. Mama bilang Papa tidak pulang."

"Memang tidak. Harusnya aku menemui kalian dulu. Nah, di mana Koch?"

Begitulah ayahku menyebut Jeon dengan nama Koch.

Koch adalah nama tengah Jeon yang tidak banyak diketahui. Jeon Koch Kalinsky.

Saat resepsi pernikahan, ayah mertuaku membocorkan rahasia kalau sejak Jeon lahir, beliau tidak pernah suka orang lain memanggil jagoannya dengan panggilan yang sama.

Ayah yang posesif.

"Dia masih di kamar," sahutku.

"Sudah bangun?"

Aku mendorong badan mundur, memastikan pintu kamarnya belum terbuka. Suasananya sangat hening. "Belum, Pa. Mungkin lima menit lagi."

"Yasudah. Kalau begitu sampaikan saja padanya, minggu depan aku harus ke Costa Rica. Aku harap sebelum keberangkatanku ke New York, dia bisa bertemu singkat denganku di Apgujeong sore ini. Kalau hari ini tidak bertemu, dapat dipastikan kami tidak bakal bertemu selama empat bulan." Suara papa terdengar seperti diburu waktu.

"Sekarang Papa di mana?"

"Masih di Gangnam. Sore nanti pesawatku lepas landas. Maka dari itu sampaikan segera setelah Koch bangun. Ada proyek pabrik kertas dan sponsor yang harus kami bicarakan."

Setelah aku mengiyakan mandatnya, panggilan telepon selesai. Bertepatan dengan itu Jeon memasuki dapur.

Ah, sayang sekali. Terlambat dua detik.

Namun, setelah meneliti keadaan Jeon, aku tahu jika ini bukan waktu yang pantas untuknya menjawab panggilan telepon. Rambut tebal nan halusnya masih berantakan. Pakaiannya menjadi sedikit lecek. Ujung celana selututnya terlipat.

Aku melempar senyum menyambutnya. Aku tidak tahu kapan dia masuk kamar setelah aku membiarkannya tetap tidur di sofa.

Jeon membalas dengan senyum khas orang baru bangun tidur. "Aku kesiangan?" Kemudian dia menguap, dan meregangkan tangan tinggi-tinggi.

"Aku harap begitu. Tapi kali ini kau selamat."

Beranjak dari hadapanku, dia mengisi segelas air dari keran. Kelopak matanya belum terbuka sepenuhnya dan bahunya tidak setegap ketika ia berjalan di kantor. Inilah yang membuatku jatuh hati. Aku paling suka penampilan Jeon di pagi hari. Karena semua orang di luar sana hanya bisa melihat betapa perlente dan tampannya Jeon dengan pakaian formal. Bukan melihat seberapa berantakannya Jeon Koch Kalinsky.

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang