Yang lebih menakutkan daripada pikiran seorang pembunuh adalah pikiran ibu sang pembunuh.
-J.D. Barker__
"Kesenangan dan kebahagiaan itu apa bedanya, Jeon?"
Aku bertanya esoknya ketika kami berada di kasur, hendak beranjak tidur. Kesenangan dan Kebahagiaan. Dua kata itu menggangguku sejak pagi ini. Sulit mencerna makna mendasar antara kedua kata itu. Dua kata yang sering kudengar namun tidak pernah kuartikan secara mendalam. Sebagai penulis, itu adalah kesalahan besar.
Semakin lama aku terjebak pada pemikiran rumit hingga membuatku tidak lagi bisa membedakan mana yang kusebut kebahagiaan dan mana yang harus kukatakan bagian dari kesenangan.
"Pleasure and Happiness," ucap Jeon serupa belaian sama seperti cara jarinya menyusuri panggung dan kepalaku. Suranya pun teramat berhati-hati. Seolah tengah berupaya menggali jawaban yang jauh. Sedang matanya menatapku cukup lama sementara aku menanti dengan sabar.
"Happiness is giving. Pleasure is taking," bisiknya memberitahu.
Aku menarik napas panjang dan tetap diam.
Jeon mulai kembali menjelaskan. "Kesenangan terikat pada dopamin, kebahagiaan terikat pada serotonin. Itulah mengapa kesenangan bersifat sementara, dan kebahagiaan memiliki jangka waktu panjang."
Aku memandangi tepat ke dalam matanya. Andai boleh jujur, mata abu-abu itu tidak lagi memiliki dampak sebesar pertama kali aku dimabuk cinta. Mata itu mulai tidak bisa memberiku ketenangan seperti pertama kali dia menatapku dengan caranya. Aku seolah kehilangan lebih dari setengah harapan darinya.
Semua yang ada di balik matanya hanya sebatas bentuk semu nan samar lalu pudar, dan kusadar kini Shin Jaemin adalah serotoninku. Kebahagiaan jangka panjang terbesar yang kumiliki. Dan Jeon dihatiku belum sebesar rasa cintaku pada Shin Jaemin, adik yang telah hidup bersama lebih dari dua puluh tahun.
"Aku tidak tahu yang mana aku sekarang." Terlalu tenang, aku seolah kehilangan cara melepas emosi. Lupa cara melampiaskan seluruh beban dalam dada yang kutanggung. Rasanya terlalu penuh. Sekarang tidak ada lagi Jaemin. Aku masih terlalu ngeri membayangkan hariku tanpanya. Tanpa suara berisiknya yang bagiku sekarang tidak lagi mengganggu.
Dulu, Jaemin bilang (dia selalu mengatakan ini padaku berulang-ulang jika aku berpikir akan menyerah); Marah saja. Teriak saja sekeras yang Noona mau. Kalau tidak bisa berteriak silakan pukul aku. Pukul aku sebanyak yang Noona mau, pukul aku sekeras rasa sakit yang kau tanggung. Aku bisa menahannya. Lakukan apa pun yang Noona mau padaku. Tetapi, berpikir bahwa Noona akan mengakhiri hidup, sungguh membuatku tidak bisa menanggung rasa sakitnya.
Mungkin jika Noona benar-benar pergi dengan cara seperti itu, maka aku tidak bisa berjanji tidak akan menghukum diriku dengan cara yang sama. Maka dari itu, kumohon jangan pergi dengan cara begini. Jangan bunuh diri. Kumohon. Ayo jalani kehidupan bersamaku. Kalau Noona mulai lelah, tidak apa-apa berhenti asal jangan mengakhiri, tidak masalah mengeluh, dan tolong katakan padaku. Jangan menyimpannya sendiri.
Dunia tidak harus tahu, tapi Noona harus mengerti, kau begitu berarti untukku, dan aku tidak tahu apa jadinya bila tak pernah ada Noona dalam hidupku. Karena itu, tetaplah hidup. Bertahan hidup paling tidak untukku. Jika lelah, setidaknya sampaikan salam perpisahan dengan cara terbaik yang bisa kau lakukan. Aku baru akan membiarkan Noona istirahat bila memang sudah benar-benar tak ingin.
Setiap perkataan Jaemin bagaikan tinta yang tidak bisa dihapus air sekalipun. Namun mengingat perkataan Jaemin sekarang tidak lagi membuatku ingin menangis. Karena aku sungguh tidak tahu persis apa yang kurasakan malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Océanor
FanfictionBagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria yang tidak tersentuh. Sering sekali aku bertanya, mengapa kami tidak bisa melakukan kontak fisik sepe...